Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pengaruh Kolonialisme Terhadap Santri, Ulama, dan Pesantren di Nusantara
24 Desember 2024 12:23 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Ai Putri Arumsari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mungkin kita sudah tidak asing lagi dengan sebutan santri, ulama dan pesantren. Artikel ini akan menjelaskan lebih mendalam tentang santri. Ketiga unsur ini merupakan elemen utama dalam perkembangan pesantren dan penyebaran ilmu agama di Nusantara. Kiyai dan pesantren tidak hanya berfungsi sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai sumber ilmu dan kebijaksanaan dalam sejarah Islam di Indonesia. Namun, setelah kolonialisme masuk ke Nusantara pada abad ke-19, muncul berbagai pengaruh yang sangat signifikan terhadap berbagai bidang kehidupan, termasuk terhadap santri dan pesantren.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, saya tidak cukup berani untuk mengatakan bahwa kolonialisme sangat berpengaruh terhadap santri, ulama, dan pesantren di Nusantara, karena sejatinya saya tidak hidup pada masa itu dan tentunya tidak akan mengetahui secara pasti pengaruh tersebut. Namun, tujuan saya menulis artikel ini adalah untuk memberikan pengetahuan kepada pembaca bahwa pengaruh kolonialisme terhadap santri, ulama, dan pesantren ini tidak boleh disepelekan. Tujuannya tidak lain agar kita selalu mawas diri jika suatu saat nanti akan ada kolonialisme yang lain. Naudzubillah.
Ulama dan Santri: Pekerja Kolonialisme yang Dianggap Kafir
Seperti yang telah kita ketahui bersama, di Nusantara pernah terjadi periode penjajahan kolonialisme oleh Hindia Belanda. Selama kurang lebih 350 tahun, Nusantara berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda, yang tentunya memberikan dampak yang signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk santri dan pesantren yang ada pada masa itu. Pesantren, sebagai lembaga pendidikan tertua yang berfungsi sebagai pusat pengajaran ilmu agama, tidak luput dari pengaruh penjajahan ini. Keberadaan kolonialisme menyebabkan perubahan-perubahan dalam berbagai sektor, yang turut memengaruhi dinamika kehidupan pesantren dan pola pendidikan yang diterapkan di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Dalam buku Islam dalam Arus Sejarah Indonesia pada bab 13 dijelaskan bahwa telah terjadi perubahan signifikan dalam struktur sosial keagamaan masyarakat setelah kolonialisme masuk ke Nusantara. Salah satu contohnya dapat dilihat pada peristiwa yang terjadi di pesantren di Banten. Sebagai contoh, ada seorang santri yang mondok di salah satu pesantren di Banten dan berasal dari keluarga elit pribumi yang bekerja pada pemerintahan Belanda.
Santri tersebut bernama Ahmad Djajadiningrat, yang menceritakan pengalamannya ketika menuntut ilmu di pesantren tersebut. Ia sering dicemoohkan oleh orang-orang di pondok karena latar belakang keluarganya yang bekerja untuk Belanda, serta dianggap hidup dengan memakan uang haram. Bahkan, ada seorang lurah pesantren yang mengatakan kepadanya bahwa ia tidak akan dapat memahami pelajaran karena terlalu banyak makan nasi yang dibeli dengan uang haram, yaitu gaji yang diterima oleh ayahnya dari pemerintahan Belanda.
ADVERTISEMENT
Hal ini merupakan salah satu pengaruh kolonialisme di Nusantara terhadap alim ulama dan pesantren. Dimana kolonialisme mengubah lanskap politik pada akhir abad ke-19 dan menyebabkan kesenjangan semakin melebar di kalangan para ulama dan santri. Selain itu, pengaruh lain dari kolonialisme adalah banyaknya alim ulama dan santri yang semakin terlibat dalam urusan non-keagamaan, yaitu menjadi pejabat-pejabat yang diangkat oleh Belanda. Akibatnya, hal ini memicu timbulnya pemberontakan di Banten, di mana sebagian masyarakat berpendapat bahwa jika para alim ulama bekerja untuk Belanda, maka itu adalah dosa besar. Pendapat anti-pegawai pemerintah pun muncul di kalangan umat Islam di Banten.
Para ulama pada masa itu beranggapan bahwa para pekerja yang memberikan keuntungan bagi pihak Belanda termasuk dalam kategori setengah kafir. Hal ini dikarenakan mereka memandang Belanda sebagai penjajah yang seharusnya dilawan oleh masyarakat di Nusantara. Namun, di sisi lain, banyak masyarakat, termasuk kalangan ulama sendiri, justru bekerja dalam posisi yang menguntungkan pihak Belanda. Mereka terlibat dalam berbagai tugas yang mendukung kepentingan kolonial, meskipun mereka menyadari bahwa tindakan tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip perjuangan melawan penjajahan.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, Ahmad Djajadiningrat hanyalah salah satu dari banyak pegawai pemerintahan di Banten yang menjadi sasaran kritik dan serangan dari sesama ulama. Sebagai pegawai yang bekerja untuk pemerintah kolonial, dia dianggap mengkhianati perjuangan umat Islam. Sebenarnya, masih banyak contoh lain yang menggambarkan fenomena ini, yang menunjukkan adanya perpecahan di kalangan ulama mengenai sikap terhadap penjajahan Belanda.
