Konten dari Pengguna

Buruknya Manajemen Transportasi Haji yang Merugikan Publik (2)

Agus Pambagio
Pemerhati kebijakan publik dan lingkungan.
29 Juli 2017 11:21 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Pambagio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Boeing 777-300 pembawa jemaah haji (Foto: ANTARA/Muhammad Iqbal)
zoom-in-whitePerbesar
Boeing 777-300 pembawa jemaah haji (Foto: ANTARA/Muhammad Iqbal)
ADVERTISEMENT
Pada tulisan pertama, saya coba bahas buruknya manajemen transportasi haji yang merugikan publik dari sisi kekusutan di lapangan yang terjadi pada tanggal 27 dan 28 Juli 2017 lalu akibat bermasalahnya pesawat B 777 – 300 milik Garuda Indonesia (GA), dengan spesifikasi Bandara Internasional Minangkabau (BIM) dan Bandara Internasional Halim Perdanakusuma (HLP).
ADVERTISEMENT
Dalam tulisan ini, saya akan bahas persoalan di maskapai GA yang sejak awal saya kritisi dan saya sangat khawatirkan dampaknya di safety. Sayangnya kekhawatiran saya terbukti saat pelaksanaan angkutan haji tahun ini yang membuat publik, bandara, dan maskapai dirugikan milyaran selama 2 hari kemarin.
Masih ingat hasil Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) GA pada tanggal 12 April 2017 lalu yang saya kritisi di banyak media? Susunan Direksi PT GA melanggar UU No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dan Civil Aviation Safety Regulation (CASR) – 121 dari International Civil Aviation Organization (ICAO), karena dalam dewan direksi (BOD) perusahaan tidak ada Direktur Operasi dan Direktur Teknik seperti layaknya perusahaan penerbangan sipil.
ADVERTISEMENT
Setelah terjadi perdebatan panjang di media, tepat 30 hari setelah RUPS diangkatlah Direktur Operasi dan Direktur Teknik yang sesuai dengan CASR – 121 dari ICAO, namun lagi-lagi Kementerian BUMN menyalahi aturan yang berlaku, yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 33/2014 Tentang Direksi dan Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik, khususnya Pasal 3 ayat (1) yang tertulis bahwa: “Anggota Direksi diangkat dan diberhentikan oleh RUPS”. Menteri BUMN dalam hal ini melanggar POJK ini karena mengangkat anggota dewan direksi tanpa melalui RUPS/LB, padahal PT Garuda Indonesia merupakan emiten atau perusahaan terbuka.
Lalu, apa hubungannya dengan kekusutan angkutan haji kemarin di BIM dengan di Bandara HLP?
Begini, untuk memenuhi CASR-121, Direktur Operasi dan Direktur Teknik GA diangkat sesuasi persyaratan yang diminta oleh CASR-121 dan UU No. 1 Tahun 2009, yaitu untuk Direktur Operasi salah satu persyaratannya harus pernah atau masih menjadi pilot pesawat berbadan lebar di GA, kemudian untuk Direktur Teknik salah satu persyaratan harus mempunyai sertifikat Aircraft Maiuntenance Engineer (AME) yang masih berlaku, dan keduanya harus diangkat sebagai Direktur di GA.
ADVERTISEMENT
Ini terpenuhi tetapi tidak terpenuhi dari sisi regulasi lain karena mereka berdua diangkat tanpa RUPS/LB karena GA adalah emiten. Jadi ini melanggar POJK No. 33/2014.
Ketika tim OJK melakukan pengecekan (berita saya dapat langsung dari salah satu Komisioner OJK) ke manajemen GA, dikatakan bahwa dua (2) Direksi yang baru diangkat bukan bagian dari dewan direksi. Kewenangannya berbeda, sehingga pengangkatannya cukup oleh Direktur Utama, bukan melalui RUPS/LB.
Sayangnya, OJK percaya saja. Ketika saya tanyakan ke manajemen GA, kedua orang Direktur yang baru diangkat mempunyai kewenangan sama dengan anggota Direksi lainnya. Sayangnya saya tidak percaya dan ini terbukti pada kejadian kemarin di BIM dan HLP.
Mereka secara teknis dan operasi sangat mengetahui bahwa ketiga Bandara, yaitu bandara Internasional Lombok (BIL), BIM dan HLP, spesifikasi landasannya tidak untuk didarati oleh pesawat berbadan lebar B 777 – 300, namun mengapa GA memaksakan? Patut diduga Direktur Operasi GA tidak dapat berbuat banyak ketika Direksi lainnya termasuk Direktur Utama memaksakan penggunaan B 777 – 300 yang selama ini banyak menganggur/tidak terbang dan Direktur Operasi dan Teknik tidak dapat banyak berbuat karena kalah kewenangan.
ADVERTISEMENT
Direktur Operasi GA, karena bukan the real director, tidak dapat berbuat banyak ketika ditekan oleh dewan direksi. Maklum, untuk mengelabuhi kedua peraturan perundang-undangan di atas, mereka berdua hanya 2 (orang) orang direktur di kartu nama, tetapi bukan di kewenangan. Kalau mereka benar-benar direktur yang punya kewenangan penuh, maka dewan direksi akan patuh pada mereka karena mereka berdualah yang paham dan punya kewenangan soal safety dan operasi pesawat.
Jika kewenangan kedua Direksi GA tersebut ada, seharusnya kekusutan kemarin di Bandara BIM dan HLP tidak perlu terjadi, kecuali memang mereka berdua tidak cakap tetapi kecurigaan saya hanya karena mereka berdua tidak punya kewenangan. Katakan jika dua menteri (Perhubungan dan Agama) memaksa dengan kewenangannya intervensi, maka jika terbukti ada intervensi saya sarankan kedua direktur ini mengundurkan diri karena soal safety tidak dapat di intervensi ataupun ditawar tawar untuk kepentingan apapun dan oleh siapapun termasuk presiden.
ADVERTISEMENT
Keselamatan penerbangan merupakan suatu yang wajib dan tidak bisa ditawarmtawar lagi, apalagi menyiasati peraturan demi pencitraan di hadapan Presiden dan publik. Saran saya, presiden mengadakan Rapat Terbatas (Ratas) tentang manajemen Angkutan Haji minggu depan, supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan bersama. Saya kutip saja slogan soal safety di transportasi yang pernah disampaikan oleh mantan Menteri Perhubungan dan pernah populer beberapa waktu lalu :”lebih baik tidak berangkat daripada tidak pernah sampai."
(Bersambung)
AGUS PAMBAGIO (Pemerhati kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen)