Kebaikan Berawal dari Seorang Ibu

Agus Sarkoro
Auditor KAP, Ketua DeWas Yayasan Al-Ikhlas Tarakan
Konten dari Pengguna
14 September 2021 20:42 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Sarkoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dapur Tempat Aktivitas Ibu (Sumber: Agus Sarkoro)
zoom-in-whitePerbesar
Dapur Tempat Aktivitas Ibu (Sumber: Agus Sarkoro)
ADVERTISEMENT
Setiap hari setelah bangun tidur, tempat yang pertama saya tuju adalah dapur. Kebiasaan ini telah saya lakukan sejak masih anak-anak. Tetapi, setelah sekian lama kebiasaan itu saya lakukan, baru beberapa hari ini saya menyadari mengapa kebiasaan itu saya lakukan, tepatnya saat pulang kampung menjenguk Ibu yang sudah berusia lanjut. Ketika suatu pagi, setelah salat subuh menemani Ibu di dapur, mengingatkan saya pada masa anak-anak dulu.
ADVERTISEMENT
Setiap hari, sejak pagi buta, pemandangan pertama yang saya lihat adalah aktivitas Ibu di dapur. Dulu, hampir setiap pagi saya terbangun dari tidur karena mendengar berisiknya dapur. Selalu ada saja bunyi benturan piring, gelas, panci, sendok dan segala perlengkapan dapur yang sedang dicuci Ibu. Itu adalah aktivitas pertama di rumah saya.
Setelah selesai mencuci piring, dilanjutkan mencuci beras, menyalakan tungku pawon, mengambil kayu bakar, meniupkan api ke dalam tungku, dan mulai memasak. Entah bagaimana caranya, ajaibnya, sesulit apa pun keadaan waktu itu, Ibu saya selalu mempunyai cara untuk menghasilkan makanan. Ada saja sesuatu yang bisa direbus, digoreng atau dibakar.
Macam-macam bentuk dan nama makanan yang dibuat Ibu saya, tetapi selalu enak rasanya. Kadang ubi rebus, singkong goreng, pisang rebus untuk sarapan. Sebagai lauk untuk menemani nasi, kadang Ibu memasak tumis jantung pisang, daun ketela, kacang panjang, atau ikan asin. Jarang sekali ada ikan, atau ayam goreng. Kecuali jika saya dapat ikan hasil memancing di sungai.
Ilustrasi seorang ibu mengajari masak anaknya. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Mungkin juga karena perut lapar, sehingga semua makanan terasa nikmat. Ajaibnya, apa pun masakan yang dibuat Ibu, selalu menjadi makanan yang ngengenin, dan menjadi makanan favorit sampai saya beranak cucu.
ADVERTISEMENT
Ibu saya bukan hanya memulai kehidupan di rumah kami, tetapi sejak bangun di pagi buta mendahului semua anggota keluarga, Ibu saya sudah memperjuangkan hidup, menyelamatkan keluarga, terutama anak-anaknya dari bahaya kelaparan.
Itulah Ibu, yang selalu mengusahakan seluruh kemungkinan untuk diperjuangkan agar selalu ada sesuatu yang bisa masuk ke mulut anak-anaknya. Seorang Ibu telah memulai kebaikan paling hakiki yang diawali sejak mata mulai terbuka pagi buta. Dia adalah sumber kebaikan seluruh manusia.
Melihat Ibu sibuk di dapur, saya selalu berusaha membantu sebisanya. Ibu tidak pernah memaksa saya untuk membantunya. Sering kali Ibu menyuruh tidur lagi jika melihat saya masih terkantuk-kantuk. Tetapi, rasanya enggak enak, sementara Ibu sibuk menyiapkan makan semua keluarga, saya malah tertidur nyenyak.
ADVERTISEMENT
***
Pemandangan itu datang kembali setelah saya menikah dan tinggal di rumah mertua saya. Kesibukan yang sama dilakukan oleh Ibu mertua saya. Persis sama seperti yang Ibu saya lakukan. Setelah saya pindah ke rumah saya sendiri, pemandangan itu muncul kembali. Istri saya juga punya kebiasaan yang sama setiap paginya seperti kebiasaan Ibu dan mertua saya. Juga pasti Ibu-ibu yang lain.
Ternyata, dari dulu saya tidak pernah tega membiarkan Ibu saya sendirian di dapur di pagi buta. Rasanya sangat tidak pantas, sementara Ibu saya sudah bekerja, saya masih tertidur pulas. Karena perasaan tidak tega itulah akhirnya menjadi kebiasaan saya menemani istri di dapur sejak bangun tidur.
Ada banyak contoh-contoh kebaikan, ini adalah kebaikan seorang perempuan yang menjadi Ibu. Jadi, jika melihat betapa tulus dan mulianya kebaikan seorang Ibu untuk anak-anaknya, sulit rasanya untuk kita tidak menaruh hormat kepadanya.
ADVERTISEMENT