Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
Konten dari Pengguna
Otsuya hingga Osougi: Wajah Spiritual di Balik Ritual Kematian Masyarakat Jepang
7 April 2025 8:01 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Rahmatu Nuraini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
“Orang Jepang hidup dengan Shinto, meninggal dengan Buddha", pernahkah Anda mendengar ungkapan tersebut? Ungkapan ini mencerminkan perpaduan unik antara dua tradisi keagamaan yang sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Jepang. Shinto, sebagai agama asli Jepang, telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat sejak zaman kuno. Ajarannya menekankan pada harmoni dengan alam, penghormatan terhadap leluhur, serta keberadaan roh-roh suci atau kami dalam setiap unsur kehidupan. Maka tak heran jika banyak orang Jepang yang menjalani hidup dengan nilai-nilai dan ritual Shinto, seperti perayaan tahun baru, pernikahan, hingga berbagai festival musiman.
ADVERTISEMENT
Namun, ketika seseorang meninggal dunia, tradisi Buddha mengambil peran yang dominan. Mayoritas ritual kematian, pemakaman, dan peringatan arwah di Jepang dilaksanakan berdasarkan ajaran Buddha. Hal ini menunjukkan bagaimana kedua kepercayaan tersebut hidup berdampingan dan saling melengkapi dalam kehidupan spiritual masyarakat Jepang.
Selain dimensi spiritual, aspek kesehatan juga menjadi perhatian penting dalam kehidupan masyarakat Jepang. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2021, statistik menunjukkan bahwa penyebab utama kematian di Jepang adalah penyakit jantung, kanker, infeksi saluran pernafasan bawah, dan stroke. Diantara ketiganya, penyakit jantung menjadi penyebab tertinggi. Salah satu faktor yang berkontribusi adalah pola makan tradisional yang rendah lemak, namun tinggi kandungan garam—terutama dari makanan seperti miso, acar, dan kecap asin. Meskipun demikian, tren pola makan masyarakat Jepang mulai bergeser. Kini, semakin banyak orang yang sadar akan pentingnya mengurangi asupan garam demi menjaga kesehatan. Perubahan ini turut berperan dalam menurunnya angka penderita stroke dan penyakit kronis lainnya.
Di Jepang, terdapat sebuah ritual tradisional yang dilakukan ketika seseorang meninggal dunia. Ketika terdapat orang yang meninggal dunia, jenazah tersebut akan diberi minum air yang dikenal dengan sebutan “Matsugo no Mizu” (末期の水), atau yang berarti “Air Akhir Kehidupan”. Ritual ini merupakan bentuk penghormatan terakhir kepada orang yang telah meninggal, sekaligus simbol kasih sayang dan perpisahan dari keluarga.
ADVERTISEMENT
Pada masa lalu, ritual ini dilakukan dengan cara meminumkan air secara langsung kepada jenazah, seolah-olah membantu melepas dahaga terakhir sebelum menuju alam baka. Namun, seiring waktu, cara pelaksanaannya mengalami perubahan. Saat ini, Matsugo no Mizu umumnya dilakukan dengan membasahi kapas yang dililitkan pada sepasang sumpit atau tongkat kecil, kemudian dicelupkan ke dalam air, dan diusapkan secara lembut ke bibir jenazah. Ritual ini tidak hanya mencerminkan tradisi yang telah diwariskan turun-temurun, tetapi juga menjadi bagian dari proses perpisahan keluarga dengan orang yang meninggal. Meskipun sederhana, tindakan tersebut dilakukan sebagai bentuk penghormatan terakhir sebelum jenazah dipersiapkan untuk prosesi selanjutnya.
Di Jepang, prosesi setelah kematian tidak hanya berhenti pada ritual Matsugo no Mizu, tetapi berlanjut ke tahap-tahap berikutnya. Setelah keluarga memberikan air terakhir kepada jenazah, proses perawatan jenazah dilanjutkan dengan pemandian yang disebut dengan “Yukan” (湯灌). Pada masa lalu, jenazah biasanya dimandikan menggunakan air hangat sebagai bentuk penghormatan terakhir dan untuk membersihkan tubuh sebelum perjalanan ke alam baka. Namun, seiring waktu, praktik ini mengalami penyesuaian. Saat ini, pemandian jenazah lebih sering dilakukan dengan cara membasuh atau mengusap tubuh menggunakan kain yang dibasahi air hangat, atau dalam beberapa kasus, menggunakan alkohol. Hal ini dilakukan dengan hati-hati dan penuh rasa hormat oleh anggota keluarga atau petugas pemakaman.
ADVERTISEMENT
Setelah tubuh dibersihkan, jenazah kemudian dipakaikan kimono. Namun, tidak seperti cara mengenakan kimono pada orang yang masih hidup, kimono untuk jenazah dikenakan dengan posisi yang berlawanan, yakni bagian kiri berada di depan, bukan kanan. Hal ini menandakan bahwa pemakainya telah meninggal dunia dan menjadi simbol perpindahan alam.
