Konten dari Pengguna

Perdebatan Laga Replay di Piala FA: Kaum Progresif Menentang Kaum Konservatif

9 Januari 2018 14:45 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agung Putranto Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya penggemar liga Inggris sejak kecil. Selain karena klub favorit saya bermain di sana, alasan saya mencintai liga Inggris adalah karena jumlah pertandingan mereka yang banyak. Hal itu dikarenakan, selain mengikuti turnamen liga Inggris yang sekarang bernama EPL (English Premier League), klub-klub papan atas liga Inggris juga bertanding di ajang Piala Liga (saat ini namanya Carabao Cup), dan tentu saja Piala FA.
ADVERTISEMENT
Khusus ajang Piala FA, publik sepak bola Inggris patut berbangga. Tidak lain karena fakta bahwa kejuaraan ini merupakan yang tertua di dunia. Selain karena faktor sejarah, secara aturan teknis, turnamen yang sejak 2015 bernama Emirates FA Cup ini terbilang cukup unik.
Ketika wasit meniup peluit akhir dan pertandingan masih berjalan imbang, maka kedua tim mau tidak mau, suka tidak suka, akan bermain sekali lagi di venue yang berbeda. Ketika Chelsea ditahan imbang oleh Norwich City pada putaran ketiga Piala FA, maka tidak ada babak perpanjangan waktu ataupun adu penalti. Pemenangnya kelak ditentukan di partai ulangan alias laga replay yang bermain di Stamford Bridge, kandang Chelsea. Hal itu wajar mengingat pada partai pertama, laga itu digelar di Carrow Road, markas The Canaries.
ADVERTISEMENT
Beda cerita jika pertandingan Norwich City vs Chelsea tersaji di babak perempat final Piala FA. Kedua kesebelasan mau tidak mau, suka tidak suka, harus segera bersiap menuju babak perpanjangan waktu yang berdasarkan aturan IFAB (International Football Association Board), terdiri dari dua babak yang masing-masing dimainkan selama 15 menit saja. Jika situasi masih imbang, tentu dilanjutkan ke babak adu penalti.
Peraturan itu masih sangat baru diterapkan, yaitu pada musim 2016/2017. Sebelumnya, babak replay ditiadakan hanya di partai semifinal dan juga final yang keduanya berlangsung di Wembley Stadium. Lantas apa gerangan FA (PSSI-nya Inggris), sampai hati mengubah tradisi tersebut?
Eks manajer Hull City, Steve Bruce, hanyalah satu dari sekian banyak manajer yang mengkritik kebijakan laga replay di Piala FA. Mantan penggawa tim nasional Inggris itu berujar bahwa hasil-hasil seri dalam pertandingan Piala FA mestinya langsung diselesaikan dengan adu penalti, tak perlu laga ulang yang menghabiskan waktu dan energi para pemain. Sebagai pelatih, tentu hal itu dirasa perlu ia sampaikan atas nama pemain. Adanya laga replay, membuat klub perlu menyusun kembali jadwal pertandingan yang sebelumnya sudah sangat padat.
ADVERTISEMENT
Steve Bruce juga berbicara atas nama suporter sepak bola. Menurutnya, laga replay jelas merugikan suporter secara finansial. Para suporter jadi harus menyediakan uang lagi untuk hadir ke stadion demi mendukung tim kesayangan. Komentar tersebut menjadi relevan mengingat isu melambungnya harga tiket jadi keluh kesah para suporter setia, khususnya mereka yang berada di golongan kelas menengah ke bawah. Menurut telaah Karl Marx, kelas ini masuk ke dalam golongan proletarian atau masyarakat kelas kedua yang menyambung hidup dari gaji hasil kerja keras mereka.
Bukan rahasia umum, perubahan sosial yang terjadi di hampir seluruh belahan dunia, diinisiasi oleh kaum ini. Dengan bantuan organisasi massa yang apik dan satu pemimpin cerdik, kaum ini selalu berhasil mewujudkan tuntutan mereka. Jangankan untuk menurunkan harga tiket, kaum proletar juga sanggup menggulingkan pemerintahan yang sedang berkuasa. Revolusi Rusia dan tumbangnya Orde Baru, menjadi bukti bahwa kaum proletar bukanlah kaum sembarangan.
ADVERTISEMENT
Namun kaum proletar belum tentu jadi kaum progresif, karena sesungguhnya “progresif” adalah kata sifat. Sebaliknya, kaum progresif bukan berarti mereka yang miskin secara ekonomi. Orang-orang dengan pemikiran progresif, bagi saya justru adalah orang-orang kaya yang punya banyak imajinasi liar ke arah perbaikan tatanan.
Kaum progresif inilah yang sedang menentang tradisi dan supremasi Piala FA di Inggris. Beberapa dari mereka hadir tidak hanya dalam wujud suporter, tetapi juga perancang kebijakan. Wacana penghapusan laga replay di Piala FA sudah lama bergulir, tapi hal itu selalu kandas di forum-forum rapat yang bobotnya lebih sering membicarakan persentase hak siar. Beruntung kaum progresif tidak cepat putus asa. Penghapusan sistem replay sejak perempat final di musim 2016/2017 mungkin bisa jadi kemenangan kecil mereka.
ADVERTISEMENT
Dalam semesta kehidupan, kita selalu dihadapkan dua sisi yang pasti berlawanan. Seperti misalnya ada matahari ada bulan, ada bangun ada tidur, ada laki-laki ada perempuan, ada AC Milan ada Internazionale Milano, termasuk ada yang progresif dan ada pula yang konservatif.
Mereka memang tidak mendapuk diri sebagai kaum konservatif, tetapi pola pikir mereka sesungguhnya mencerminkan akan hal itu. Kaum konservatif adalah orang-orang yang bersikeras mempertahankan kesucian Piala FA. Tradisi demi tradisi yang terlanjur berjalan ratusan tahun, patut lestari atau setidaknya jangan sampai punah meskipun sudah tak lagi relevan. Salah satunya adalah kebijakan laga replay.
Kaum konservatif menganggap penghapusan itu akan mencederai marwah Piala FA. Lalu ketika saya meriset apa itu marwah Piala FA dan apa filosofi di balik aturan tersebut, saya tiada mendapat satu pun informasi yang berkaitan. Mungkin aturan nir-makna tersebut yang menjadi landasan mengapa laga replay layak ditentang. Ibaratnya, buat apa kita patuhi hukum yang kita sendiri tidak mengetahui maksud dan tujuan hukum itu. Bahkan, aturan yang masih berlaku itu dianggap menyesatkan pemain dan suporter seperti yang telah Steve Bruce keluhkan di atas.
ADVERTISEMENT
Sehingga menjadi bahasan menarik, untuk apa dan siapa laga replay Piala FA? Apakah kaum konservatif sengaja melanggengkan aturan demi kepentingan bisnis semata? Ah saya lupa jika ada pendapatan menggiurkan dari hak siar.