Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Rumitnya Permasalahan Bunuh Diri
30 Oktober 2023 6:08 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Agung Rifna Ajie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Raut wajah wanita muda berusia 23 tahun asal desa Japan, Sooko, Mojokerto itu nampak rasa sedih yang amat sangat. Sepeninggal ayahnya, ia mengaku tidak kuat menanggung persoalan hidup, terlebih setelah keluarga sang kekasih memaksa untuk menggugurkan kandungan bahkan bukan hanya sekali melainkan sampai dua kali. Maka pada hari kamis, 2 Desember 2021 sekitar ba’da Ashar, tepat di samping pusara ayahnya, ia menenggak teh yang telah dicampur dengan racun potasium sianida untuk mengakhiri hidup.
ADVERTISEMENT
Tentu apa yang dilakukannya tidak terpuji. Sebagai orang Indonesia yang beragama, tindakan tersebut dipandang bentuk putus asa dan ketidakpercayaan pada kuasa Illahi. Namun dibandingkan mencela dan menakar kadar keberagamaan almarhum, akan lebih baik menganalisa penyebab untuk bisa mencegah potensi terjadinya bunuh diri pada orang lain.
Terlebih saban waktu media massa memberitakan banyaknya kasus mahasiswa yang bunuh diri akhir-akhir ini. Bahkan saking seringnya ada pakar yang sedikit mengejek dengan menyebut generasi muda pelaku bunuh diri adalah generasi stroberi yang mudah hancur dan rapuh manakala mendapatkan tekanan. Tetapi, jika menelaah lebih dalam, kita akan mendapatkan fenomena ini jauh lebih rumit.
Lihat saja kasus seperti seorang kakek menceburkan diri ke sumur karena frustrasi dengan kondisi kesehatannya, seorang ayah gantung diri karena terlilit utang resepsi pernikahan anaknya, seorang ibu bunuh diri setelah membunuh dua anaknya karena mengidap depresi serta tak mampu beli obat dan bayar BPJS. Mereka berasal dari ragam generasi dengan ragam masalah. Maka berkaca pada persoalan kasus bunuh diri itu, nampak hal ini bukan hanya sebatas persoalan tentang lemahnya mental pada generasi muda kita.
ADVERTISEMENT
Di internet perilaku bunuh diri sering disederhanakan dengan masalah kesehatan mental (mental health) semata. Memang berkaitan, namun akar permasalahannya lebih luas dan bukan karena penyebab yang tunggal. Bahkan lebih sering disebabkan oleh gabungan berbagai faktor seperti biologis, psikokologis, sosial, budaya, ekonomi, hingga keyakinan agama yang kompleks. Ini menunjukkan fenomena bunuh diri tidak dapat dijelaskan hanya melalui sudut pandang yang seragam.
Menurut PBB, setiap tahun ada sekitar 1 juta orang yang bunuh diri, lebih banyak daripada yang meninggal karena perang dan pembunuhan. WHO juga menyebut ada kasus bunuh diri setiap 40 detik, dan jumlah orang yang mencoba bunuh diri bahkan 20 kali lebih banyak lagi.
Lebih lanjut WHO perkirakan sekitar 5% orang di dunia pernah mencoba bunuh diri setidaknya sekali dalam hidup mereka. Di Indonesia sendiri, pada tahun 2022, terdapat 826 kasus bunuh diri yang terlaporkan, dan terus bertambah dari tahun ke tahun.
ADVERTISEMENT
Pemerintah kita pun nampak belum menunjukkan tekad yang kuat dalam melaksanakan upaya pencegahan bunuh diri. Meskipun ada inisiatif seperti membuka layanan konseling atau konsultasi telepon sejak 2010, namun sebagaimana laporan pada tahun 2017 layanan tersebut nampak tak laku dan sepi peminat.
Hingga saat ini, belum terlihat upaya konkret lainnya malah program yang ada nampak klise, seperti mengajak masyarakat untuk lebih peka terhadap individu yang memerlukan bantuan di sekitarnya.
Meskipun dukungan dari berbagai pihak seperti tenaga ahli dan individu terdekat sangat berarti, namun tanpa komitmen pemerintah melalui program-program yang konkret, perubahan yang signifikan sulit terwujud.
Padahal pembangunan dan pertumbuhan negara seharusnya bertujuan untuk memastikan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakatnya. Jika angka bunuh diri justru terus meningkat setiap tahun, maka menjadi pertanda kegagalan pemerintah dalam mewujudkannya.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, saat proses menulis artikel ini seorang kawan mengabari bahwa di dekat rumahnya terjadi peristiwa percobaan bunuh diri (lagi?).