Konten dari Pengguna

Dikotomi Perawan dan Pelacur: Melanggengkan Kekerasan Gender melalui Bahasa

Ainun Nur Baiti
Hi there! I'm a student at Sriwijaya University majoring in International Relations and currently pursuing my bachelor's degree.
27 November 2024 13:44 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ainun Nur Baiti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
free image from pexels
zoom-in-whitePerbesar
free image from pexels
ADVERTISEMENT
Seorang perempuan hancur dengan begitu banyak luka di tubuhnya dan di sudut sana, segerombolan orang akan tertawa-tawa sembari menyerukan, “Kalau udah ngga perawan ya fix, pelacur!” dan setiap satu kepala yang mendengarkan kalimat itu mengangguk seakan-akan hal tersebut merupakan istilah yang perlu dibudidayakan, diberi tempat aman, hingga berhasil lahir turun-temurun menjadi patokan. Dua kata; perawan dan pelacur, menjadi kata-kata keramat yang begitu disukai masyarakat karena dapat membunuh seorang perempuan tanpa perlu repot-repot menyakiti fisiknya.
ADVERTISEMENT
Hierarki moral yang sering dilekatkan pada perempuan melalui label seperti "perawan" dan "pelacur" mencerminkan bias gender yang mendalam dalam masyarakat. Istilah "perawan" kerap diasosiasikan dengan kesucian dan kehormatan, sementara "pelacur" dianggap sebagai simbol degradasi moral, seolah-olah seorang perempuan kehilangan nilai dirinya ketika dianggap tidak lagi "suci." Pandangan ini lahir dari konstruksi sosial yang rusak, di mana maskulinitas diposisikan sebagai standar utama, sementara feminitas direduksi menjadi sesuatu yang harus bersujud atau berada di bawah dominasi maskulinitas.
Konsekuensi dari ketimpangan ini memaksa perempuan untuk menjaga apa yang disebut sebagai "kesucian" jika mereka ingin dihormati dan diperlakukan setara dengan laki-laki. Dari sini, lahir aturan-aturan tak kasat mata yang mengekang kebebasan perempuan, di mana mereka dianggap layak menerima penghormatan hanya jika tubuh mereka tidak "tersentuh."
ADVERTISEMENT
Sebuah mahkota imajiner diberikan kepada perempuan yang memenuhi standar ini, sementara laki-laki tidak dibebani oleh aturan serupa. Tubuh laki-laki dianggap tidak meninggalkan jejak atau "bekas" yang dapat mencerminkan moralitas mereka, terlepas dari pengalaman atau pilihan hidupnya. Kontradiksi yang nyata dan menyakitkan ini masih kuat mengakar di masyarakat Indonesia, mencerminkan ketidakadilan yang harus terus dikritisi dan dilawan.
Dari adanya kontradiksi ini, perlahan perempuan tidak mendapatkan ruang aman untuk mengekspresikan apa yang terjadi di dirinya karena anggapan ia akan dihakimi dan dipandang hina oleh masyarakat. Dalam budaya patriarki, seringkali seorang perempuan akan bungkam dan enggan mengatakan jika dirinya merupakan korban pelecehan seksual karena merasa martabatnya telah dihilangkan dengan paksa dan tidak layak untuk dapat disebut sebagai seorang perempuan karena ada bekas yang tidak akan pernah hilang pada tubuhnya.
ADVERTISEMENT
Perempuan bukanlah benda atau yang nilainya berkurang berdasarkan apa yang terjadi pada dirinya. Istilah "perawan" dan "pelacur" adalah bentuk kekerasan gender yang dilanggengkan melalui bahasa, mencerminkan obsesi tidak sehat masyarakat terhadap tubuh perempuan. Istilah-istilah ini hadir untuk memuaskan dorongan patriarkal yang menginginkan perempuan tunduk sepenuhnya dan menyerahkan otonomi tubuh mereka kepada maskulinitas.
Tragisnya, korban pelecehan sering kali dijadikan pihak yang disalahkan dengan alasan telah "menyerahkan mahkotanya," yang dianggap hanya boleh diberikan kepada suami. Pemahaman ini tidak hanya menciptakan tekanan sosial, tetapi juga berkontribusi pada bentuk kekerasan lain, seperti pembenaran terhadap kekerasan dalam hubungan.
Misalnya, laki-laki yang merasa pasangannya "tidak perawan" sering kali melampiaskan perasaan tidak terima dengan perilaku agresif. Bahkan, pengalaman perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual kerap dianggap sebagai bukti bahwa mereka adalah "pelacur" yang tidak layak mendapatkan penghormatan, semata karena tubuh mereka telah "hilang nilai."
ADVERTISEMENT
Padahal, keperawanan seorang perempuan—atau hilangnya konsep tersebut—tidak pernah dan tidak akan pernah mengurangi nilai dirinya sebagai individu yang berhak atas hak asasi dan penghormatan. Oleh karena itu, perlu upaya serius untuk memutus rantai patriarki yang mengakar dengan menghapus obsesi masyarakat terhadap tubuh perempuan.
Penting untuk memberikan perempuan hak atas otonomi tubuhnya, tanpa intervensi atau penilaian dari pihak lain. Masyarakat harus berhenti mendewakan laki-laki sembari merendahkan perempuan melalui aturan-aturan kaku yang lahir dari pemikiran konservatif yang tidak relevan di era modern. Perubahan ini menjadi langkah penting menuju kesetaraan yang lebih adil dan inklusif bagi semua gender.