Konten dari Pengguna

Ketentuan Cerai Talak Masyarakat Muslim di Pengadilan Agama

Ahmad Rizky Fahlevi Harahap
Mahasiswa hukum keluarga universitas Islam negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
7 Mei 2024 9:50 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Rizky Fahlevi Harahap tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: https://www.pexels.com/id-id/pencarian/law/
zoom-in-whitePerbesar
sumber: https://www.pexels.com/id-id/pencarian/law/
ADVERTISEMENT
Sebagai Seorang Muslim, perceraian dalam Islam diizinkan, meskipun tidak disukai oleh Allah SWT. Namun, disarankan bagi suami dan istri untuk mencari solusi terbaik terlebih dahulu dalam menghadapi masalah mereka. Jika perceraian merupakan satu-satunya pilihan, hendaknya dilakukan dengan penuh kebaikan tanpa merusak hubungan keluarga. Menurut hukum syariat, talak merujuk pada tindakan melepaskan ikatan pernikahan segera (dikenal sebagai talak ba’in) atau setelah masa iddah (dikenal sebagai talak raj’i) dengan menggunakan kata-kata tertentu. Dalam Islam, meskipun diperbolehkan, memberikan talak oleh suami dianggap sebagai perbuatan yang tidak disukai (makruh) dan sangat tidak disenangi oleh Allah SWT.
ADVERTISEMENT
Dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 229 dijelaskan bahwa seorang laki-laki diperbolehkan memberikan talak dua kali dan masih memungkinkan untuk rujuk kembali pada kedua talak tersebut. Namun, jika talak telah diberikan sebanyak tiga kali, maka keduanya tidak dapat bersama lagi atau rujuk kembali. Sementara itu, Pasal 129 KHI menjelaskan bahwa seorang suami yang memberikan talak kepada istrinya harus mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama di wilayah tempat tinggal istri, dengan menyertakan alasan dan meminta sidang untuk itu.
Seperti yang kita tahu, Fikih munakahat (hukum keluarga Islam) merupakan landasan penting dalam penerapan hukum Islam di Indonesia, seperti yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang sebelumnya termuat dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, yang membahas dan menetapkan keputusan tegas untuk membatasi hak suami dalam memberikan talak kepada istrinya, serta mengatur hal tersebut untuk menjaga ketertiban dan kemaslahatan. Regulasi mengenai hak suami dalam memberikan talak mencakup:
ADVERTISEMENT
1. Sebelum suami menceraikan (mentalak) istrinya, dia harus mendapatkan izin dari pihak berwenang dalam negara, seperti umara’ atau ulul amri atau penguasa atau qadhi. Permohonan izin untuk memberikan talak oleh suami kepada istrinya diajukan kepada lembaga negara yang berwenang, yaitu pengadilan atau hakim.
2. Pengadilan (hakim) hanya akan mengabulkan permohonan izin talak jika setelah pemeriksaan seksama dalam sidang resmi terbukti bahwa terdapat satu atau beberapa alasan perceraian yang sah. Ini berarti izin talak tidak akan diberikan jika tidak ada alasan yang diizinkan oleh hukum. Alasan perceraian telah diatur dalam Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yang kemudian disahkan kembali dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 mengatur bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: (a) salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; (b) salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya; (c) salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; (d) salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; (e) salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri; (f) antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; sedangkan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam sama persis bunyinya dengan Pasal 16 Peraturan Pemerintah tersebut dengan ditambahkan dua alasan lagi yaitu (g) Suami melanggar taklik talak, dan (h) peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
ADVERTISEMENT
3. Hakim, ketika memeriksa permohonan talak, berusaha sebisa mungkin memberikan nasihat dan kesempatan sebanyak mungkin untuk mediasi (islah). Dengan kata lain, upaya imsak bil ma’ruf, atau menahan diri dengan cara baik, ditempuh semaksimal mungkin sebelum keputusan definitif diambil antara suami dan istri. Dengan pendekatan ini, proses perceraian tidak hanya dipenuhi dengan pembicaraan yang mengedepankan ego, tetapi memberikan ruang luas untuk berbicara secara kekeluargaan.
