Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Teror di Inggris: Apa yang Diketahui Perdana Menteri?
10 Juni 2017 3:47 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari Ahmad Rifai tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Yang tak dapat dikatakan dalam kampanye pemilihan umum Inggris adalah ihwal ini. Penyebab kekejaman di Manchester, sebanyak 22 orang kebanyakan adalah anak muda dibunuh oleh seorang jihadis, sedang diredam untuk melindungi rahasia kebijakan luar negeri Inggris.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan kritis, seperti kenapa dinas keamanan MI5 mempertahankan ‘aset’ teroris di Manchester dan mengapa pemerintah tidak memperingatkan publik tentang ancaman di tengah mereka, tetap tak terjawab, terbelokkan dengan janji pada sebuah ‘tinjauan’ internal.
Si pembom bunuh diri, Salman Abedi, merupakan bagian dari kelompok ekstrimis, Libyan Islamic Fighting Group (LIFG), yang berkembang pesat di Manchester, dipelihara dan digunakan oleh MI5 selama lebih dari 20 tahun.
LIFG terlarang bagi Inggris sebab merupakan organisasi teroris yang mencari sebuah ‘negara Islam garis keras’ di Libiya dan merupakan bagian dari gerakan ekstremis Islam global yang lebih luas, terinspirasi oleh al-Qaeda.
Bukti yang tak terbantahkan adalah ketika Theresa May menjadi Home Secretary, bertanggung jawab pada urusan dalam negeri, para jihadis LIFG diizinkan untuk melakukan perjalanan tanpa hambatan ke seluruh Eropa dan terdorong terlibat dalam ‘pertempuran’ menyingkirkan Mu’ammar Gaddafi di Libya dan kemudian bergabung dengan kelompok afiliasi al-Qaeda di Suriah.
ADVERTISEMENT
Tahun lalu, FBI melaporkan bahwa Abedi masuk dalam daftar teroris yang diawasi dan memperingatkan MI5 bahwa kelompoknya tengah mencari target politik di Inggris. Mengapa dirinya tidak ditangkap dan jaringan di sekelilingnya dicegah untuk merencanakan dan melaksanakan kekejaman pada 22 Mei?
Beragam pertanyaan berseliweran, sebab, dalam kebocoran FBI membongkar kelompok yang dibiarkan tumbuh dan berputar di balik serangan 22 Mei. Dengan demikian yang muncul adalah kepanikan, kemarahan yang tak biasa ditujukan pada Washington dari London, dan permintaan maaf Donald Trump.
Kekejaman di Manchester membuat agar diungkapnya kebijakan luar negeri Inggris terkait aliansi haram jadahnya dengan ekstrimis Islam, terutama pada sekte yang dikenal sebagai Wahhabisme atau Salafisme, yang pemelihara dan bankirnya yakni kerajaan minyak Arab Saudi, merupakan pelanggan senjata terbesar Inggris.
ADVERTISEMENT
Capaian perkawinan kekaisaran ini kembali pada Perang Dunia II dan hari-hari awal Ikhwanul Muslimin di Mesir. Tujuan kebijakan Inggris adalah untuk menghentikan pan-Arabisme: para negara Arab mengembangkan sekularisme modern, yang menegaskan kemerdekaan mereka dari kekaisaran barat, serta mengendalikan sumber daya mereka sendiri.
Penciptaan Israel yang rakus dimaksudkan untuk memperlancar hal ini. Pan-Arabisme sejak saat itu telah hancur; tujuannya sekarang adalah pembagian dan penaklukan.
Pada tahun 2011, menurut Middle East Eye, LIFG di Manchester dikenal sebagai ‘Gerombolan Bocah Manchester’. Keras kepala dalam menentang Mu’ammar Gaddafi, mereka dianggap berisiko tinggi dan sejumlah dari mereka, di bawah kontrol perintah Home Office, jadi tahanan rumah saat demonstrasi anti-Gaddafi pecah di Libya yang merupakan negara ditempa dari berbagai permusuhan kesukuan.
ADVERTISEMENT
Tiba-tiba kontrol perintah dilepaskan. “Gue diizinin pergi, gak ada pertanyaan yang diajukan,” kata seorang anggota LIFG. MI5 mengembalikan paspornya dan polisi konter-terorisme di bandara Heathrow diperintahkan untuk membiarkan mereka menaiki pesawat.
Penggulingan Gaddafi, yang menguasai cadangan minyak terbesar di Afrika, telah lama jadi rencana di Washington dan London. Menurut intelijen Prancis, LIFG melakukan beberapa upaya pembunuhan terhadap Gaddafi pada tahun 1990-an didanai oleh intelijen Inggris.
