Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Bukan karena Speech Delay
4 Juli 2023 18:09 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Ahsani Taqwim A tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setidaknya kasus yang menimpa anak balita laki-laki di Pamulang , Kota Tangerang Selatan, yang diduga dianiaya hingga tewas oleh ayah tirinya dan ibu kandungnya karena alasan kesal korban belum bisa berbicara atau mengalami kondisi speech delay menyadarkan kita bahwa speech delay bahaya bagi anak dengan orang tua yang memiliki kesabaran setipis sayap laron dan tak mempersiapkan mental maupun pengetahuan yang memadai untuk pernikahan dan memiliki anak.
ADVERTISEMENT
Perlu dicermati berbagai faktor yang menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga yang kemudian menjadikan anak sebagai korbannya. Setidaknya dari artikel yang diterbitkan oleh UNICEF Indonesia, dengan judul The Islamic Perspective on Protecting Children from Violence and Harmful Practices (Hak dan Perlindungan Anak dalam Islam) dijelaskan beberapa faktor yang menjadi penyebab tindakan kekerasan dan kriminal terhadap anak antara lain:
ADVERTISEMENT
Dalam artikel yang sama, dijelaskan pula beberapa motif kekerasan yang menimpa anak dalam Lingkungan Keluarga, misalnya: Motif Individual yang bersumber dari sifat egois pada diri seseorang, rasa pendendam, atau perilaku yang tidak terkontrol; Motif Ekonomi yang merupakan salah satu motif paling menonjol; Kondisi Sosial Budaya yang Kurang Baik yang kemudian menyebabkan orang tua mempraktikkan budaya kekerasan dalam menghadapi masalah dalam keluarga; atau juga Akibat Penyimpangan-Penyimpangan Perilaku, misalnya akibat kecanduan alkohol ataupun narkoba, entah itu pada sisi ayah ataupun ibu
Sedangkan dari artikel berita yang memuat kejadian kekerasan berujung kematian anak di Pamulang disampaikan motif kekerasan tersebut adalah "Pasangan suami istri ini kesal sama anaknya, karena anaknya enggak bisa-bisa ngomong, speech delay”.
ADVERTISEMENT
Speech delay tentu bukan fenomena yang baru dan tentu saja tidak bisa menjadi alasan tindakan kekerasan pada anak. Bukan fenomena yang baru setidaknya bagi saya yang setiap melakukan perjalanan dari rumah ke tempat kerja melihat hampir belasan titik terpasang selebaran promosi jasa terapi bicara anak. Pesan promosi tersebut terpasang pada tiang listrik hingga pohon serupa baliho kampanye caleg yang sekarang ramai. Tentu ini muncul karena penyedia jasa menyadari ada banyak orang tua atau wali anak yang membutuhkan jasa mereka.
Secara umum data kekerasan terhadap anak di Indonesia sangat mengkhawatirkan. Dari data pada laman Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pada tahun 2022 kasus kekerasan terhadap anak mencapai 21.241 kasus. Di antara jumlah kasus kekerasan terhadap anak tersebut, didominasi oleh kasus kekerasan seksual (9.588 kasus), psikis (4.162 kasus), dan fisik (3.746 kasus).
ADVERTISEMENT
Dari sumber yang sama tercatat bahwa korban kekerasan di Indonesia pada tahun 2023 saja, sejak bulan Januari hingga tulisan ini dibuat, korban didominasi usia 13-17 tahun sebanyak 4.561 kasus sedangkan usia anak 6-12 tahun sebanyak 2.705 kasus dan korban anak usia 0 sampai 5 tahun sebanyak 923 kasus. Tentu kita berharap angka ini tidak bertambah lagi hingga tutup tahun dan pencatatan angka kekerasan tahun 2023 ditutup, namun apalah daya, jauh panggang dari api.
Melihat data lokasi terjadinya kekerasan, pada data tahun 2023, sangat didominasi kasus kekerasan yang terjadi di rumah tangga, juga tercatat fasilitas umum dan sekolah menjadi lokasi kekerasan terjadi. Di saat rumah, sekolah dan fasilitas umum, yang seharusnya menjadi tempat teraman dan ternyaman warga dari tindakan yang mengancam, nyatanya justru sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Ketika umumnya anak-anak menjadikan rumah sebagai tempat mencari perlindungan, ternyata di sisi lain menjadi neraka bagi banyak anak di banyak tempat di Indonesia, yang bahkan anak-anak ini belum tahu ke mana mereka akan mengadu ketika rumah dan keluarga menjadi ancaman terbesar dalam hidup mereka.
