Konten dari Pengguna

Suara Jerit di Tepi Barat

Ahmad Haetami
Mahasiswa Sastra Indonesia - Universitas Pamulang.
3 September 2023 8:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Haetami tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seorang anak tengah duduk di puing reruntuhan rumahnya yang telah dihancurkan Israel, tatapan tajam memperlihatkan pandangan masa depan yang begitu cerah, sumber gambar; pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Seorang anak tengah duduk di puing reruntuhan rumahnya yang telah dihancurkan Israel, tatapan tajam memperlihatkan pandangan masa depan yang begitu cerah, sumber gambar; pixabay
ADVERTISEMENT
Aku masih menggerutu sejak tadi diam di pojokkan, tak mau berbicara dengan siapa pun. Aku marah dengan semuanya dari kejauhan kulihat kepulan asap, dibarengi suara dentuman tembakan. Hal biasa yang setiap hari aku lihat. Hari ini serdadu Israel kembali menyerang desa kami.
ADVERTISEMENT
Langit masih dihiasi dengan kepulan asap yang pekat, barisan gedung luluh lantak mengingatkan kami perihal serangan lalu. Anak-anak tertawa riang bermain di tengah kekacauan yang sedang terjadi. Para ibu mereka terdiam berlinang air mata dengan tatap kosong di pojok reruntuhan bangunan sambil menatap rumah mereka yang habis luluh lantak. Seorang ayah menengok kiri kanan di tengah tumpukan puing sambil mengangkat potongan beton mencari buah hatinya yang tertutup puing, “dimana engkau nak?” sahut sang ayah.
***
Ribuan kilometer jauh dari lokasi konflik yang sedang terjadi. Manusia dengan jiwa ambisi sibuk dalam permainan strategi untuk memuaskan ambisi mereka, memamerkan rudah hasil buatan negaranya dengan dalih untuk pertahanan wilayah dari serangan luar.
Berlanjut ke negara Adi Kuasa, di gedung pertemuan itu setiap perwakilan negara katanya bebas mengemukakan pendapatnya. Sekumpulan manusia berdasi serta pakaian serba hitam itu dengan se-enaknya menentukan keputusan yang memihak pada kepentingannya.
ADVERTISEMENT
Para pemegang modal dengan mudah mengatur apa yang ingin mereka kuasai, bahkan semua pergerakan media hampir sepenuhnya mereka kontrol,
“oh mudah! peta negara ini bisa kita hapus dari Google Maps supaya kita bisa merampasnya dengan mudah”, ucap yang mulia Presiden sambil menyilangkan tangan di dadanya.
Beralih ke timur, negara yang perkembangannya saat ini begitu pesat hingga mampu menyaingi negara di sekitarnya. Dalam gedung pencakar langit yang kini menjadi ikon dunia, orang menyebutnya sebagai gedung tertinggi seantero jagat saat ini. Di lingkaran tempat meja makan dengan menu yang semuanya serba mewah, manusia dengan pakaian serba putih tengah sibuk membahas rencana mega proyek yang akan mereka bangun untuk kepentingan negaranya,
ADVERTISEMENT
“sudah saatnya negara kita menjadi ikon dunia”, ucap yang mulia Raja pada rapat tersebut.
Sementara itu, bergeser ribuan kilometer melintasi samudera Hindia. Di negeri yang katanya mayoritas Islam terbesar di dunia, mereka tengah sibuk dengan polemik yang sedang terjadi di negaranya. Perihal identitas, korupsi, politik, kenaikan harga yang kian hari kian melangit, masih banyak, banyak banget. Semua berlomba-lomba untuk kepentingan dan ambisinya masing-masing.
Adakah ada satu pun dari mereka yang peduli terhadap konflik yang sedang terjadi, walaupun sebunyi dibalik topeng atas nama kemanusiaan?
