Konten dari Pengguna

Melihat Kembali Urgensi Penjurusan IPA-IPS di SMA

Ahmad Septian Said
Guru SMA Negeri 90 Jakarta dan Alumnus Universitas Pendidikan Indonesia.
28 April 2025 9:52 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Septian Said tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber gambar canva.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber gambar canva.com
ADVERTISEMENT
Rencana Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah untuk mengembalikan penjurusan IPA IPS Bahasa di SMA merupakan bentuk ketidakpastian kebijakan pendidikan kita. Banyak yang mengatakan bahwa kebijakan ini adalah langkah mundur yang diambil oleh pemerintah, sebab urgensitas kebijakan itu dinilai tidak terlalu tinggi di tengah kemajuan sistem pendidikan di negara lain.
ADVERTISEMENT
Misalnya saja kita lihat Singapura, pada sistem Pendidikan setara SMA, anak-anak di sana baru akan memilih penjurusan konsentrasi di tahun ketiga masa belajar. Jika SMA di Singapura dilaksanakan selama 4 tahun maka baru di tahun ketiga itulah siswa dibolehkan memilih konsentrasi mata pelajaran yang diminati, itu pun karena tujuan mempersiapkan diri masuk ke perguruan tinggi.
Artinya bahwa, jika sejak awal masuk SMA siswa didorong untuk menentukan pilihan penjurusan yang tersedia seperti IPA IPS dan Bahasa, maka ada kemungkinan pilihan mereka bukan berdasarkan minat yang datang secara sadar dari diri sendiri, melainkan faktor lain yang mungkin ada di luar keinginan siswa, seperti dorongan orang tua, ikut-ikutan teman atau bahkan karena sisa kuota yang tersedia di sekolah yang ingin ia masuki.
ADVERTISEMENT
Selain itu, sistem penjurusan sejak awal akan melahirkan kembali stigma bahwa IPA adalah jurusan orang-orang pintar dengan kelas ekonomi tinggi, sementara IPS adalah kelas buangan, sementara Bahasa dinilai sebagai kasta terendah bahkan kerap dianggap tak ada. Jika stigma ini muncul kembali, perkembangan psikologis siswa akan terganggu dengan klasifikasi demikian, hal itu dapat mempengaruhi daya belajar siswa, misal siswa dengan jurusan IPS dan Bahasa akan merasa dirinya kelas dua sehingga mereka insecure.
Terlebih, dengan adanya tiga jurusan IPA IPS dan Bahasa, ditakutkan hal itu akan membatasi kemampuan eksplorasi siswa terhadap materi ajar di luar jurusan yang sudah ditentukan sejak awal. Padahal jika kita melihat perkembangan siswa di era digital ini, perkembangan ilmu di luar tiga jurusan tersebut cukup banyak diminati, seperti teknologi dan filsafat.
ADVERTISEMENT
Lagi pula, langkah ini menurut para ahli dinilai belum melalui proses pengkajian yang mendalam, sehingga dikhawatirkan kebijakan ini hanya akan membingungkan sejumlah pihak terutama guru dan siswa. Dalam setiap kebijakan baru di dunia pendidikan, yang akan mengalami dampak langsung adalah guru dan siswa, maka perlu dikaji lebih lanjut mengenai efektifitas penerapannya.
Awalnya penghapusan jurusan itu bertujuan agar siswa jauh lebih fokus membangun basis pengetahuannya untuk menentukan studi lanjut, dan juga menghilangkan diskriminasi terhadap siswa dengan jurusan non-IPA dalam proses seleksi masuk perguruan tinggi.
Menurut Totok Soefijanto Wakil Rektor Universitas Paramadina, ada hal yang lebih urgen dari penerapan kembali penjurusan IPA IPS di SMA, yaitu peningkatan kompetensi tenaga pendidik untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi, ia juga menyoroti bahwa efektivitas belajar siswa di sekolah masih dinilai kurang baik. Hal itu membuat siswa disebut memiliki masa sekolah yang panjang tetapi tidak dengan masa belajarnya.
ADVERTISEMENT
Bisa dibayangkan jika kemudian, penjurusan IPA IPS dan Bahasa ini kembali diterapkan di sekolah, kita akan melihat bahwa betapa pemerintah telah abai dengan isu-isu lain yang lebih urgen dalam pendidikan kita, seperti yang sudah disebutkan oleh para pemerhati, dan juga yang sering muncul di media yakni pemerataan akses pendidikan di daerah 3T, pengadaan bahan ajar yang relevan dengan era digital serta kesejahteraan guru.
Persoalan-persoalan tersebut perlu menjadi bahan pertimbangan yang matang agar kemudian semakin hari kita dapat semakin baik dalam mengevaluasi sistem pendidikan kita. Kita perlu terus memberikan catatan-catatan kritis terhadap kebijakan pendidikan yang dicanangkan oleh pemerintah, hal ini merupakan tanggung jawab moral kita sebagai bangsa Indonesia yang masih tertatih-tatih dalam sistem pendidikan. Karena hanya pada pendidikanlah kita percaya peningkatan kualitas manusia itu terjadi.
ADVERTISEMENT
Terutama, ini adalah masa depan bagi anak-anak kita, para orang tua tentu tidak ingin anak-anaknya menjadi pribadi yang sudah terklasifikasi sejak sekolah, padahal di ruang aktual mereka ada tuntutan untuk menjadi lebih fleksibel dan plural.