Konten dari Pengguna

Generasi dalam Bahaya Kekerasan Seksual

Agus Saeful Anwar
Dosen UM Kuningan - Penikmat Literasi
15 November 2024 18:27 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Saeful Anwar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pemerkosaan. Foto: HTWE/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pemerkosaan. Foto: HTWE/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Kekerasan seksual bukan cuma angka dalam berita atau trending topic di media sosial. Ini nyata, menyakitkan, dan terus berulang, seolah sudah jadi kebiasaan. Padahal, bicara soal kekerasan seksual itu bicara soal masa depan kita, generasi kita, anak-anak yang akan menentukan arah bangsa ini. Kalau kita biarkan, mau jadi apa negeri ini?
ADVERTISEMENT
Setiap kali berita tentang kekerasan seksual muncul, reaksi kita umumnya mirip: kaget, marah, lalu…lupa. Mungkin nanti, di berita selanjutnya, kita akan kaget lagi, marah lagi, dan lupa lagi. Padahal, untuk korban dan keluarga, rasa sakitnya bukan sementara, tapi berkepanjangan.
Yang bikin mirisnya, masalah kekerasan seksual sering kali seperti bola panas yang dioper dari satu tangan ke tangan lain: keluarga, sekolah, masyarakat, hingga pemerintah. "Ah, itu tanggung jawab sekolah." "Ya, itu ranahnya orang tua." "Ah, hukum harus ditegakkan!" Tapi setelah sekian kali oper-operan, adakah yang benar-benar selesai?
Yang jelas, kita tak bisa hanya berharap pada satu pihak untuk menyelesaikan ini. Keluarga, sekolah, hukum, media, semua harus bergerak bersama. Mulai dari edukasi seks yang jelas dan aman di rumah, sampai aturan hukum yang tegas di lapangan. Kita harus berubah dari sekadar reaktif menjadi preventif.
ADVERTISEMENT
Yang sering terlewat, dampak dari kekerasan seksual ini bukan cuma memengaruhi korban dan keluarganya, tapi juga masa depan generasi dan masyarakat secara keseluruhan. Bayangkan, ketika kekerasan seksual semakin marak dan normal, kita sedang membentuk masyarakat yang meremehkan hak asasi, menganggap kekerasan sebagai bagian “biasa” dari kehidupan. Generasi yang tumbuh dalam ketakutan atau bahkan trauma tidak akan mampu berkembang optimal; mereka akan tumbuh dengan luka yang perlahan menjadi “normal”. Ini artinya, kita sedang menyiapkan generasi yang rusak.
Dampaknya, masyarakat akan kehilangan potensi generasi muda yang seharusnya kreatif, inovatif, dan mampu membangun bangsa ini. Alih-alih fokus pada pendidikan atau pekerjaan, energi mereka habis untuk menyembuhkan diri, untuk bertahan dari luka yang semestinya tidak perlu mereka rasakan. Ketika satu generasi saja kehilangan arah dan masa depannya, dampaknya akan berantai pada generasi-generasi berikutnya.
ADVERTISEMENT
Kita perlu sadar, kekerasan seksual ini bukan "penyakit sosial" yang bisa diselesaikan lewat seminar dan webinar semata. Yang kita butuhkan sekarang adalah komitmen nyata dari semua pihak untuk membuat lingkungan yang aman bagi semua. Bukan cuma untuk menurunkan angka statistik, tapi untuk menjaga martabat, hak, dan masa depan generasi kita.
Teruntuk mahasiswa yang punya label agent of change atau agent of social control, lets do it kita semua perlu bergerak, bikin lingkungan yang aman dari ancaman. Edukasi sejak dini, ajarin anak-anak soal tubuh dan batasan pribadi, jangan tabu, jangan malu. Terus, jangan segan untuk waspada dan peka sama tanda-tanda yang aneh-aneh. Lebih baik kepo daripada kecolongan.
Kalau untuk kalian yang udah dewasa orang dewasa, pertama, pahami batasan diri dan jangan ragu buat bilang “nggak” kalau ada yang bikin nggak nyaman. Kedua, bangun komunikasi yang jelas biar semua orang tahu mana yang oke, mana yang nggak. Ketiga, buat lingkungan yang aman, misalnya dengan aturan tegas soal pelecehan di tempat nongkrong atau tempat kerja. Dan terakhir, kalau ada yang jadi korban, dukung tanpa menghakimi. Ini soal menjaga ruang aman untuk semua. Mari jadi bagian dari solusi, bukan sekadar penonton.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, kekerasan seksual bukan hanya soal hukum yang harus ditegakkan atau sanksi yang dijatuhkan, tapi soal kita semua yang ingin punya masa depan yang lebih baik. Masa depan yang lebih manusiawi. Jangan sampai kita terus membiarkan hal ini tanpa gerakan nyata, sampai akhirnya generasi kita perlahan-lahan habis dimakan kekerasan.