Konten dari Pengguna

Membicarakan Langit

Ahmad Haetami
Mahasiswa Sastra Indonesia - Universitas Pamulang.
5 Agustus 2023 12:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Haetami tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pancaran rembulan menyinari semesta, sumber gambar; pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Pancaran rembulan menyinari semesta, sumber gambar; pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Waktu menunjukkan pukul dua dini hari, tapi pancaran rembulan belum memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia akan meredup. Riuh pepohonan saling berteriak dalam kebisingan sambil menyebut asma sang Maha Cinta, “Subhanallahsubhanallah”. Alunan angin bergemuruh menghentak-hentak menghantar berjuta pesan kepada sang Maha Kasih.
ADVERTISEMENT
Barisan cahaya menghiasi semesta dengan desain sempurna hingga membuat suasana semakin semarak. Aku coba menghela napas dalam-dalam, memejamkan mata dan mendengarkan baik-baik simfoni malam, beranjak dari kursi duduk lalu ku tatap langit.
Langit tetap indah, berwibawa, menakjubkan bahkan ia selalu dikagumi semua penduduk bumi. Walau banyak bangunan yang menjulang tinggi berlomba-lomba mencakar langit, biarlah semua manusia berkata bangunan itu telah mampu mencakar langit. Toh, pada kenyataannya langit tidak pernah tersentuh walau sedikit pun.
samudra cahaya semesta, gambar; pixabay
Begitu dahsyatnya langit, bahkan ketika Ibrahim alaihi salam sakit mencari obat ke berbagai penjuru negeri menjelajahi bumi, lalu apa jawaban beliau katakan, “Aku mencari obatnya di berbagai penjuru bumi ini, tetapi kesembuhan adanya di langit sana”. Begitu indah kalimat sandaran cinta yang keluar dari makhluk yang dijuluki kekasih Allah.
ADVERTISEMENT
Bukankah kisah cinta indah yang sampai pada langit. Bukan yang sehidup dan mati lagi, tetapi sampai pada kisah bumi dan langit. Jika hanya pada hidup dan mati itu baru algoritma bumi dan akan berpisah saat maut menjemput, tetapi ketika sampai pada langit semua akan tercatat pada tinta ‘Arasy.
Kau tahu, Nun? Ada jutaan bahkan triliun makhluk hidup di bumi yang berevolusi, berkembang dan menjelajah semesta. Mungkin kau sudah menginjakkan kaki di bumi dengan berjuta langkah dan melihat di sekeliling lalu mengenal berbagai tabiat manusia. Kau tahu, jika ada makhluk paling bodoh, tidak tahu terima kasih dan sombong, maka itu tidak lain adalah kita.
Bukankah kita manusia yang di berikan amanah sebagai pemimpin di muka bumi, bahkan makhluk paling mulia. Langit, gunung dan lautan pun tidak sanggup mengemban amanah itu, lalu apalah daya kita makhluk lemah, bodoh, dan sombong dengan ringan menerima semuanya.
Gambar Cahaya utara, Bintang, Langit, gambar; pixabay
Di keheningan malam, aku mencoba nikmati seluruh simfoni semesta yang sedetik pun tidak pernah berhenti. Semua serempak saling menggaung menyebut asma-Nya, tidak kuasa merasakan keagungan pencipta-Nya. Sungguh hanya kita yang mengaku manusia yang tidak, apa kita tidak malu?
ADVERTISEMENT
Dalam kebosanan malam, aku mencoba mencatat tentang kebodohan demi kebodohan, sombong yang tak dihiraukan. Terbesit dalam hati dan bertanya, “apa yang membuat kau begitu bodoh dan sombong wahai makhluk yang mengakui diri sebagai manusia?”
Seluruh makhluk semesta semuanya bertasbih, hanya kita yang tidak. Keangkuhan dan kesombongan dalam diri berhasil menguasai semuanya.