Kita banyak melihat orang tua sebagai pahlawan yang melindungi anak-anaknya, bukan pada tayangan di televisi dan bioskop, di siaran national geografi pun dominan binatang singa dan macan menjadi pelindung bagi anak-anak mereka. Namun data ini memberikan gambaran berbeda.
Data kekerasan tahun 2023 tercatat bahwa orang tua menempati posisi keempat sebagai pelaku dalam kekerasan setelah pacar/teman, dan suami/istri. Posisi yang sama tak berubah pada angka yang disajikan sepanjang tahun 2022 dan 2021, mungkin akan sama jika kita mengecek hingga data terlama dari tahun sekarang.
Terdapat beberapa dampak kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Kekerasan terhadap anak dalam lingkungan keluarga yang dilakukan ayah, ibu, ataupun mereka yang punya hubungan langsung dengan anak merupakan salah satu bentuk kekerasan paling berbahaya dan berdampak paling buruk.
ADVERTISEMENT
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, kekerasan jenis ini menjadikan posisi korban (anak) sebagai orang yang sangat tidak berdaya dan tidak punya modal apa pun untuk melindungi diri atau membela hak-haknya.
Dampaknya pun besar bagi anak yang akan berpengaruh pula pada lingkungan keluarga maupun masyarakat. Tidak sedikit anak korban kekerasan tumbuh tidak normal karena akibat dari tindakan kekerasan yang dialami di keluarganya.
Seperti depresi dan berbagai penyakit kejiwaan yang dapat memengaruhi perkembangan kecerdasan, memperlambat daya bicara dan daya tangkapnya. Kekerasan terhadap anak yang mengalami keterlambatan daya bicara justru akan menambah risiko keterlambatan daya bicara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak jalanan biasanya merupakan produk kekerasan dalam lingkungan keluarga secara umum, khususnya akibat kekerasan yang dialami oleh anak-anak tersebut. Walhasil, masyarakat yang membiarkan dan menyia-nyiakan mereka akan menanggung beban sebagai akibat dari perilaku yang menyimpang.
ADVERTISEMENT
Peran semua pihak dalam menjaga anak-anak dari kekerasan menjadi sangat penting untuk diprioritaskan. Negara, Warga, hingga Media menjadi pihak yang mengampu peran penting ini. Dalam kasus kekerasan anak di Pamulang yang dibahas dalam tulisan ini saja, saya mempelajari terdapat dua berita yang sama dengan rentang waktu tayang berbeda dengan tambahan sedikit informasi, sehingga akhirnya mendapat respons dari masyarakat yang berbeda pula.
Pada 26 Juni 2023, Kumparan menerbitkan berita dengan judul Pasutri di tangsel diduga aniaya balita hingga tewas. Korban berusia 4 tahun sedangkan pelaku D (ayah tiri) dan AZ (ibu kandung). Berita ini tidak mendapat respons apa pun dari pembaca (atau memang tidak ada yang membaca). Kemudian pada 2 Juli 2023 (terpaut 7 hari dari berita pertama) Kumparan menerbitkan berita dengan judul Alasan Pasutri di tangsel aniaya anak hingga tewas: kesel korban speech delay . Tulisan ini mendapat komentar sebanyak 41 pembaca.
ADVERTISEMENT
Bukan karena speech delay. Negara semestinya hadir memberikan seperangkat pengetahuan dan pemantauan berkala tentang kesiapan menikah calon pasangan pengantin dan pasangan calon orang tua anak-anak yang mereka akan lahirkan. Begitupun lingkungan terdekat menjadi lingkungan yang memberikan dukungan materi maupun mental dalam membesarkan anak sehingga yang akan merasakan dampaknya nanti adalah lingkungan tersebut juga.
Media tidak kalah pentingnya, menjadi pipa-pipa mengalir derasnya informasi dan pengetahuan yang tentunya informatif, kredibel dan faktual dalam hal apa pun, khususnya dalam mencerdaskan anak, orang tua dan masyarakat media.
Live Update