Konten dari Pengguna

Menghargai Privasi Anak sebagai Entitas Manusia yang Utuh

Ahmad Dzul Ilmi Muis
Seorang Alumnus Jurusan Antropologi Unair
3 Juni 2021 17:53 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Dzul Ilmi Muis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Ketertekanan Anak. Sumber Gambar: Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Ketertekanan Anak. Sumber Gambar: Pixabay.com
ADVERTISEMENT
Privasi termasuk sebagai hak asasi manusia, semua manusia memilikinya dan selayaknya untuk tetap kita hargai. Karena ketika pelanggaran suatu privasi tersebut terjadi, maka pasti akan memiliki dampak tertentu dalam hubungan antarmanusia nantinya.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya merupakan sesuatu yang wajar apabila dalam perkembangannya anak kemudian sedikit memiliki jarak dengan orang tuanya. Dalam beberapa hal, anak merasa orang tuanya tidak perlu tahu. Itu masuk dalam konsep privasi yang dimiliki oleh anak. Tapi bagaimana jadinya apabila privasi tersebut dilanggar oleh orang tua?
Apa yang akan anak rasakan apabila sesuatu yang seharusnya masih ingin disimpan olehnya tiba-tiba dengan semena-mena dibuka dan berusaha untuk diketahui oleh orang tuanya?
Bagaimana dampak dari pelanggaran privasi anak oleh orang tua ini kepada kehidupan keluarga mereka dan komunikasi mereka ke depannya?
Mungkin beberapa dari kalian pernah mengalami atau bahkan sampai saat ini masih merasakan bahwa kalian tidak memiliki privasi sama sekali di hadapan orang tua kalian. Entah itu memang dengan sengaja dibuat seperti itu atau bagaimana, yang jelas pernah gak sih kalian merasa hal itu sedikit menjengkelkan?
ADVERTISEMENT
Begitulah kehidupan dalam keluarga, bahkan terkadang antar anggotanya privasi pun merupakan sesuatu yang seolah mudah untuk dilanggar satu sama lain, dengan dalih “keluarga”.
Terlebih ketika konteks ini dihadapkan antara anak dan orang tua, yang mana pasti ada suatu hierarki yang tidak seimbang dalam posisi dan status. Terkadang meskipun merasa tidak nyaman, sang anak tidak bisa melakukan hal lain karena merasa itu adalah orang tua mereka.
Si orang tua pun begitu, terkadang meskipun sang anak telah berusaha untuk menyampaikan kejengkelan dalam hatinya, namun dengan seluruh egonya dia lebih memilih untuk tetap tidak mendengarkan dan merasa bahwa diri mereka itu memiliki “wewenang” atas diri sang anak.
Dilema seperti ini mungkin pernah kalian rasakan atau sedang kalian rasakan. Ketika kalian berposisi sebagai seorang anak akan timbul rasa “takut” untuk melawan orang tua kalian. Terutama dengan dalih-dalih yang selama ini telah kalian terima tentang “anak durhaka”.
Ilustrasi Ketakutan Anak. Sumber Gambar: Pexels.com
Betapa tidak adilnya konsep itu karena dengan adanya konsep itu, maka sempurnalah pendudukan atau hierarki yang dibangun antara hubungan kedua manusia ini. Seolah dengan ada konsep itu, maka si anak sama sekali tidak boleh melawan ataupun memberontak padahal di kasus tertentu memang orang tua mereka yang salah dan tidak mendengarkan mereka.
ADVERTISEMENT
Sering kali kasus seperti ini menjadi sangat dilematis dikarenakan kedua belah pihak terkadang memiliki nilai mereka masing-masing yang memang tidak bisa dikatakan untuk salah, namun hanya saja kedua pihak ini enggan bersepakat terkait nilai tersebut.
Di satu sisi sang anak menuntut agar diri mereka tetap memiliki privasi dan hal itu dihargai oleh orang tua mereka, namun di sisi lain si orang tua apapun itu bentuk perilakunya, mereka akan berdalih melakukan semua itu demi kebaikan sang anak juga. Mereka selalu ingin mengontrol dan mengawasi sang anak dalam hal apa pun, tujuan mereka adalah demi keamanan sang anak itu sendiri.