Kurangnya Perhatian Ulama terhadap Keagamaan di Masyarakat Pada Masa Kolonial
Pengaruh kedua yang tampak jelas akibat adanya kolonialisme adalah berkurangnya perhatian para ulama terhadap permasalahan keagamaan yang semakin kompleks di masyarakat. Pada masa itu, banyak ulama yang semakin terafiliasi dengan jabatan-jabatan negara yang diberikan oleh pemerintah kolonial, sehingga mereka cenderung mengesampingkan isu-isu keagamaan yang dihadapi umat. Padahal, peran ulama sangatlah vital dalam membimbing umat untuk memahami dan menyelesaikan persoalan-persoalan agama. Tanpa adanya keterlibatan aktif ulama dalam mengatasi masalah keagamaan, banyak persoalan agama yang sulit untuk diselesaikan dengan baik, sehingga berpotensi menimbulkan ketidakharmonisan dalam kehidupan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Ketika para ulama sangat dibutuhkan oleh masyarakat, mereka justru lebih memfokuskan perhatian mereka pada pekerjaan yang mereka jalani untuk kepentingan kolonial Belanda. Para ulama tidak memiliki waktu luang untuk menangani masalah-masalah yang tengah terjadi dalam masyarakat. Akibatnya, keadaan ini memicu timbulnya pergolakan dan perpecahan di kalangan umat Islam pada masa itu. Ketika pergolakan semakin berkembang, tingkat keamanan pun semakin menurun, yang menyebabkan beberapa kelompok masyarakat terpecah dan membentuk komunitas-komunitas tertentu. Dalam konteks ini, masyarakat terbagi menjadi dua kelompok utama, yaitu komunitas para pejabat dan komunitas para ulama. Perpecahan ini semakin memperburuk kondisi sosial dan politik yang ada pada saat itu.
Perlawanan Pesantren Terhadap Kolonialisme
Kaum santri, yang umumnya merupakan para pemeluk ajaran Islam yang mendalami ilmu di pesantren, memainkan peran penting dalam perlawanan terhadap kolonialisme Belanda di Indonesia. Meskipun pada awalnya pesantren lebih berfokus pada pendidikan agama, kaum santri mulai menyadari bahwa penjajahan membawa dampak negatif yang tidak hanya mengancam aspek sosial dan politik, tetapi juga agama mereka.
ADVERTISEMENT
Peran kaum ulama dan santri sejak awal perjuangan merebut kemerdekaan hingga tercapainya kemerdekaan yang kita nikmati saat ini tidak dapat dipandang sebelah mata. Mereka adalah sosok yang memberikan keyakinan kepada rakyat Indonesia yang pada waktu itu harga diri dan martabatnya diinjak-injak oleh penjajah, bahkan dipandang rendah sebagai inlander atau bangsa terjajah. Melalui gerakan perlawanan bersenjata maupun jalur diplomasi, keyakinan akan syahidlah yang memberikan keberanian kepada mereka untuk melawan kekuatan kolonial Barat yang menganggap diri mereka sebagai ras kulit putih yang lebih superior. Peran penting pesantren dalam sejarah bangsa ini terletak pada keterlibatannya dalam perjuangan melawan penjajahan.
Para ulama dan santri mengorganisir berbagai gerakan perlawanan, baik melalui dakwah, pemberontakan, maupun perang fisik, untuk melawan penjajah yang mencoba mengendalikan kehidupan mereka. Salah satu contoh perlawanan besar adalah Perang Diponegoro (1825-1830) yang melibatkan banyak ulama dan santri. Mereka tidak hanya berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan, tetapi juga untuk menjaga kemurnian ajaran Islam dari pengaruh asing yang ditanamkan oleh kolonial Belanda. Perlawanan ini menunjukkan bahwa kaum santri memiliki peran signifikan dalam mempertahankan identitas dan martabat bangsa Indonesia di tengah cengkraman kolonialisme.
ADVERTISEMENT
Merosotnya pengaruh raja di mata rakyat dan meningkatnya penderitaan rakyat akibat kebijakan Belanda menyebabkan tumbuhnya kesadaran di kalangan masyarakat untuk melepaskan diri dari kondisi yang semakin sulit. Dampak dari kebijakan-kebijakan yang merugikan kehidupan masyarakat ini memicu perlawanan. Perang Diponegoro merupakan perlawanan terbesar terakhir yang dihadapi oleh pemerintahan kolonial Belanda di Jawa, yang berlangsung selama lima tahun, dari tahun 1825 hingga 1830. Perlawanan ini dipimpin oleh Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya yang berusaha melawan kesewenang-wenangan pemerintah Belanda di Jawa, khususnya di Kesultanan Yogyakarta. Peraturan-peraturan yang diterapkan sejak Kesultanan Yogyakarta berada di bawah kekuasaan Belanda membuat Pangeran Diponegoro prihatin, karena kebijakan tersebut dapat menyebabkan keretakan dalam Kesultanan. Intervensi bangsa asing, perbedaan budaya dalam pemerintahan, peraturan, serta nilai-nilai tradisional Kesultanan, semuanya berdampak langsung pada kehidupan rakyat.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya, kolonialisme Belanda telah memberikan dampak yang mendalam terhadap kehidupan santri, kiyai, dan pesantren di Nusantara. Pengaruh ini tidak hanya mengubah dinamika sosial dan politik, tetapi juga memperburuk hubungan antara ulama dan masyarakat, menciptakan perpecahan di kalangan umat Islam. Banyak ulama yang terlibat dalam jabatan pemerintahan kolonial, yang menyebabkan kritik terhadap mereka karena dianggap mengkhianati perjuangan melawan penjajahan. Namun, di sisi lain, kaum santri dan ulama juga memainkan peran penting dalam perlawanan terhadap kolonialisme, seperti yang terlihat dalam Perang Diponegoro, untuk mempertahankan identitas bangsa dan menjaga kemurnian ajaran Islam. Peran mereka dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak dapat dipandang sebelah mata, karena mereka turut mempertahankan martabat bangsa yang diinjak-injak oleh penjajah.
ADVERTISEMENT