Pusara Sepak Bola Indonesia: Romantisasi Prestasi Masa Lalu

Agung Rifna Ajie
Pengajar dan Content Writer, Instagram: @agungrifna
Konten dari Pengguna
8 Mei 2023 15:34 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agung Rifna Ajie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Timnas Indonesia saat menghadapi Thailand di leg pertama final Piala AFF 2020 di National Stadium, Singapura, Rabu (28/12). Foto: Dok. PSSI
zoom-in-whitePerbesar
Timnas Indonesia saat menghadapi Thailand di leg pertama final Piala AFF 2020 di National Stadium, Singapura, Rabu (28/12). Foto: Dok. PSSI
ADVERTISEMENT
Sewaktu masih bocah selepas pulang sekolah di cuaca yang cerah, biasanya kami bermain di lapangan tengah sawah. Meski agak jauh dari permukiman, saya ingat dulu lapangan itu sering ramai dijadikan berbagai kegiatan masyarakat, termasuk sepak bola.
ADVERTISEMENT
Kompetisi-kompetisi sepak bola antar kampung waktu itu masih semarak diadakan, tim-tim dari berbagai kampung atau perkumpulan kerja ikut mendaftar. Ada tim dari kampung sebelah si musuh bebuyutan, ada tim dari buruh pabrik yang ikut meramaikan, sesekali pertandingan itu berakhir pertengkaran.
Riuh masyarakat berkumpul antusias untuk melihat pertandingan. Para abang-abang berjejer di sepanjang jalan masuk berjualan jajanan dan cemilan.
Kami para bocah ikut bermain sepak bola di tepi lapang meramaikan suasana sambil berkata ingin menjadi seperti kapten Tsubasa yang membela Nankatsu berakhir di Catalonia. Setidaknya pada saat itu, sepak bola bukan hanya hiburan dan olahraga bagi kami, tapi cinta yang menghubungkan hati orang-orang, mampu melampaui batas perbedaan dan melewati batas generasi.
ADVERTISEMENT
Meski masih cinta pada sepak bola, seiring berjalannya saya menyadari bahwa cinta kami pada olahraga itu tak berbalas. Melihat sepakbola kini seperti ikut menggali pusara seorang kawan, sedih dan pupus harapan.

Pusara Sepak Bola Indonesia

Pemain Timnas Indonesia U-22 Sananta saat selebrasi usai berhasil mencetak gol ke gawang Myanmar di SEA Games 2023. Foto: Dok. PSSI
Sepak bola di Indonesia telah lama bermasalah. Selain kasus korupsi, politisasi, sampai tragedi yang meregang nyawa telah menghiasi sepak bola kita. Sudah banyak masalah, sepak bola kita juga minim prestasi.
Kita hanya bisa mengungkit pencapaian masa lalu yang diromantisasi untuk menutupi malu kami. Seperti pernah ikut piala dunia 1938 di Prancis walaupun sebenarnya Tim Nasiona Hindia Belanda, keberhasilan di Piala Emas Aga Khan tahun 1950-1960, dan keberhasilan menembus perempat final Olimpiade 1956 melawan Uni Soviet, yang bahkan kakek-nenek kami belum tentu sudah lahir.
ADVERTISEMENT
Kemarau panjang prestasi sepak bola sudah berlangsung lama yang entah kapan hujan lagi. Negara Jiran yang dulu menjadi lumbung gol kita, kini justru bertaji. Thailand yang menjadi rival masa lalu melesat meninggalkan kita. Indonesia seperti senam poco-poco maju selangkah, eh mundur selangkah lagi.
Kalau kita lihat sekarang, drama pengelolaan sepak bola malah lebih seru dibanding sepak bola itu sendiri. Tajuk pemilihan ketua PSSI tampil di halaman muka dan menjadi isu nasional berbanding terbalik dengan prestasi kita yang entah kapan dimuat.
Kata seorang teman, sepak bola kita ibarat manusia penyakitan, bermula dari sakit kecil yang dibiarkan menjalar terus hingga menjadi komplikasi. Akar masalahnya jelas tidak hanya satu-dua, diobati satu timbul penyakit lain. Malah organisasi induk yang harusnya menjadi dokter, eh selingkuh menjadi sumber penyakit.
ADVERTISEMENT
Mungkin sebenarnya sepak bola kita sudah di pusara, hanya bisa dikenang indahnya dan tidak bisa kembali lagi.