Pada bulan Maret 2011, Prancis, Inggris, dan AS, memanfaatkan kesempatan ‘intervensi kemanusiaan’ dan kemudian menyerang Libya. Mereka bergabung dengan NATO yang berada di bawah resolusi PBB guna ‘melindungi warga sipil’.
September lalu, House of Commons Foreign Affairs Select Committee menyimpulkan bahwa saat itu Perdana Menteri David Cameron telah membawa Inggris untuk berperang melawan Gaddafi dalam serangkaian ‘asumsi yang keliru’ dan kenyataan dari serangan tersebut ‘telah menyebabkan bangkitnya Negara Islam di Afrika Utara’. Commons Committee mengutip deskripsi ‘jujur’ Barack Obama tentang peran Cameron di Libya sebagai ‘pertunjukkan sialan’.
ADVERTISEMENT
Faktanya, ternyata Obama sendiri adalah seorang aktor terkemuka dalam ‘pertunjukan sialan’, didesak oleh Menteri Luar Negeri penghasut perangnya, Hillary Clinton, dan sebuah media yang menuduh Gaddafi merencanakan ‘genosida’ pada rakyatnya sendiri.
“Kami tahu . . . bahwa jika kita menunggu satu hari lagi,” kata Obama, “Benghazi, sebuah kota seukuran Charlotte, dapat menderita pembantaian yang akan bergema di seluruh wilayah dan menodai hati nurani dunia.”
Kisah pembantaian dibuat oleh milisi Salafi yang dikalahkan oleh pasukan Pemerintah Libya. Mereka mengatakan pada Reuters bahwa akan ada “pertumpahan darah yang nyata, pembantaian seperti yang kita lihat di Rwanda”.
Padahal, Commons Committee melaporkan, “Proposisi bahwa Mu’ammar Gaddafi akan memerintahkan pembantaian warga sipil di Benghazi tidak didukung oleh bukti yang memadai.”
ADVERTISEMENT
Inggris, Prancis, serta AS, secara efektif menghancurkan Libya sebagai negara modern. Menurut catatannya sendiri, NATO meluncurkan 9.700 ‘serangan mendadak’, yang lebih dari sepertiganya menghantam target sipil. Semua itu termasuk bom fragmentasi dan rudal dengan hulu ledak uranium.
Kota Misurata dan Sirte diluluhkan dengan bom karpet. Unicef, organisasi anak-anak PBB, melaporkan bahwa sebagian besar anak-anak yang terbunuh ‘berusia di bawah sepuluh tahun’.
Lebih dari sekadar ‘membangkitkan’ Negara Islam, ISIS telah memiliki akar di reruntuhan Irak setelah invasi Blair dan Bush pada tahun 2003. Sekarang mereka memiliki semua wilayah Afrika Utara sebagai basis. Serangan tersebut juga memicu serbuan pengungsi yang melarikan diri menuju Eropa.
Cameron merayakan yang terjadi di Tripoli sebagai ‘pembebas’ atau demikianlah yang dibayangkannya. Kerumunan bersorak-sorai termasuk yang diam-diam dipasok dan dilatih oleh Special Air Service (SAS) Inggris dan terinspirasi dari Negara Islam, seperti ‘Gerombolan Bocah Manchester’.
ADVERTISEMENT
Pada AS dan Inggris, kejahatan sejati Gaddafi adalah independensi ikonoklastiknya dan rencananya guna meninggalkan petrodollar, yang merupakan pilar bagi kekuatan kekaisaran AS.
Dirinya telah merencanakan dengan berani untuk menanggung sebuah mata uang umum Afrika didukung dengan emas, membentuk sebuah bank all-Africa, serta mempromosikan persatuan ekonomi di antara negara-negara miskin dengan sumber daya berharga.
Apakah ini akan terjadi atau sebaliknya, gagasan ini tidak dapat ditolerir, membuat AS siap untuk ‘memasuki’ Afrika dan menyuap Pemrintah-pemerintah Afrika dengan kemitraan militer.
Diktator yang jatuh tersebut melarikan diri untuk hidupnya. Sebuah pesawat Royal Air Force melihat konvoinya, dan di reruntuhan Sirte, ia disodomi dengan pisau oleh seorang fanatik yang digambarkan dalam berita sebagai ‘seorang pemberontak’.
ADVERTISEMENT
Setelah menjarah sebesar 30 milyar dollar, ‘pemberontak’ maju ke selatan, meneror berbagai kota dan desa. Menyebrang ke sub-Sahara Mali, mereka menghancurkan stabilitas yang rapuh dari negara tersebut.
Dengan semangat, Prancis mengirim pesawat dan pasukan ke bekas koloni mereka ‘untuk memerangi al-Qaeda’ atau ancaman yang telah mereka bantu ciptakan.
