Konten dari Pengguna

Gosip, Word of Mouth dan Viralitas

Agung Stefanus Kembau
Dosen Program Studi Bisnis Digital Universitas Bunda Mulia, Memiliki Antusias Digital Consumer Behavior dan Behavioral Economics
14 Agustus 2024 11:02 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agung Stefanus Kembau tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Gosip. Photo by Joseph Corl on Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Gosip. Photo by Joseph Corl on Unsplash
Bahasa adalah jembatan yang menghubungkan manusia, sebuah alat yang memungkinkan kita untuk berkomunikasi, berbagi, dan menciptakan hubungan. Namun, apakah Anda pernah berpikir bahwa salah satu bentuk komunikasi paling sederhana—gosip—adalah fondasi dari semua itu? Dari gosip yang bergulir dalam percakapan sehari-hari hingga viralitas yang menyebar di media sosial, perjalanan bahasa dan komunikasi telah mengubah cara kita berinteraksi dan bagaimana merek menjangkau audiens mereka. Dalam konteks ini, penting untuk mengeksplorasi bagaimana gosip, word-of-mouth, dan viralitas saling terkait dan berkontribusi pada lanskap pemasaran modern.
ADVERTISEMENT

Gosip: Dasar Komunikasi Sosial

Gosip bukan hanya sekadar omongan kosong tentang orang lain; ia adalah alat yang memperkuat ikatan sosial dan membentuk identitas komunitas. Menurut antropolog Robin Dunbar, gosip berfungsi sebagai cara bagi manusia untuk membangun reputasi dan membentuk norma sosial. Dalam bukunya, Dunbar berargumen bahwa melalui gosip, individu dapat menyebarkan informasi tentang satu sama lain, membentuk jaringan sosial yang kompleks dan saling mendukung.
Di era digital saat ini, kita mungkin merasa lebih terhubung melalui layar, tetapi esensi dari gosip tetap sama: kita berbagi cerita, membentuk opini, dan mempengaruhi perilaku satu sama lain. Jonathan Haidt, dalam The Righteous Mind (2012), mengemukakan bahwa pemahaman kita tentang moralitas dan hubungan sosial sering kali dipengaruhi oleh konteks budaya dan norma yang ada. Gosip berfungsi sebagai cermin dari nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh komunitas. Di sinilah pertanyaannya muncul: Apakah gosip itu buruk, atau justru sangat diperlukan dalam membangun kepercayaan dan koneksi?
ADVERTISEMENT
Tanpa gosip, kita mungkin akan kesulitan mengenali siapa yang layak untuk dipercaya. Dalam konteks pemasaran, ini sangat penting—apa yang dibilang orang tentang suatu produk dapat menentukan keberhasilan atau kegagalannya. Oleh karena itu, para pemasar harus memanfaatkan kekuatan gosip dengan membangun narasi yang positif dan kredibel tentang merek mereka. Dalam dunia yang semakin skeptis terhadap iklan tradisional, rekomendasi dari mulut ke mulut dapat menjadi kunci untuk membangun kepercayaan.

Word-of-Mouth: Ekstensi dari Gosip

Saat gosip bertransformasi menjadi word-of-mouth (WOM), kekuatannya semakin nyata. Data dari Nielsen menunjukkan bahwa 92% konsumen lebih percaya pada rekomendasi dari teman dan keluarga daripada iklan. Rekomendasi ini bukan hanya dapat meningkatkan penjualan, tetapi juga membangun loyalitas pelanggan yang kuat. Namun, apakah Anda pernah berpikir tentang seberapa banyak dari kita yang benar-benar memberikan rekomendasi yang tulus? Dalam dunia yang penuh dengan iklan yang menyesatkan, rekomendasi dari orang terdekat menjadi sumber kepercayaan yang berharga.
ADVERTISEMENT
Steven Pinker, dalam The Language Instinct (2007), menyatakan bahwa bahasa adalah alat yang tidak hanya berfungsi untuk berkomunikasi, tetapi juga untuk membangun pemahaman dan kerjasama antarindividu. WOM bukan hanya tentang berbagi informasi; ia menciptakan kepercayaan yang diperlukan untuk membangun loyalitas merek. Dengan menciptakan pengalaman yang positif, merek dapat mendorong konsumen untuk berbagi cerita mereka, memperkuat pesan pemasaran yang ingin disampaikan.
Namun, tantangannya adalah bagaimana menciptakan pengalaman luar biasa yang mendorong konsumen untuk merasa terpaksa untuk bercerita kepada orang lain. Apakah merek Anda siap untuk melakukan inovasi yang diperlukan agar konsumen tidak hanya membeli produk, tetapi juga merasa terinspirasi untuk merekomendasikannya kepada orang lain?