Selanjutnya, jenazah dibaringkan dengan kepala menghadap ke arah utara 北枕 (Kita Makura) dengan tangan diletakkan dalam posisi saling menggenggam di atas perut atau dada. Praktik ini berasal dari kepercayaan Buddha, yang menyebutkan bahwa Buddha Shakyamuni wafat dengan kepala menghadap ke utara. Karena itu, arah utara dianggap sebagai arah suci yang berkaitan dengan kematian dan perjalanan menuju dunia berikutnya.
Pada malam sebelum upacara pemakaman, keluarga dekat biasanya berkumpul untuk berjaga di sekitar jenazah dalam sebuah ritual yang dikenal sebagai “Otsuya” (お通夜), atau "malam berjaga". Dahulu, otsuya dilakukan semalam suntuk sebagai bentuk penghormatan terakhir dan kesempatan bagi keluarga serta kerabat untuk mengucapkan salam perpisahan. Namun, seiring berjalannya waktu dan menyesuaikan dengan gaya hidup modern, pelaksanaan otsuya kini umumnya hanya berlangsung selama dua hingga tiga jam pada malam hari, biasanya di hari yang sama dengan kematian atau sehari sebelum pemakaman.
ADVERTISEMENT
Selama otsuya, keluarga dan tamu yang hadir biasanya mengenakan pakaian serba hitam sebagai simbol duka. Mereka akan duduk di ruang tempat jenazah disemayamkan, membakar dupa, dan bersama-sama mengucapkan doa-doa bagi arwah almarhum. Suasana otsuya umumnya hening dan khidmat, meskipun dalam beberapa kasus juga menjadi ajang bagi kerabat yang lama tidak bertemu untuk saling berbincang dalam suasana yang tetap sopan dan menghormati momen duka.
Selain itu, ketika seseorang meninggal di sebuah rumah, biasanya terdapat tanda-tanda khusus yang menunjukkan bahwa keluarga sedang berduka. Salah satunya adalah pemasangan papan bertuliskan “忌中” (Kichuu), yang berarti "dalam masa berkabung", yang ditempelkan di bagian depan rumah sebagai pemberitahuan kepada lingkungan sekitar bahwa keluarga sedang berada dalam masa berduka.
Setelah upacara otsuya (お通夜) atau malam berjaga selesai dilaksanakan, prosesi berikutnya adalah upacara pemakaman yang dalam bahasa Jepang dikenal sebagai “Osougi” (お葬儀). Upacara ini merupakan momen inti dari rangkaian prosesi kematian, di mana keluarga, kerabat, dan tamu undangan berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir kepada almarhum. Dilansir dari website いい葬儀 yang dirilis pada 24 September 2024, di Jepang, terdapat empat jenis pemakaman yakni pemakaman umum, pemakaman keluarga, pemakaman satu hari, dan pemakaman langsung atau upacara kremasi. Pada awal upacara osougi, seorang pendeta Buddha akan memimpin pembacaan sutra dan doa-doa untuk menuntun arwah almarhum menuju kehidupan selanjutnya. Dalam tradisi Buddha Jepang, keluarga juga akan meminta pendeta untuk memberikan kaimyō (戒名), yaitu nama anumerta yang diberikan kepada orang yang telah meninggal. Nama ini dipercaya akan membantu arwah mendapatkan kedudukan yang layak di alam baka serta membebaskan dari keterikatan duniawi. Semakin panjang dan rumit nama kaimyō, biasanya menunjukkan penghargaan dan status spiritual yang tinggi, dan dalam beberapa kasus, disesuaikan dengan donasi yang diberikan kepada kuil.
ADVERTISEMENT
Setelah doa-doa selesai, jenazah akan dipersiapkan untuk proses kremasi. Sebelum dibawa ke krematorium, keluarga biasanya diberi kesempatan terakhir untuk melihat wajah almarhum dan menyampaikan salam perpisahan secara pribadi. Momen ini sering menjadi bagian paling emosional dalam keseluruhan rangkaian upacara. Pada masa lalu otsuya dan osougi sering dilakukan di rumah mendiang, namun sekarang prosesi ini lebih sering diadakan di rumah duka yang dimiliki oleh suatu perusahaan.
Setelah dikremasi sesuai tradisi Buddha, abu dan tulang yang tersisa dikumpulkan oleh anggota keluarga menggunakan sumpit panjang. Ritual tersebut dinamakan dengan “Kotsuage”. Tulang diambil dari kaki hingga kep alam agar roh secara simbolis tetap utuh. Abu jenazah kemudian disimpan dalam wadah keramik khusus yang disebut “Kotsubo”. Abu ini kemudian ditempatkan di makam keluarga atau rumah abu di kuil.
Dengan panjangnya ritual dan proses pemakaman ini, biaya pemakaman di Jepang sangatlah mahal. Diperkirakan biaya pemakaman berkisar 16 man - 200 man yen. Namun disisi lain ritual yang dilakukan sarat akan makna dan tujuan yang menunjukkan kasih sayang terhadap orang yang meninggal. Ritual ini juga menunjukkan sisi spiritual orang Jepang meskipun mereka dikenal tidak memiliki kepercayaan.
ADVERTISEMENT
REFERENSI
Buku Nihonjin no Issho (Hal. 29)
https://data.who.int/countries/392 Diakses pada 7 April 2025
https://www.e-sogi.com/guide/33990/ Diakses pada 7 April 2025