Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Dari Cultuurstelsel ke Tanam Paksa: Catatan Korup Para Penguasa
21 Juli 2023 10:17 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Agung Rifna Ajie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Selepas perang Jawa yang menguras banyak kas pemerintah kolonial Belanda, pada tahun 1830 seorang “mesias” bernama Johannes Van den Bosch merancang program untuk memulihkan ekonomi pemerintah kolonial tanpa merugikan rakyat jajahannya, yang dikenal sebagai Cultuurstelsel.
ADVERTISEMENT
Prinsip kerjanya sederhana, yaitu mengganti pajak dengan produk hasil pertanian. Di mana setiap desa diwajibkan menyisihkan seperlima (20 persen) tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor dan hasil panennya dijual atau diserahkan kepada pemerintah kolonial dengan harga yang telah ditetapkan.
Jika penduduk desa tidak memiliki tanah atau bukan petani, mereka diharuskan bekerja di perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah selama sekitar 66 hari dalam setahun.
Semua biaya persiapan, pemeliharaan, panen, transportasi, serta kerugiannya akan ditanggung oleh pemerintah kolonial, dan jika keuntungannya berlebih maka akan dikembalikan kepada masyarakat.
Secara garis besar program tersebut menguntungkan bagi Belanda, namun tidak memberatkan masyarakat. Terbukti hanya dalam satu tahun pemerintah kolonial Belanda mampu kembali memulihkan perekonomiannya.
Namun pada praktiknya program tersebut disabotase menjadi korup termasuk oleh bangsawan pribumi sehingga dikenal sebagai masa paling eksploitatif dan paling buruk di era pemerintahan kolonial Belanda.
ADVERTISEMENT
Masa ini mengakibatkan bencana kelaparan dan memakan banyak sekali korban jiwa yang kemudian kita kenal di buku-buku sejarah sebagai Tanam Paksa.
Eduard Douwes Dekker melalui nama pena-nya Multatuli memotret tindakan tersebut melalui karya sastra Max Havelaar di mana dia menyaksikan betapa rakyat hidup dalam kondisi miskin, sementara Bupatinya hidup bergelimang kemewahan bahkan keluarga Bupati kerap berperilaku kasar dan memeras warga.
Dia juga menyaksikan saking feodalnya masyarakat Indonesia saat itu, rakyat lebih takut pada bangsawan dibanding penjajah. Rakyat rela menahan lapar demi mencabuti rumput halaman bangsawan dibanding ikut panen raya. Tentu saja pihak Belanda tahu hal tersebut, namun lebih memilih membiarkannya.
Tindakan menjijikkan penguasa itu bahkan hampir luput dari buku-buku sejarah di sekolah. Seolah-olah praktik korupsi bangsawan bumiputera adalah hal tabu untuk dibahas.
Bukan hanya pada masa itu saja, tindak-tanduk kebiasaan hidup mewah dengan memanfaatkan jabatan untuk menarik uang sogok, upeti, serta menggelapkan pajak nampaknya masih diteruskan penguasa—setidaknya sampai hari ini.
ADVERTISEMENT
Saking biasanya praktik korupsi di negeri ini, mantan terpidananya masih banyak yang dipercaya untuk menempati struktur dan posisi penting di suatu lembaga bahkan kadang dipuja seperti pahlawan yang pulang dari medan perang.
Selayaknya Cultuurstelsel, program sebaik apa pun selama para penguasa yang menjalankannya adalah penguasa korup, maka tidak akan pernah menjadi solusi—malah mungkin akan menjadi badai bencana.