Gedung pertemuan setiap negara penjuru dunia, sumber gambar; pixabay
***
Tiba-tiba aku terbangun dari tidur gara-gara suara ledakan yang berdentuman. Suara bomkah itu? Daerah mana lagi yang menjadi sasaran gempuran tentara zionis? Aku segera bangun dari tempat tidur sambil mendengarkan suara ledakan dan kadang-kadang terdengar suara reruntuhan bangunan. Rasa kantukku masih belum hilang. Mengapa se-pagi ini zionis sudah mengumbar nafsu?
ADVERTISEMENT
Bagiku mereka adalah sekelompok orang yang tidak tahu malu. Aku benci dengan semua tindakan mereka, mereka menyerang dengan sangat licik. Aku marah. Tapi aku lebih marah lagi kepada saudara dan teman-temanku, mereka melempari tentara zionis itu menggunakan batu-batu kecil. Setiap kali keluar rumah mereka mengumpulkan batu kecil itu dalam kantong kecil, kemudian melempari pasukan zionis berseragam lengkap itu sampai mengenai tank yang sebesar rumah itu bahkan ada yang nyasar mengenai helm yang mereka pakai.
Mereka membalas serangan dengan membalikkan posisi laras tank, “buss” kepulan asap terbang menutupi bangunan yang ada di sekitar. Sekolah kami hancur, rumah kami menyisakan puing, satu-persatu saudara dan teman-teman kami meninggal. Aku benci.
Air mataku berlinang, tentara zionis telah menghancurkan bangunan milik kami. Rumah tempat aku bermain dan tumbuh besar bersama ayah dan ibu, sekolah tempat aku belajar dan bermain bersama teman-teman. Aku yakin sebentar lagi barisan buldoser itu akan datang untuk menghancurkannya kembali. Aku benci.
ADVERTISEMENT
Suara sirene dari arah timur tiba-tiba terdengar lalu menghampiri kami. Beberapa orang mengenakan baju putih turun dari mobil dengan membawa kotak bertuliskan ‘bantuan medis’. Semuanya tengah sibuk di tengah situasi yang mencekam. Dari arah sebelah kanan terdengar seorang perempuan teriak histeris,
“tolong bantu obati luka anak saya” tangis sang ibu sambil mengusap air mata.
Si kecil yang selalu ceria dengan segala kondisi yang terdjadi dihadapannya, gampar; pixabay
Semua penduduk yang selamat beramai-ramai ikut membatu korban yang berjatuhan, menggali puing-puing reruntuhan bangunan yang menimpa korban. Terdengar suara lembut sambil merintih,
“ibu, boneka mainanku ada dimana”, rupanya suara anak usianya yang masih belia.
Disebelah pojok tepat di bangunan yang menyisakan sebagian bentuk, seorang anak berusia 15 tahun tengah duduk di pelataran masjid sambil mengangkat dagunya ke atas langit,
ADVERTISEMENT
"Tuhan, kami khawatir akan nasib dunia ini di masa depan. Akankah di dunia ini manusia dapat belajar hidup bersama dalam kedamaian dan keadilan? Tuhan hiburlah, kuatkanlah, dan lindungilah teman-teman kami, anak-anak seusia kami yang ditinggal ayah dan ibunya, atau bahkan kedua orang tua mereka yang menjadi korban serangan tentara zionis.
“Mampukah kami mempertahankannya dunia ini, atau akankah kami menghancurkannya, lambat atau cepat. Tuhan, Kau mengenal segala kekhawatiranku", ucapnya dengan penuh rasa sabar dan tegar.
Mataku bengkak. Aku masih kesulitan mengatur napas karena isak tangisanku tak kunjung reda. Baru saja aku selesai mensalatkan jenazah saudara dan teman-temanku. Aku duduk di halaman masjid yang sebagian bangunannya sudah hancur, memandangi puing bangunan rumah yang telah runtuh setelah penyerangan dua hari lalu oleh tentara zionis.
ADVERTISEMENT
Namaku Abrisyam Ayub, usiaku kini menginjak 11 tahun. Kelak suatu nanti aku yang akan kembali meneruskan perjuangan leluhurku Salahuddin Al-Ayyubi, membebaskan tempat suci Baitul Maqdis dari tangan zalim yang penuh kesombongan.