Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Gencatan Senjata Israel ke Lebanon Bukan Tanda Kekalahan,
29 Januari 2025 10:32 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Agustina Rahmawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
tetapi Langkah Strategis dalam Perencanaan Militer dan Agenda Setting
ADVERTISEMENT
Gencatan senjata antara Israel dan Lebanon yang disepakati pada 27 November 2024 memunculkan berbagai klaim bahwa Israel kalah karena menyetujui proposal tersebut. Namun, menurut penulis, kesepakatan ini bukanlah tanda kekalahan, melainkan langkah strategis Israel untuk mempertahankan dominasi di Timur Tengah, khususnya di perbatasan dengan Lebanon. Langkah ini memberikan Israel kesempatan untuk menghitung ulang kekuatan logistiknya, merestrukturisasi operasi militernya, dan memanfaatkan agenda setting untuk memengaruhi opini publik.
Oleh karena itu, artikel ini akan membahas dua argumen utama: pertama, gencatan senjata sebagai bagian dari perencanaan strategis terkait logistik dan militer untuk menjaga superioritas operasional; dan kedua, agenda setting yang bertujuan mengarahkan opini publik dan diskursus internasional untuk mengukuhkan legitimasi dan pengaruh Israel di kawasan.
ADVERTISEMENT
Gencatan senjata tidak dapat dilihat sebagai tanda kelemahan, tetapi sebagai langkah pragmatis untuk memastikan kelanjutan superioritas operasional Israel. Konflik berkepanjangan dengan Hezbollah telah menyebabkan pengurasan sumber daya militer yang signifikan, termasuk amunisi, tenaga kerja, dan anggaran. Sejak Oktober 2023, sebanyak 3.768 orang tewas dan 15.699 terluka di Lebanon, sementara di Israel, 45 warga sipil dan 73 tentara kehilangan nyawa akibat serangan Hezbollah (Bera, 2024). Dalam kondisi seperti ini, jeda untuk reorganisasi logistik menjadi kebutuhan strategis yang tidak dapat diabaikan.
Konflik berkepanjangan dengan Lebanon juga membawa dampak signifikan terhadap perekonomian Israel. Biaya perang yang tinggi, baik secara finansial maupun sosial, melemahkan daya saing ekonomi negara. Kerusakan properti di Israel diperkirakan mencapai 1 miliar shekel, sementara di Lebanon, kerusakan infrastruktur yang parah dan keterbatasan akses terhadap kebutuhan dasar telah menurunkan pendapatan lebih dari 55% penduduk serta memperburuk kualitas hidup warga (Sukarieh et al., 2024).
ADVERTISEMENT
Kondisi ini menunjukkan betapa besar dampak konflik terhadap stabilitas domestik kedua negara. Dalam hal ini, gencatan senjata memberikan Israel peluang untuk mengalihkan fokus dari perang ke pemulihan ekonomi yang penting untuk keberlanjutan jangka panjangnya.
Gencatan senjata juga memberi Israel kesempatan untuk mengalihkan fokus militernya ke ancaman yang lebih besar. Di Suriah, lebih dari 310 serangan udara Israel menargetkan infrastruktur militer, seperti gudang senjata dan depot amunisi, yang dianggap dapat memperkuat kelompok-kelompok ekstremis pro-Iran setelah kejatuhan Bashar al-Assad (Krever, 2024). Tidak berhenti di sana, Israel juga memperkuat operasi militer di Gaza, dengan menghancurkan peluncur roket dan benteng Hamas yang digunakan untuk menyerang wilayah Israel.
Keputusan Israel untuk menghentikan konflik dengan Lebanon juga mencerminkan kebutuhan mendesak guna menjaga stabilitas internal militernya. Protes prajurit dan pengunduran diri pejabat militer menandakan tekanan yang ditimbulkan oleh kelelahan fisik dan mental pasukan, sehingga menjaga moral dan kesiapan operasional menjadi prioritas bagi Israel untuk mempertahankan dominasinya di kawasan. Dalam hal ini, gencatan senjata dipandang sebagai langkah taktis untuk mencegah pengurasan sumber daya dan memberi waktu bagi Israel untuk merencanakan pertempuran yang lebih terstruktur di masa mendatang.
ADVERTISEMENT
Selain pertimbangan logistik dan perencanaan militer, gencatan senjata antara Israel dan Lebanon juga memberikan Israel peluang untuk mengontrol narasi internasional melalui agenda setting. Dalam hubungan internasional, kontrol atas narasi merupakan instrumen penting untuk membangun legitimasi atas tindakan suatu negara. Dengan menyetujui gencatan senjata, Israel berhasil membangun citra sebagai pihak yang mengutamakan diplomasi dan stabilitas, meskipun mereka tetap melancarkan operasi militer di wilayah lain.
