Konten dari Pengguna

Kriminalisasi Guru : Ketika Guru Menjadi Penyedia Jasa dan Siswa Customernya

Ahmad Septian Said
Guru SMA Negeri 90 Jakarta dan Alumnus Universitas Pendidikan Indonesia.
30 Oktober 2024 10:30 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Septian Said tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kegiatan Belajar Mengajar dengan Metode Jigsaw di SMAN 90 Jakarta
zoom-in-whitePerbesar
Kegiatan Belajar Mengajar dengan Metode Jigsaw di SMAN 90 Jakarta
ADVERTISEMENT
Berita Hari Ini Kriminalisasi Guru di dunia pendidikan terjadi lagi dengan kasus Supriyani seorang guru honorer di Konawe Selatan yang dituduh menganiaya siswanya. Buntut dari tuduhan itu orang tua siswa yang juga merupakan Kepala Unit Intelijen Polsek Baito melakukan tuntutan kepada Supriyani, hingga pada 10 Juli 2024 setelah melalui berbagai mediasi dan rangkaian panjang prosedur penyelesaian masalah, Kepala Satreskrim Polres Konsel tetap mengeluarkan Surat Penetapan Tersangka untuk Supriyani.
ADVERTISEMENT
Antan patah, lesung hilang. Begitulah kiranya peribahasa yang cocok disematkan pada apa yang menimpa Supriyani. Tidak dapat dipungkiri bahwa menjadi guru di Indonesia merupakan sebuah ujian, apalagi jika statusnya adalah guru honorer. Bisa anda bayangkan, guru honorer suka tak suka adalah kelas pekerja paling rentan di dunia pendidikan, tidak memiliki perjanjian kerja yang jelas, tidak memiliki jaminan bahkan seringkali guru honorer mesti mencukupi kebutuhannya dengan bekerja sampingan.
Untuk dapat menerima kenyataan bahwa apa yang terjadi pada Supriyani dapat juga terjadi kepada guru lain, rasanya bukanlah sesuatu yang sulit dimengerti. Kendatipun kekerasan bukan hal yang dapat dibenarkan, tetapi fakta bahwa seorang guru memiliki hak yang diatur untuk menasihati bahkan menegur siswa yang tidak disiplin tetaplah berlaku baginya.
ADVERTISEMENT
Barangkali kita mesti sepaham mengenai definisi guru, jika meminjam konsep yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara, pada masanya istilah guru bukanlah kata yang familiar sebagai seorang pengajar di sekolah, justru pada masa itu khususnya pada sistem pendidikan yang ada di Tamansiswa, guru disebut sebagai pamong. Istilah pamong merujuk pada konsep among yang merupakan suatu cara mendidik yang diterapkan dengan maksud mewajibkan kodrat alam anak-anak didiknya.
Seorang pamong mesti memiliki perilaku yang bersifat memberi kebebasan kepada siswa untuk berbuat sesuatu sesuai dengan hasrat dan kehendaknya. Menurut konsep among ini, dalam kurun waktu yang bersamaan siswa juga dapat menjadi subjek, sehingga hubungan pamong dengan siswa mesti dilandasi dengan cinta kasih serta jauh dari sifat otoriter. Namun kebebasan yang diberikan oleh sistem ini juga dibatasi. Seorang pamong diberi keleluasaan untuk bersikap handayani, yakni, mempengaruhi dengan daya kekuatannya, kalau perlu dengan paksaan dan kekerasan apabila kebebasan yang diberikan itu dipergunakan untuk menyeleweng dan akan membahayakan diri.
ADVERTISEMENT
Guru yang pada mulanya dikenal sebagai agen moral, selain dari mengajarkan ilmu-ilmu, hari ini nampaknya tidak lagi menemukan perannya. Sebab rentetan kasus yang berkaitan dengan pelaporan guru karena hendak mendisiplinkan siswa selalu berujung pada pihak berwajib. Sekali lagi, kekerasan dalam hal apa pun tetap tidak dibenarkan, akan tetapi bolehlah jika hari ini banyak guru yang memilih untuk meminimalisir perannya sebagai agen moral.
