news-card-video
26 Ramadhan 1446 HRabu, 26 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Netizen +62 di Gurun Nihilisme

Mardika Leuf Bnani
Alumni Fakultas Filsafat Universitas Kalolik Widya Mandira Kupang. Penulis Bidang Akademis dan Content Writer Di Media Online dan Blogger.
20 Februari 2025 22:30 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mardika Leuf Bnani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sketsa Abtraksi Pertautan Manusia dan Media Sosial. Sumber: Gemini Image Generate
zoom-in-whitePerbesar
Sketsa Abtraksi Pertautan Manusia dan Media Sosial. Sumber: Gemini Image Generate
ADVERTISEMENT
Kita, Netizen +62 terlempar. Terjalin dalam dialog yang hampa, sebuah interkoneksi yang paradoksitasnya memicu keterisolasian. Kita mengalami adanya keterhubungan, keterjalinan yang hampir tak terbatas. Dalam pelarian dari realitas—fuga mundi—kita justru dikejar oleh kesepian yang akut. Sebuah ironi eksistensial, seperti yang pernah disinggung oleh Sartre, manusia sebagai being-for-itself terus-menerus mencari makna, namun tak pernah sepenuhnya menemukannya.
ADVERTISEMENT
Nihilisme hadir sebagai antitesis dari pencarian makna tersebut. Hidup dianggap tak memiliki makna intrinsik, tujuan definitif, atau kebenaran mutlak. Nietzsche menyerukan "kematian Tuhan" dan mewarisi krisis moralitas kepada bangsa manusia. Kita terdampar di dunia yang luas dan sunyi, menghadapi ketiadaan. Namun, bukankah ini undangan untuk menciptakan makna kita sendiri? Jika dunia tak memberikan tujuan, mengapa kita tak menciptakannya? Seperti sabda Zarathustra, kita adalah pencipta makna di dunia yang seolah tak bermakna.
Kita selalu ingin didengar. Kita ingin suara kita mencapai sesuatu, meskipun sering kali tak tahu pasti apa itu. Kita membutuhkan ruang kosong tempat di mana suara-suara bisa berbicara tanpa dihalang. Kehadiran dalam kekosongan ini adalah ruang di mana kita bisa berhenti sejenak dan merenung—tercermin dalam konsep Being-in-the-world Heidegger—keberadaan yang tidak terpisah dari dunia yang lebih luas. Di zaman di mana layar lebih sering menyapa kita ketimbang wajah manusia, seringkali kita amnesia tentang komunikasi yang sejati. Kita menekan tombol, mengirim pesan, mengupload status setiap hari, tetapi apakah kita benar-benar berkomukasi? Atau, apakah yang kita lakukan hanyalah mengisi kehampaan dengan suara-suara yang tidak pernah kita pahami sepenuhnya?
ADVERTISEMENT
Di awal kemunculannya, dunia digital menawarkan harapan akan kejalinan yang tak terbatas, menjembatani segala ketakterjangkauan. Sebelumnya, kita bagaikan rusa yang merindukan air, dahaga akan kehadiran dan interaksi yang tak terbatas. Dunia digital hadir sebagai oase di tengah gurun komunikasi, memberikan platform untuk bersuara, eksis, dan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Facebook, Twitter, Instagram, menjadi ruang bagi narasi, memori, dan identitas kolektif. Media sosial adalah jawaban atas kebisuan, dan kontingensi ruang dan waktu.
Kini, ia adalah badai, suara-suara itu berubah menjadi sebuah gemuruh. Di tengah harapan akan kejalinan yang lebih dalam, kita justru berhadapan dengan sesuatu yang jauh lebih bising, lebih dangkal, lebih mudah retak. Netizen +62, sebagai bagian dari peradaban digital yang lebih luas, seolah melupakan makna dari sebuah komunikasi. Bukannya menjalin hubungan yang lebih dalam, yang kita lihat adalah percakapan yang terfragmentasi, pikiran yang saling berpapasan tanpa pernah bertemu. Di tengah arus data yang membanjir, apakah kita benar-benar bisa menemukan suara kita atau kita justru tersesat?
ADVERTISEMENT
Namun, dengan apa kita berkomunikasi? Narasi-narasi terlupakan, suara-suara terkubur di tengah kebisingan. Obrolan yang berlalu bagai angin, status-status yang hilang ditelan algoritma. Dalam pencarian makna, Wittgenstein mengingatkan, kata-kata adalah jalan untuk memahami, untuk menyelami dunia dan diri sendiri. Sialnya, di tengah riuhnya dunia digital, kita justru semakin jauh dari makna itu. Informasi datang bagai tsunami, tak terbendung.
Media sosial seharusnya menjadi ruang kesadaran kolektif, ia seharusnya sebuah bentuk kepanjangan kafe, tempat kita berbicara bukan hanya untuk didengar, tetapi untuk saling memahami. Namun, apakah kita benar-benar ingin dipahami? Atau hanya ingin membuat suara kita terhitung algoritma, meski tanpa tujuan yang jelas? Apakah kita berkomunikasi, atau hanya berteriak dalam kekosongan? Apakah ini ruang eksistensi, atau hanya kebisingan yang mengaburkan makna?
ADVERTISEMENT
Di luar segala data yang kita konsumsi, kita perlu menyadari bahwa kebisingan ini bukanlah kekosongan tanpa makna. Dalam kebisingan, ada jejak-jejak yang tertinggal—setiap opini, setiap komentar, setiap klik—semuanya membentuk sebuah peta yang lebih besar, sebuah labirin yang menuntun kita pada pencarian yang lebih dalam. Tetapi apakah kita benar-benar siap untuk menempuh jalan itu? Apakah kita ingin keluar dari ruang gema yang terbentuk oleh algoritma, atau apakah kita lebih suka terus terperangkap dalam pusaran itu?
Barangkali, dalam kegaduhan, tersembunyi jawaban yang lebih kontemplatif, lebih mendalam. Bukan melalui proliferasi suara, melainkan melalui internalisasi ruang untuk berpikir. Dalam ruang yang gaduh ini, imperatifnya adalah menemukan suara otentik, esensi diri, bukan dalam kata-kata yang kehilangan ruh, melainkan—sebagaimana diungkapkan Lao Tzu—dalam keheningan sebagai arkhe segala makna, di mana keheningan itu sendiri menihilkan segala yang superfisial. Dengan jalan itu, kita dapat menguji, apakah kehadiran kita di media sosial merupakan eksplorasi yang bermakna, ataukah sekadar distorsi suara yang kita pilih.
ADVERTISEMENT
Jika pada akhirnya pilihan kita tereduksi antara eksistensi dan distorsi suara, maka jawabannya mungkin bersemayam dalam keberanian kita untuk berdiam diri, untuk mendengarkan secara lebih mendalam, dan untuk mempertajam kepekaan yang empatik.
Sumber:
Internet Encyclopedia of Philosopy