Konten dari Pengguna

Narsisme Politik di Persimpangan Jalan

Ahmad Hadziq
Pemerhati masalah sosial dan politik. Alumni Fak. Syariah IAIN STS Jambi. Pernah menjadi anggota KPU Tanjung Jabung Barat periode 2013-2018 dan 2018-2023.
14 September 2023 17:04 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Hadziq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Baliho PPP ikut menyukseskan Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah ke-48 di Solo. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Baliho PPP ikut menyukseskan Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah ke-48 di Solo. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Narsisme merupakan perasaan cinta kepada dirinya sendiri dengan memuji diri sendiri secara berlebihan. Dalam konteks politik, para narsisme seakan-akan mereka merasa dirinya yang paling baik, paling berprestasi dan paling peduli terhadap kesejahteraan rakyat.
ADVERTISEMENT
Perilaku narsisme ini seolah demi memperjuangkan nasib rakyat, padahal tujuan utama mereka adalah untuk sosialisasi dan mencitrakan diri agar berhasil merebut kekuasaan pada saat pemilu nanti.
Seorang pakar psikologi Jhon W Santrock dalam bukunya Perkembangan Anak Edisi 7 (2011) menjelaskan narsisme adalah pendekatan terhadap orang lain yang berpusat pada diri (self-centered) dan memikirkan diri sendiri (self-concerned).
Jika melihat realita saat ini di tengah tahapan pemilu, apa yang dijelaskan oleh Santrock semakin jelas nyata kita temukan narsisme politik dalam bentuk baliho dan spanduk di simpang jalan yang menampilkan foto diri. Padahal, apa yang disampaikan bukanlah hal-hal yang luar biasa namun lebih menonjolkan foto diri dan nama.
Justru yang menjadi luar biasa adalah baliho dan spanduk yang terpasang sudah lebih mengarah kepada unsur-unsur kampanye meskipun tahapan itu belum di mulai. Baliho dan spanduk menjadi media yang popular di sebagian besar bacaleg dalam membangun komunikasi politik.
ADVERTISEMENT
Baliho kemudian dijadikan sebagai simbol dan bahasa politik dalam amatan Jean Baudrillard (Piliang, 2009) disebut sebagai simulakra politik (political simulacra) yaitu suatu keadaan sedang berlangsungnya simbiosis strategis politik dan teknologi pencitraan (imagology) yang di dalamnya citra tentang tokoh dan partai di kemas dalam rangka mempengaruhi persepsi, emosi, perasaan, kesadaran dan opini publik sehingga calon pemilih dapat digiring ke sebuah preferensi, pilihan dan keputusan politik tertentu (the imagology of politic).
Dalam beberapa bulan terakhir, baliho-baliho yang terpasang tidak hanya menjadi bagian kampanye politik, bahkan sudah cukup mengganggu citra estetika kota. Tempat-tempat yang harusnya menjadi wilayah publik tak luput dari ramainya iklan-iklan politik.
Namun di satu sisi, masyarakat juga memiliki hak atas informasi tentang calon dan program-program mereka. Di sinilah sebenarnya caleg di tuntut mampu melakukan metode yang kreatif dan edukatif kepada masyarakat seperti seminar, diskusi tentang isu-isu yang menarik saat ini, pelatihan-pelatihan kepada UMKM dan lainnya yang bisa meningkatkan interaksi aktif.
ADVERTISEMENT
Setiap daerah dengan karakteristiknya masing-masing tentu memiliki peraturan daerah tentang tata tertib dan estetika. Begitu pula dengan peraturan daerah tentang aturan pemasangan reklame yang dipastikan ketentuan itu banyak dilanggar oleh baliho-baliho bacaleg. Terlebih lagi dalam regulasi KPU maupun Bawaslu.
Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022 menyebutkan bahwa tahapan kampanye baru akan di mulai pada 28 November 2023 sampai dengan 10 Februari 2024. Namun sebelum itu, para peserta pemilu diperbolehkan melakukan sosialisasi dengan ketentuan yang sudah di atur.
Pada pasal 79 Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2023 telah diatur bahwa partai politik peserta pemilu dapat melakukan sosialisasi dan Pendidikan politik dengan metode pemasangan bendera partai politik dan nomor urutnya, pertemuan terbatas dengan memberitahukan terlebih dahulu kepada KPU dan Bawaslu sesuai tingkatannya paling lambat satu hari sebelum pelaksanaan.
ADVERTISEMENT
Lantas apakah baliho bacaleg yang nyaris ditemukan terpasang di tiap persimpangan jalan termasuk pelanggaran kampanye? Bukankah tahapan kampanye sendiri belum di mulai? Menyikapi hal tersebut jika kembali pada Peraturan KPU nomor 15 tahun 2023 pasal 79 di jelaskan bahwa yang diperbolehkan sebelum memasuki tahapan kampanye hanya sosialisasi dan pertemuan terbatas.
Lebih dari itu, masih pada pasal tersebut di jelaskan pada ayat (4) dijelaskan bahwa sosialisasi yang dilakukan dilarang mengungkapkan citra diri dan melarang alat peraga kampanye di tempat umum. Sehingga tidak heran, mengutip pernyataan Anggota Bawaslu Totok Hariyono pada saat menutup Pelatihan Penguatan Kompetensi Anggota Bawaslu Kabupaten/Kota periode 2023-2028 sebagaimana yang dilansir di banyak media.
Sebagaimana dikutip dari Bawaslu RI, beliau mengingatkan kepada jajarannya di kabupaten/kota agar tidak ragu untuk menertibkan alat peraga kampanye yang terpasang saat ini. Arahan itu tentulah tidaklah berlebihan sebagai pengingat kepada peserta pemilu agar taat kepada aturan sekaligus sebagai simbol bagi Bawaslu dalam penegakan hukum.
ADVERTISEMENT
Sementara dikutip dari tempo.co, sejalan dengan pernyataan tersebut, anggota Bawaslu Lolly Suhenti pun menyebutkan bahwa alat peraga yang berisikan visi misi, program dan gambar calon anggota legislatif masuk dalam kategori alat peraga kampanye, dan itu tidak boleh.