Pada tanggal 14 Oktober 2011, Presiden Obama mengumumkan bahwa dirinya mengirim pasukan khusus ke Uganda untuk bergabung dalam perang sipil di sana. Dalam beberapa bulan berikutnya, pasukan tempur AS dikirm ke Sudan Selatan, Kongo, dan Republik Afrika Tengah.
Dengan Libya yang telah terjamin, sebuah invasi AS ke benua Afrika sedang berlangsung yang sebagian besar tak terwartakan.
Di London, satu dari segelintir pameran senjata terbesar di dunia dipentaskan oleh Pemerintah Inggris. Jargon di tribun yakni ‘efek demonstrasi di Libya’. Kamar Dagang dan Industri London mengadakan prakarsa yang berjudul ‘Timur Tengah: sebuah pasar yang luas untuk perusahaan pertahanan dan keamanan Inggris’.
ADVERTISEMENT
Sang tuan rumah adalah Royal Bank of scotland, investor utama dalam bom cluster, yang digunakan secara luas melawan sasaran sipil di Libya. Uraian untuk pesta persenjataan ini memuji ‘peluang yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk perusahaan pertahanan dan keamanan Inggris’.
Bulan lalu, Perdana Menteri Theresa May berada di Arab Saudi, menjual lebih banyak lagi senjata Inggris senilai 3 milyar pound sterling yang digunakan untuk melawan Yaman.
Berbasis di ruang kendali di Riyadh, penasihat militer Inggris membantu pengeboman, yang telah membunuh lebih dari 10.000 warga sipil di Yaman. Sekarang ada tanda-tanda kelaparan yang jelas. Seorang anak di Yaman meninggal setiap 10 menit dari penyakit yang tak dapat dicegah, kata Unicef.
ADVERTISEMENT
Kekejaman di Manchester pada 22 Mei adalah produk dari kekerasan negara yang tak henti-hentinya di tempat jauh, yang sebagian besar disponsori oleh Inggris. Kehidupan dan nama korbannya hampir tak pernah kita ketahui.
Kebenaran ini berjuang untuk didengarkan, sama seperti kondisi saat bom bawah tanah London terjadi pada 7 Juli 2005.
Kadang-kadang, seorang anggota masyarakat akan memecah kesunyian, seperti orang London timur yang berjalan di depan kru kamera dan di tengah reporter CNN yang sedang menyampaikan berita. “Kami menyerang Irak, apa yang akan kita harapkan? Ayo, katakan saja.”
Di pertemuan media besar yang saya hadiri, banyak tamu penting mengucapkan ‘Irak’ dan ‘Blair’ sebagai semacam proses pelepasan yang memberi kelegaan untuk apa yang tak berani dikatan secara profesional dan di depan umum.
ADVERTISEMENT
Namun, sebelum menginvasi Irak, Blair diberi peringatan oleh Joint Intelligence Committee bahwa “ancaman dari al-Qaeda akan meningkat pada permulaan aksi militer apapun terhadap Irak. Ancaman dunia yang nyata dari kelompok maupun individu teroris lainnya akan meningkat secara signifikan.”
Sama seperti Blair membawa pulang ke Inggris ‘pertunjukkan sialan’ kekerasan dirinya dan George W Bush, jadi David Cameron, didukung oleh Theresa May, menambah kejahatannya di Libya, dan akibat mengerikannya termasuk mereka yang terbunuh serta cacat di Manchester Arena pada 22 Mei.
Putarannya kembali, tentu tidak mengherankan. Salman Abedi bertindak sendiri. Dia adalah penjahat kecil, tidak lebih. Jaringan luas yang diungkap minggu lalu oleh bocoran AS telah lenyap. Tapi berbagai pertanyaan lainnya belum.
ADVERTISEMENT
Mengapa Abedi dapat melakukan perjalanan dengan bebas melalui Eropa ke Libya dan kembali ke Manchester beberapa hari sebelum ia melakukan kejahatan yang mengerikan?
Apakah Theresa May mengatakan pada MI5 bahwa FBI telah melacaknya sebagai bagian dari sel Islam yang berencana untuk menyerang sebuah ‘target politik’ di Inggris?
Dalam kampanye pemilihan, pemimpin Partai Buruh Jeremy Corbyn telah membuat referensi pada sebuah ‘perang melawan teror yang telah gagal’. Seperti yang diketahuinya, kondisi macam ini tidak pernah perang melawan teror, tapi justru merupakan sebuah perang penaklukan dan pemaksaan.
Palestina. Afganistan. Irak. Libya. Suriah. Iran dikatakan adalah calon berikutnya. Sebelum ada kejadian Manchester yang lain, siapa yang berani mengatakannya?
***
ADVERTISEMENT
Diterjemahkan secara bebas dari sini: Terror In Britain: What Did The Prime Minister Know?
31 Mei 2017