Viralitas dalam Era Digital

Kedatangan media sosial telah membawa komunikasi ke tingkat yang lebih tinggi dengan konsep viralitas. Di sinilah teori Diffusion of Innovations oleh Everett Rogers berperan penting. Konten yang menjadi viral tidak hanya menarik perhatian kelompok innovator dan early adopters, tetapi juga dapat menyebar ke masyarakat luas dalam waktu singkat. Namun, pertanyaannya adalah, apa yang sebenarnya membuat suatu konten menjadi viral?
ADVERTISEMENT
Jonah Berger, dalam bukunya Contagious: Why Things Catch On, menjelaskan bahwa konten yang menular adalah konten yang membangkitkan emosi—baik itu kebahagiaan, kemarahan, atau kejutan. Mengapa kita begitu tertarik untuk membagikan informasi yang menggugah emosi? Karena emosi adalah bahan bakar dari interaksi sosial kita. Malcolm Gladwell, dalam The Tipping Point, menunjukkan bagaimana ide-ide bisa mencapai titik kritis dan meledak menjadi fenomena sosial. Tetapi sekali lagi, siapa yang benar-benar memegang kendali atas apa yang menjadi viral? Apakah itu murni kebetulan, atau ada strategi yang lebih dalam di baliknya?
Dalam konteks ini, Geoffrey A. Moore dan Regis McKenna dalam Crossing the Chasm (1999) berbicara tentang pentingnya menjembatani kesenjangan antara inovasi dan adopsi pasar. Mereka menekankan bahwa memahami audiens dan konteks sosial mereka sangat penting untuk mengembangkan pesan yang tepat yang dapat menarik perhatian dan mendapatkan kepercayaan. Merek yang hanya mengikuti tren tanpa memahami kebutuhan dan emosi audiens akan kesulitan untuk menciptakan konten yang dapat menarik perhatian dan dibagikan.
ADVERTISEMENT

Kesimpulan: Mengapa Ini Penting?

Sejarah bahasa yang berawal dari gosip dan berlanjut ke viralitas dalam digital marketing menunjukkan bahwa komunikasi adalah elemen vital dalam hubungan sosial dan pemasaran. Dalam dunia yang semakin terhubung, kemampuan untuk menciptakan pesan yang menggugah dan mendalam adalah kunci untuk menarik perhatian audiens. Kita perlu bertanya pada diri kita: Apakah kita hanya menjadi konsumen pasif, atau kita akan berperan aktif dalam menciptakan narasi dan membagikannya?
Mengintegrasikan wawasan dari Berger, Gladwell, Haidt, Pinker, dan Moore ke dalam strategi pemasaran bukan sekadar pilihan, tetapi sebuah keharusan. Dalam dunia yang bising ini, hanya mereka yang memahami kekuatan kata-kata dan emosi yang akan bertahan. Jadi, siapkah Anda untuk mengambil alih kendali dalam perjalanan komunikasi ini, atau akan terus menjadi penonton yang pasif?
ADVERTISEMENT
Mungkin saatnya bagi kita untuk tidak hanya menjadi bagian dari arus gosip, tetapi juga untuk menjadi agen perubahan yang menciptakan cerita-cerita yang patut untuk dibagikan. Apakah merek Anda akan menjadi kisah yang viral berikutnya, ataukah hanya akan tenggelam dalam kebisingan dunia digital? Keputusan ada di tangan Anda.
Dalam perjalanan menuju era digital ini, penting bagi kita untuk menyadari bahwa komunikasi bukan hanya tentang berbagi informasi, tetapi juga tentang membangun hubungan yang berarti. Dengan memahami dinamika gosip, WOM, dan viralitas, kita dapat lebih efektif dalam menjangkau dan mempengaruhi audiens, sehingga menciptakan dampak yang lebih besar dalam dunia pemasaran.
Referensi:
Berger, J. (2016). Contagious: Why things catch on. Simon & Schuster.
ADVERTISEMENT
Dunbar, R. I. M. (1993). The trouble with science. New Scientist, 139(1870), 38-42.
Gladwell, M. (2002). The tipping point: How little things can make a big difference. Little, Brown and Company.
Haidt, J. (2012). The righteous mind: Why good people are divided by politics and religion. Vintage.
Moore, G. A., & McKenna, R. (1999). Crossing the chasm: Marketing and selling technology products to mainstream customers. HarperBusiness.
Pinker, S. (2007). The language instinct: How the mind creates language. Harper Perennial Modern Classics
Rogers, E. M. (2003). Diffusion of innovations (5th ed.). Free Press.