4. Setelah hakim melakukan pemeriksaan dengan teliti dan memberikan penilaian secara profesional, dia kemudian membuat keputusan. Jika permohonan talak yang diajukan oleh suami disetujui oleh pengadilan, suami akan diberi kesempatan untuk memberikan talaknya pada waktunya. Namun, jika permohonan tersebut ditolak oleh pengadilan, suami harus menahan atau menunda keinginannya untuk memberikan talak.
ADVERTISEMENT
5. Pelaksanaan penjatuhan talak harus dilakukan dengan kata-kata yang resmi dan di tempat yang resmi dalam suasana yang serius. Artinya, penjatuhan talak harus diucapkan dengan jelas dalam bentuk ikrar talak di hadapan hakim dalam sidang Pengadilan Agama. Talak dianggap tidak sah jika diucapkan secara samar atau dilaksanakan di luar sidang pengadilan. Setelah talak resmi dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya, akta cerai diterbitkan oleh pengadilan sebagai bukti autentik dari perceraian. Akta cerai hanya dapat diterbitkan oleh pengadilan yang mengadakan sidang dan menyaksikan ikrar talak tersebut.
6. Jenis talak yang digunakan adalah talak satu raj’i, bukan langsung talak dua atau talak tiga. Penjatuhan talak pertama hanya diperbolehkan dalam bentuk talak satu raj’i, meskipun pada saat itu suami mungkin sangat tidak menyukai istrinya dan bahkan ingin langsung memberikan talak tiga. Talak satu raj’i mengindikasikan perceraian yang masih membuka kemungkinan untuk rujuk kembali selama masa iddah (periode tunggu). Dengan demikian, masih ada peluang bagi mantan suami dan mantan istri untuk rujuk nantinya, mengingat rujuk adalah tindakan yang bermanfaat bagi kestabilan rumah tangga, terutama untuk kesejahteraan anak-anak.
ADVERTISEMENT
7. Setelah suami memberikan talak kepada istrinya, ia dapat diinstruksikan untuk memberikan mut’ah dan nafkah iddah kepada mantan istrinya. Bahkan di Pengadilan Agama, pemberian mut’ah dan nafkah iddah ini selalu dilakukan sesaat sebelum suami mengucapkan ikrar talak kepada istrinya.
8. Dalam surat permohonan yang diajukan oleh suami, istri harus disebut sebagai Termohon. Istri terlibat dalam perkara yang diajukan suaminya, dipanggil, dan diminta memberikan keterangan dalam sidang, serta diperlakukan secara adil dengan hak hukum yang setara dengan suaminya. Suami, sebagai pengaju permohonan, berperan sebagai Pemohon, sementara istri, sebagai pihak yang diduga, berperan sebagai Termohon. Dengan demikian, istri diperlakukan sebagai individu yang memiliki hak hukum yang sama, tidak sekadar sebagai objek untuk menyalurkan amarah suami melalui penjatuhan talak.
ADVERTISEMENT
Jadi, dalam hukum perkawinan Indonesia yang mengacu pada mazhab Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, diatur mengenai wewenang suami dalam menjatuhkan talak. Regulasi ini bertujuan mulia untuk mencegah suami agar tidak sewenang-wenang dalam memberikan talak kepada istrinya, yang dapat menyebabkan penindasan terhadap istri dan anak-anaknya. Oleh karena itu, aturan semacam ini membutuhkan kesabaran dan kesediaan untuk mematuhinya. Meskipun terlihat rumit dan membingungkan pada pandangan awal, sebenarnya terdapat kebijaksanaan dan manfaat jangka panjang bagi semua pihak yang terlibat.