Narasi ini terlihat nyata dalam langkah-langkah Israel di Suriah. Serangan udara terhadap fasilitas senjata kimia yang diduga dimiliki rezim Assad dipromosikan sebagai upaya untuk mencegah proliferasi senjata berbahaya. Media internasional memperkuat narasi bahwa tindakan Israel bertujuan untuk menjaga keamanan global, meskipun pada kenyataannya langkah tersebut juga bertujuan untuk melemahkan kekuatan geopolitik Suriah dan Iran. Di Gaza, narasi serupa digunakan untuk membingkai serangan terhadap Hamas sebagai bagian dari perlindungan komunitas Israel di sekitar perbatasan.
ADVERTISEMENT
Dengan memanfaatkan media sosial dan media internasional, Israel tidak hanya mengalihkan perhatian global dari kekurangan mereka dalam konflik Lebanon, tetapi juga mengarahkan fokus dunia pada ancaman dari Suriah dan Gaza. Strategi ini memungkinkan Israel membangun citra sebagai penjaga stabilitas di kawasan Timur Tengah, meskipun langkah-langkah militernya sering kali memicu kontroversi.
Dukungan internasional, terutama dari Amerika Serikat, turut memperkuat kemampuan Israel dalam mengontrol diskursus global. Sebagaimana diungkapkan Sevilla (2024), negara-negara besar seperti AS sering menggunakan perjanjian internasional untuk mengarahkan narasi yang mendukung kepentingan strategis mereka. Dalam konteks ini, dukungan AS memungkinkan Israel untuk menjaga legitimasi atas tindakannya, sekaligus merumuskan kebijakan yang lebih menguntungkan di panggung internasional. Dukungan ini tidak hanya memberikan legitimasi politik, tetapi juga memperluas kapasitas Israel untuk memanipulasi narasi global melalui agenda setting.
ADVERTISEMENT
Dengan memanfaatkan media global dan dukungan Amerika Serikat, Israel berhasil mengalihkan fokus internasional dari konflik Lebanon ke ancaman eksternal lain, seperti proliferasi senjata di Suriah dan aktivitas Hamas di Gaza. Narasi yang dibangun menciptakan citra Israel sebagai aktor stabilitas regional, meskipun strategi ini juga mencerminkan kemampuan Israel untuk mengintegrasikan hard power melalui aksi militer dengan soft power melalui manipulasi opini publik.
Oleh karena itu, gencatan senjata ini tidak hanya menjadi alat penghenti konflik, tetapi juga instrumen strategis yang dirancang untuk memperkuat pengaruh geopolitik Israel, mempertahankan dominasinya di Timur Tengah, dan mengamankan posisinya dalam diskursus internasional. Dengan dukungan Amerika Serikat sebagai katalisator utama, Israel menunjukkan kemampuannya untuk menyatukan kekuatan militer dan diplomasi dalam strategi geopolitik yang berjangka panjang.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, agenda setting menjadi instrumen sentral bagi Israel dalam memanipulasi opini publik dan mengarahkan diskursus global demi arah tujuannya. Strategi ini menegaskan bahwa gencatan senjata bukan sekadar penghentian konflik, tetapi bagian dari langkah taktis untuk memperkuat dominasi Israel di kawasan dan memaksimalkan pengaruhnya di tingkat global.
Sebagai kesimpulan, gencatan senjata antara Israel dan Lebanon pada 27 November 2024 bukanlah tanda kekalahan, melainkan strategi kalkulatif untuk memperkuat dominasi Israel di Timur Tengah. Dengan perencanaan strategis logistik dan militer, langkah ini memungkinkan Israel merestrukturisasi kekuatan yang terkuras akibat konflik, memperkuat stabilitas internal, dan mempersiapkan operasi lebih terorganisir di Suriah dan Gaza. Selain itu, gencatan senjata berfungsi sebagai alat agenda setting untuk mengontrol narasi internasional, memperkuat citra Israel sebagai penjaga stabilitas regional, dan mengarahkan perhatian dunia pada ancaman eksternal seperti Hamas dan proliferasi senjata di Suriah.
ADVERTISEMENT
Dukungan sekutu utama seperti Amerika Serikat memperkuat legitimasi internasional Israel dan mengamankan kepentingan geopolitiknya. Dengan demikian, gencatan senjata ini menjadi alat strategis untuk mempertahankan dominasi Israel dan memperkuat pengaruhnya dalam diskursus global.