Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Vaksin JE Diberikan Gratis, Vaksin DBD Kapan?
5 Oktober 2023 18:17 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Agus Samsudrajat S tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kita semua tahu negara punya harapan yang tertuang dalam program dan kebijakan kesehatan mulai dari Undang-Undang hingga peraturan daerah yang memerlukan biaya tidak sedikit untuk menjaga kesehatan masyarakat. Di antaranya adalah melindungi dari berbagai ancaman penyakit termasuk penyakit menular. Bahkan program prioritas dan kewajiban pemerintah adalah mencegah angka kesakitan dan kematian.
ADVERTISEMENT
Jika diizinkan bertanya, apakah sejauh ini angka kesakitan dan kematian penyakit langganan tiap perubahan iklim yaitu DBD (Demam Berdarah Dengue) secara Nasional dan atau di Provinsi/Kabupaten jauh lebih kecil dan jauh lebih jarang dibandingkan penyakit Japanese Encephalitis (JE) radang otak yang penyebabnya juga disebabkan oleh nyamuk?
Jika JE sudah bisa vaksin gratis dengan cukup adanya 1-2 kasus kesakitan, lalu bagaimana dengan DBD? Apakah kita sudah tahu, di tahun 2023 ini sudah berapa banyak nyawa hilang dan yang terbaring dirawat sakit dengan diagnosa DBD secara Nasional, Provinsi/Kabupaten di tempat anda tinggal?
Faktanya belum tuntas tahun 2023 atau dalam tempo 10 bulan, DBD sudah menghilangkan nyawa lebih dari 30 nyawa dengan ribuan kasus yang sebagian besar adalah anak-anak generasi emas bangsa di mana Provinsi ini juga mendapat alokasi gratis vaksin JE. Apakah perlindungan anak sebagai generasi emas dan kesehatan sudah tidak lagi menjadi prioritas dan terkecualikan untuk penyakit DBD?
ADVERTISEMENT
Mari kita lihat bersama, apakah selama ini kita sudah dengan mudah, bisa melihat perkembangan terbaru kasus penyakit menular di sekitar anda yang dapat menular cepat dari waktu ke waktu seperti DBD, JE, dan lainnya, atau masih harus aktif bertanya-tanya dengan rantai waktu yang lama, panjang dan perlu biaya/bayar untuk sekadar tahu adanya kasus dan risiko kesehatan di sekitar kita.
Atau kita harus menganggap bahwa adanya kasus dan risiko ancaman kesehatan di sekitar kita saat ini sudah itu tidak penting, kecuali kalau sudah parah dan fasilitas kesehatan tidak mampu lagi menanganinya. Jika memang demikian maka prinsip mencegah lebih baik dari pada mengobati, meningkatkan umur harapan hidup atau indeks pembangunan manusia, apakah masih layak kita jadikan tolak ukur keberhasilan negeri ini.
ADVERTISEMENT
Kita bersama tahu bahwa baik nasional atau daerah belum mampu meng-update dan mempublikasikan data kasus penyakit menular seperti DBD, JE dan lainnya secara terpadu, cepat dan akurat sesuai waktu penularan penyakit tersebut. Apalagi mengingat tersebarnya penyakit itu, sangat tergantung dengan adanya kasus baru/sumber penular dan media penular (nyamuk) yang bahkan mustahil untuk dihilangkan sama sekali, meskipun sudah lama ada temuan dan upaya yang sudah dianggap efektif menekan DBD dengan membatasi reproduksi nyamuk melalui bakteri Wolbachia pipientis.
Apalagi kecepatan dan ketepatan pencegahan maupun penanggulangannya akan sangat tergantung dengan keterbukaan data dan dukungan kerja sama lintas sektor guna menghemat waktu, biaya dan meminimalkan risiko meluasnya korban kesakitan dan kematian. Rekaman jejak digital harga vaksin JE dan DBD yang beredar di media iklan oleh klinik/rumah sakit swasta menunjukkan harga yang sebenarnya tidak jauh berbeda.
ADVERTISEMENT
Dengan per dosis sekali vaksinnya di antara 580 ribu hingga 1 jutaan rupiah. Jika JE perlu dosis 2 kali dengan rentang waktu 28 hari dan justru DBD juga 2-3 kali dengan rentang yang lebih lama yaitu 3-6 bulan, tetapi fakta yang terjadi korban kesakitan dan kematian DBD terjadi tiap tahun jelas jauh lebih banyak, lebih luas dan bahkan lebih sering dari pada pada kasus JE.
Meskipun sempat beredar berita bahwa rekan rekan IDAI sudah pernah memberikan saran ke Pemerintah untuk memasukkan vaksin DBD masuk dalam daftar imunisasi dasar yang wajib, hingga kini belum ada perubahan kebijakan sebagaimana yang ada pada kasus JE.
Jika memang vaksin DBD gratis tidak bisa diterapkan serentak di semua daerah dan kelompok usia, setidaknya bisa dilakukan uji coba di daerah endemis tinggi dengan kelompok umur tertentu yang kasus kematian dan kesakitan paling tinggi sebagaimana yang sedang di lakukan pada kasus JE saat ini.
ADVERTISEMENT
Bukan berarti tulisan ini menjadi alasan untuk tidak mendukung dan mengapresiasi vaksin JE sudah gratis di daerah berisiko seperti Bali dan Kalimantan Barat, tapi ketika ada juga penyakit yang kematiannya sudah mencapai angka puluhan per provinsi dan mungkin bahkan sudah ratusan korban dan bahkan ribuan yang terbaring sakit berhari-hari akibat DBD belumlah menjadi prioritas pemerintah.
Selain dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk 3 M Plus (Mengubur, Menguras, Menutup) Plus melindungi diri dan lingkungan rumah dari nyamuk, hingga Fogging. Lalu harus bagaimana dan dengan cara apa lagi, agar angka kesakitan dan kematian ini bisa ditekan dan dicegah.
Jika ada upaya vaksin yang sudah teruji cukup efektif untuk mencegahnya, hanya bisa didapatkan oleh sebagian orang yang mampu dan bisa membayarnya, lalu apa fungsi Negara dalam memberikan perlindungan kesehatan masyarakat. Itupun dengan pilihan harga yang berbeda dengan variasi harga cukup tinggi diberikan oleh berbagai fasilitas kesehatan yang ada ada yang 500 an ribu bahkan jutaan.
ADVERTISEMENT
Mungkin karena itulah ada istilah orang miskin dilarang sakit, Jatuh miskin karena sakit, dan orang sehat hanya untuk orang yang bisa dan mampu membayarnya atau orang yang mampu membayar itu yang lebih berhak untuk sehat.
Semoga vaksin DBD yang gratis terutama bagi anak-anak menjadi bentuk perlindungan dan pencegahan kesakitan dan kematian atas bentuk tanggung jawab negara kepada warganya, menjadi bagian aksi nyata yang bisa masuk program BPJS Kesehatan atau lainnya, jika memang sehat itu adalah hak bagi semua orang tanpa terkecuali.