Tak bisa dipungkiri karena adanya hierarki yang sejak awal telah terjadi antara hubungan orang tua dan anak tersebut, maka kedua belah pihak ini sulit untuk duduk dan berdiskusi bersama selayaknya dua entitas individu yang masing-masing memiliki pikirannya yang patut untuk saling dihargai.
ADVERTISEMENT
Jauh dalam lubuk hati mereka, sang anak merasa derajat mereka lebih rendah dan si orang tua merasa derajat mereka lebih tinggi. Hubungan tersebut akan terus saling timpang seperti ini.
Ilustrasi Ego Orang Tua kepada Anak. Sumber Gambar: Pexels.com
Ketika hubungan timpang ini berusaha untuk dicairkan, terkadang dari sisi orang tua akan dengan sangat canggung memulai percakapan kepada sang anak. Apalagi untuk sampai bisa mengucap kata maaf terlebih dahulu kepada sang anak apabila mereka memang salah. Bahkan tak jarang meskipun mereka sendiri mengetahui kalau diri mereka salah, hanya demi ego dan gengsi, maka mereka tidak akan meminta maaf terlebih dahulu.
Dalam pandangan orang tua, penulis berpendapat bahwa mereka akan selalu melihat atau memandang anaknya ini sebagai anak kecilnya sampai kapan pun. Bahkan meski memang sang anak telah beranjak dewasa sekalipun, bagi pandangan orang tua dia tetap anak kecilnya yang patut untuk mendapatkan perlindungannya.
ADVERTISEMENT
Tak jarang di beberapa kasus orang tua akan tetap melindungi anaknya mati-matian dengan cara apa pun. Cuma dalam konteks ini, mungkin cara untuk melindungi dan mengawasi bisa dikatakan berlebihan apabila memang sampai melanggar privasi anak dan malah membuat sang anak sendiri merasa tidak nyaman.
Menurut hemat penulis, akan ada perasaan sedikit menyesal dan kangen dari orang tua kepada anak-anaknya yang saat ini dia lihat telah tumbuh dewasa dan menurusi urusannya sendiri. Mereka kangen saat suasana itu semua berbalik ke beberapa tahun yang lalu sewaktu mereka masih kuat untuk menggendong anak kecil tersebut yang saat ini telah tumbuh dewasa kemana-mana.
Kadang bahkan orang tua akan merasa kesepian apabila sang anak terlalu sibuk dengan dunianya dan merasa bahwa seolah-olah sang anak tersebut sudah tidak mempedulikan lagi si orang tua. Upaya-upaya protektif kemudian akan muncul dari perasaan-perasaan ini.
ADVERTISEMENT
Menurut Arnett (2000) wajar saja akan ada sifat mulai menjauhkan diri seperti itu dari anak kepada orang tuanya, ketika sang anak merasa diri mereka sudah mulai beranjak dewasa. Kemandirian menuntut mereka pada akhirnya akan membuat semacam jarak dengan orang tuanya secara sengaja.
Dalam hal komunikasi pun, sang anak ketika merasa diri mereka sudah mulai beranjak dewasa akan perlahan menarik diri dari orang tuanya. Mereka merasa ada informasi tertentu yang patut untuk tetap mereka pendam sebelum akhirnya akan mereka bagikan sendiri pada waktunya (Caughlin & Golish, 2002).
Masa transisi itu oleh Arnett (2000) disebut dengan Adulthood. Pergeseran dari masa kanak-kanak, menjadi remaja, kemudian menjadi dewasa terkadang sedikit sulit untuk diikuti oleh orang tua karena percepatan tersebut mungkin berbeda pada tiap anak. Memang akan butuh waktu bagi orang tua untuk bisa lebih beradaptasi menghadapi anaknya yang ternyata sudah dewasa.
ADVERTISEMENT
Kesulitan untuk beradaptasi akan berkali lipat dirasakan oleh orang tua apabila sang anak masih tinggal dalam rumah orang tua, serta beberapa kehidupan dasar dari sang anak masih merupakan tanggungan dari orang tua (Caughlin & Golish, 2002). Maka dengan adanya hal itu, bisa jadi orang tua akan tetap menganggap kalian sebagai anak kecilnya karena dianggap belum mampu untuk memiliki tanggungan hidup sendiri.
