Rekonstruksi Gender dan Identitas Korea dalam Lagu 'Plastic Is Fantastic'

Aidatul Fitriyah
Mahasiswa Sarjana Bahasa dan Sastra Inggris Universita Airlangga yang suka menulis dan bekerja dengan dunia kepenulisan
Konten dari Pengguna
28 Februari 2023 17:32 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aidatul Fitriyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Performance dari salah satu idol K-pop. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Performance dari salah satu idol K-pop. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Saat ini Korea Selatan berkembang menjadi negara industri dengan teknologi yang terus meningkat, khususnya di industri hiburan yaitu K-Pop. Selain itu, kemunculan Korean-wave yang mengacu pada meningkatnya popularitas internasional budaya Korea, telah membantu K-pop mendapatkan basis penggemar yang cukup besar di luar negeri dengan rentang usia dan latar belakang yang luas. Latar belakang yang berbeda menyebabkan perbedaan dalam bagaimana lagu-lagu tersebut dipersepsikan dan diinterpretasikan.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya dikenal dari musiknya, Tetapi penampilan fisik memberikan pengaruh yang signifikan terhadap popularitas. Hampir seluruh orang Asia di Timur mengidamkan fitur wajah yang terpahat sempurna pada sebagian besar idola K-Pop seperti kelopak mata ganda dan hidung mancung. Belum lagi, banyak pengikut yang terpengaruh untuk meniru penampilan dan perilaku idola mereka dengan meniru cara mereka menari, bernyanyi, berpakaian, dan tampil.
Rupanya hal tersebut juga diekspresikan dalam sebuah lagu yang berjudul “Plastic is Fantastic” yang dibawakan oleh Oli London. Penyanyi lagu ini merupakan seorang pria Inggris yang telah menjalani lebih dari 20 operasi plastik untuk tampil dan menjadi pria Korea non-biner. Lagu ini merepresentasi seorang pria bule biasa yang terobsesi untuk tampil bak superstar K-Pop. Dalam lagu ini Oli London berusaha mengekspresikan dirinya tentang fantasi plastiknya dan mempengaruhi pendengarnya untuk menjalani operasi plastik.
Tangkapan layar Oli London dalam video clip lagu 'Plastic is Fantastic'. Foto: Dokumentasi pribadi
Fenomena tersebut rupanya mendapatkan banyak kritik dari Netizen, terutama warga Korea. Operasi plastik adalah masalah besar dalam studi gender dan identitas karena ini menunjukkan betapa mudahnya bagi orang Barat untuk menjadi anggota kelompok minoritas dengan melakukannya. Namun, mereka bisa mendapatkan dukungan dari media untuk menumbangkan, mengeksploitasi, dan mengkomodifikasi kelompok rentan ini di tengah kontroversi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Meskipun lagu ini menuai kontroversi, namun sebenarnya lagu ini memiliki latar belakang sosial dan budaya yang cukup unik. Selain itu, penyanyi tersebut tampak membangun diskusi yang menarik tentang konstruksi gender dan identitas melalui penampilan dan fantasi plastiknya menggunakan lirik, visual, dan latar belakang sosial budayanya.
Sebuah studi yang berjudul “Subversi Gender dan Identitas dalam Lagu Plastic Is Fantastic Karya Oli London” mengidentifikasi problematika gender dan identitas dalam lagu tersebut. Riset ini diterbitkan oleh LAKON: Jurnal Kajian Sastra dan Budaya milik Departemen Magister Kajian Sastra dan Budaya Universitas Airlangga.
Pada Riset ini menyebutkan bahwa konstruksi gender dan identitas sangat dipengaruhi oleh media yang dikonsumsi seseorang seperti musik pop Korea dan idola. Tidak hanya itu, sang penulis juga mengungkap makna interpersonal yang dibangun oleh teks dengan mempertimbangkan makna teks yang lebih mendalam dan komunikasi lainnya.
ADVERTISEMENT

Perilaku Menyimpang dari Konstruksi Gender dan Identitas oleh Oli London

Beberapa penampilan gender K-Pop dari presentasi androgini idola pria hanya sebagai konstruksi untuk menarik penonton wanita agar bisa mendapatkan keuntungan, bukan sebagai representasi queer yang merongrong norma gender.
Begitu pula dengan penampilan Oli dalam video musiknya, Video dimulai dengan memunculkan pembaruan pasca-operasi terbaru, diikuti dengan tampil sebagai "non-biner" dan "Korea". Oli berharap dengan rilisnya video tersebut dapat mendorong dan membantu warga Korea yang merasa tidak terwakili dan dikucilkan oleh masyarakat untuk berani mengungkapkan seksualitas mereka.
Meskipun upayanya dilakukan dengan niat baik untuk mendukung orang transgender, alih-alih tindakannya justru menuai kritik dari orang Korea dan komunitas LGBTQ, khususnya orang non-biner. Selain itu, bagi komunitas LGBTQ penggunaan promina Korea dianggap sebagai ejekan dan penghinaan karena hanya membuat mereka terlihat seperti lelucon. Terlebih lagi saat ini eksistensi orang trans terancam dan sering mendapatkan diskriminasi dari masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dalam waktu satu bulan setelah rilis video musik, dia telah mengambil langkah lebih jauh dengan mengeklaim bahwa dia memiliki identitas Korea dalam dirinya. Terlebih lagi, ia memposting gambar bendera Korea. Namun demikian, bendera itu 'dirusak' dengan warna aslinya berubah drastis oleh warna pelangi yang mewakili LGBTQ yang di mana kontras dengan simbolisme nasional, budaya, dan sejarahnya.
Cuitan twitter Oli London tentang rekonstruksi bendera Korea (sumber: screenshoot pribadi)
Dengan menggunakan bendera ini, dia ingin membuat tempat yang aman bagi orang non-biner di Korea Selatan. Dengan demikian, kehadiran mereka secara resmi diakui dan diperhatikan oleh masyarakat. Namun, sikap ini sangat ofensif karena meremehkan orang Korea dan komunitas LGBTQ. Mengubah bendera yang mewakili seluruh negara yang ada dan melanggar arti dari bendera tersebut adalah tindakan menghina konstituen dan menodai citra Korea Selatan dan komunitas LGBTQ. Namun demikian, konstruksi identitasnya tidak berhenti di situ.
ADVERTISEMENT
Menurut video yang keluar yang dia terbitkan, dia mengeklaim bahwa dia sekarang adalah orang 'transracial' karena dia mendapatkan penampilan Korea melalui operasi plastik, sedangkan secara etimologis, istilah 'transracial' mengacu pada orang tua yang mengadopsi anak dari ras yang berbeda; oleh karena itu, ini bukanlah istilah yang cocok untuk menyebut individu yang berpindah dari satu ras ke ras lainnya. Dalam hal ini konstruksi identitas ras tidak dapat disamakan dengan transisi gender karena ras diwariskan dalam darah seseorang dan tidak dapat diubah hanya dengan penampilan seseorang.
Dalam hal ini, Oli tidak sepenuhnya memahami pengalaman, perjuangan, dan bahkan trauma yang dialami oleh anak-anak Korea dan transracial. Akibatnya, ia menimbulkan masalah lain karena gagasan transisi ke ras yang berbeda mendiskreditkan orang kulit berwarna dan trans serta pengalaman orang beragam gender tentang penegasan gender.
ADVERTISEMENT