Rasa takut yang dialami atas hal itu (Kriminalisasi Guru), seakan membentuk alam bawah sadar para guru untuk mengambil jarak pada peran mendisiplinkan. Jika ada siswa yang berlaku tidak sopan maka guru rasanya enggan lagi menegur. Mereka lebih baik diam dari pada harus berurusan dengan tek-tek bengek konflik dengan orang tua. Ya, sejatinya ada dua pihak dalam hal ini, siswa dan orang tuanya. Bisa jadi, ada tali yang putus antara apa yang diharapkan orang tua dengan sekolah dalam hal ini untuk mendidik anak-anaknya, sehingga banyak terjadinya ketidakterimaan pada cara guru memperlakukan siswa.
ADVERTISEMENT
Kiranya jika memang banyak pihak menganggap pendidikan itu mesti membebaskan siswa berlaku sesuai kehendaknya, tanpa kecuali, maka kita sedang membayangkan begitulah kiranya dunia tanpa guru. Tidak ada lagi kompas moral manakala siswa melenceng dari koridor yang seharusnya. Tentu saya tidak sedang mengatakan bahwa siswa hari ini punya mentalitas yang beda dengan siswa era Kurikulum KTSP dan 2013. Setiap zaman ada orangnya, dan setiap orang hidup pada zamannya.
Saya hanya ingin membayangkan bahwa dunia ini sedang menolak cara guru mendidik siswanya, alih-alih mendukung. Ada banyak pihak yang mengintervensi pendidikan melalui setiap jalur termasuk politik, membuat aturan-aturan yang melarang guru menegur siswa, sebab kebebasan absolut (kebebasan tanpa batas) adalah hak setiap orang.
ADVERTISEMENT
Siswa berhak menentukan kemana arah bicaranya, bagaimana tutur bahasanya kepada teman yang seumuran, kepada orang tua atau kepada orang yang lebih muda. Siswa berhak mendapat ilmu dengan cara apa pun, sekalipun harus bersekutu dengan Artificial Intelligence. Hari ini ada banyak cara mengakses informasi, sehingga dunia berada dalam satu layar. Mungkin siswa ingin kehidupan yang materialis seperti apa yang dicerminkan orang-orang eropa.
Khayalan-khayalan itu bila terjadi, semakin menguatkan perkataan Noam Chomsky bahwa masyarakat sedang bergerak dan sudah menjadi The Post Industrial Society masyarakat yang silau dengan sains dan teknologi. Konsekuensi yang harus ditanggung barangkali adalah sedikit demi sedikit nilai bukanlah lagi sesuatu yang baik bagi masyarakat, asal masalah dapat diringankan dengan teknologi, asal sains dapat menjawab setiap pertanyaan. Hal itu cukup
ADVERTISEMENT
Dan mungkin, menjadi lebih luas bahwa komunitas yang dibentuk dengan sebuah norma, baik itu persatuan dan perjanjian kolektif tidak menjadi penting lagi jika masing-masing menganggap bahwa perjanjian bukan lagi hal yang perlu ditepati, tercerabutnya akar budaya, dan saya kira masih banyak hal yang bisa dibayangkan lagi.
Hari ini adalah hari dimana tanda-tanda bayangan itu mulai tampak di depan mata. Dan secara tidak sadar kita seakan-akan mengamininya, menjadi bagian dari masyarakat yang ingin bebas, sehingga tidak boleh ada lagi yang menetapkan batas pada kebebasan itu untuk anak-anak kita. Kebebasan yang tiada akhir. Kebebasan yang berbahaya.
Akhirnya guru bukan lagi menjadi sosok, tetapi dalam kacamata masyarakat, guru hanyalah sebatas profesi, dimana guru menjadi penyedia jasa bagi customer-customernya. Mungkin, apa yang dialami Ibu Supriyani akan menyisakan bekas yang dalam bagi ingatannya. Ia mungkin akan merasa bahwa menjadi guru bukanlah pilihan yang tepat, meski ada banyak harapan dan doa untuknya agar tetap tabah.
ADVERTISEMENT