Bisa jadi dalam benak orang tua, ada semacam tuntutan tertentu kepada sang anak untuk mempersiapkan anaknya tersebut agar benar-benar telah siap dalam kehidupan para orang dewasa. Orang tua akan merasa kalau jangan-jangan nanti sang anak akan terkaget-kaget atau bahkan melakukan sesuatu yang menurut mereka “kurang pantas” untuk dilakukan ketika memasuki dunia dewasanya. Perasaan itu kemudian menjadi semacam hak dan/atau kewajiban dari orang tua kepada sang anak untuk mengarahkan (Petronio, 2010).
ADVERTISEMENT
Hal yang perlu dicatat di sini adalah ketika orang tua melakukan tindakan yang bisa dibilang terlalu protektif, bahkan sampai melanggar privasi dari sang anak, justru hal itu akan membuat kemandirian anak melambat. Sedangkan sebaliknya, ketika orang ua mengetahui batasan tertentu terkait privasi yang tidak patut untuk dilanggar, maka sang anak akan mampu untuk lebih mandiri (Petronio, 1994).
Bagi Petronio (1994) tidak hanya sekadar kemandirian saja yang mungkin akan melambat, lebih parahnya lagi adalah keharmonisan hubungan antara anak dan orang tua pasti akan terganggu apabila sang anak dibuat merasa tidak nyaman lantaran privasi mereka dilanggar bahkan oleh orang tua mereka sendiri.
Ketika coba dikejar apa alasan orang tua melakukan pelanggaran privasi tersebut, mungkin mereka juga akan terbesit bahwa ketika tidak melakukan hal itu maka sang anak tidak akan pernah terbuka dan bercerita apa adanya kepada mereka.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut justru terbantahkan dari penelitian Koerner dan Fitzpatrick (1997) yang menyatakan justru semakin privasi itu dilanggar, maka sang anak akan semakin tertutup dan lebih memilih untuk memendam semua perasaannya. Ketimbang keluarga yang tetap saling menghargai privasi satu sama lain, justru akan membuat lingkungan keluarga yang harmonis dan penuh dengan percakapan hangat antar anggotanya.
Logika sederhana yang mampu untuk penulis berikan adalah seperti ini, ketika ada orang lain yang menyerang kita, maka otomatis dengan refleks kita akan bertahan dari serangan tersebut dan meningkatkan kewaspadaan kita pada orang tersebut.
Sebaliknya, ketika kita tidak merasa terganggu dan diserang oleh orang, maka kita tidak perlu untuk menggunakan mode bertahan dan kewaspadaan kita akan cenderung rendah terhadap orang tersebut.
ADVERTISEMENT
Jadi semakin orang tua melanggar privasi dari sang anak, maka sebenarnya akan membuat bank anak menjadi semakin menjauhkan diri dari mereka serta enggan untuk bercerita atau terbuka apa adanya. Maka jangan pernah langgar privasi dari anak. Anggaplah anak itu merupakan entitas individu yang lain, yang juga perlu untuk kita hargai sebagai sesama manusia.
Jangan pernah memiliki anggapan bahwa anak itu merupakan makhluk yang berada lebih rendah daripada orang tua yang harus selalu tunduk dan patuh kepada orang tua bahkan tidak pernah sekalipun pendapatnya didengarkan apalagi sampai dihargai.
Referensi
Arnett, J. J. (2000). Emerging adulthood: A theory of development from the late teens through the twenties. American psychologist, 55(5), 469.
Caughlin, J. P., & Golish, T. D. (2002). An analysis of the association between topic avoidance and dissatisfaction: Comparing perceptual and interpersonal explanations. Communication monographs, 69(4), 275-295.
ADVERTISEMENT
Koerner, A. F., & Fitzpatrick, M. A. (1997). Family type and conflict: The impact of conversation orientation and conformity orientation on conflict in the family. Communication Studies, 48(1), 59-75.
Petronio, S. (1994). Privacy binds in family interactions: The case of parental privacy invasion.
Petronio, S. (2010). Communication privacy management theory: What do we know about family privacy regulation? Journal of family theory & review, 2(3), 175-196.