Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Kehadiran UU TPKS Sebagai Tonggak Baru Bagi Korban Kekerasan Seksual
13 Desember 2022 19:29 WIB
Tulisan dari Aisyah Atikah Candra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada 12 April lalu telah menjadi tonggak baru dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Undang-undang TPKS dicanangkan sebagai payung hukum yang bisa melindungi korban dari kasus kekerasan seksual. Sebelumnya penanganan kasus kekerasan seksual sangat terbatas pada Pasal 289 hingga Pasal 296 KUHP, yang hanya mengenal kekerasan seksual sebagai perlakuan cabul dan tidak lebih. Undang-undang TPKS hadir sebagai payung hukum yang memiliki definisi lebih luas, berfokus pada rehabilitasi korban, dan memiliki alur penanganan yang berorientasi korban.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, korban kekerasan seksual dihujam dengan berbagai hambatan, tanpa payung hukum yang jelas. Korban kekerasan seksual bagai terombang-ambing antara penegakan hukum yang lambat, dan persepsi masyarakat yang kejam. KUHP yang dahulu berperan sebagai acuan dalam penanganan kasus kekerasan seksual, terkesan menyulitkan proses pelaporan aksi perkosaan dan pencabulan dengan definisinya yang ambigu. Selain itu, hak-hak yang dimiliki korban juga tidak jelas dan tidak mencakup mengenai aksesibilitas dan rehabilitasi korban. Peneliti The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati berpendapat bahwa UU TPKS mewadahi segala bentuk kekerasan seksual dan memiliki jaminan hak yang lebih konkret.
Berorientasi korban mengacu pada alur penanganan yang lebih simpatis terhadap korban dan tidak memaksa ataupun mempertanyakan korban. Substansi pada Pasal 3 UU TPKS bertujuan mencegah kekerasan seksual; menangani hingga memulihkan korban; mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual; dan menjamin kekerasan seksual tak berulang. Substansi ini tidak diatur dalam UU terdahulu, termasuk KUHP. Dalam Pasal 67, UU TPKS memperluas dan mempertegas hak yang dimiliki oleh korban dan penyintas. Hak-hak tersebut meliputi meliputi hak atas penanganan; hak atas perlindungan; dan hak atas pemulihan. Penanganan tersebut wajib mengikuti alur yang diinginkan korban.
ADVERTISEMENT
Payung Hukum Bagi Aktor-Aktor Rentan
Pada prakteknya, kekerasan seksual tidaklah sesederhana seperti yang terlihat pada laporan ataupun teori. Relasi kuasa dan relasi gender turut mempengaruhi terjadinya kekerasan seksual. Kekerasan seksual bisa terjadi ke siapapun, dimanapun. Secara khusus, anak-anak sangat rentan terhadap kekerasan seksual. Hal ini disebabkan pribadi anak-anak yang masih polos dan minimnya pendidikan seks, terlebih pelaku kekerasan seksual bisa saja orang yang dipercaya dan dianggap dekat. Bukan tidak mungkin seorang guru ataupun teman, melakukan kekerasan seksual terhadap korban. Contohnya adalah kasus Herry Wirawan yang memperkosa 13 orang murid perempuan yang ia asuh.
Pelecehan dalam dunia pendidikan menjadi salah satu dosa besar yang belum bisa disingkirkan hingga kini. Sangat ironi bahwa pengajar dan staf dunia pendidikan yang seharusnya melindungi dan mendidik, malah memanfaatkan kepercayaan murid-murid tersebut. Selama 2021, 2021, misalnya, menurut catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), sebanyak 8.730 anak menjadi korban kekerasan seksual (naik 25% dari tahun sebelumnya). Data ini hanya terbatas pada yang terlihat saja. Budaya “menjaga martabat” mendorong masyarakat untuk menutupi kasus yang terjadi karena dianggap sebagai aib. Dunia mungkin sudah lebih simpatis terhadap para korban, namun Indonesia masih memiliki perjalanan jauh dalam memberantas kekerasan seksual. Sebagai institusi yang membentuk pribadi anak dan remaja, dunia pendidikan harus bisa berperan dalam menyingkirkan kekerasan seksual.
ADVERTISEMENT
Langkah awal Kementerian Pendidikan dalam memberantas kekerasan seksual adalah menerbitkan Peraturan Menteri tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Momentum tersebut didukung dengan terbitnya UU TPKS yang menambah landasan hukum konkret. Selain itu, harus diadakan pula pendidikan kesehatan seksual yang mengajarkan mengenai batas relasi dan anti kekerasan seksual. Hal ini agar faktor relasi yang ada tidak bisa dimanfaatkan oleh pelaku.
Kedekatan dan kepercayaan tidak menjamin terciptanya keamanan. Hasil riset Indonesia Judicial Research Society (IJRS) yang membedah 735 putusan pengadilan selama 2018-2020, menemukan mayoritas korban (76,6%) adalah anak berusia kurang dari 18 tahun, dengan banyak pelaku merupakan orang di lingkungan terdekat anak seperti pacar, teman, keluarga, hingga guru. Unsur kekuasaan dan kedekatan yang sangat dekat membuat korban merasa takut untuk melawan. Kepercayaan yang dimiliki korban dimanipulasi oleh pelaku. Otoritas yang dimiliki figur keluarga atau guru contohnya, membuat korban merasa tidak berdaya. Hal ini diperparah oleh pola pikir masyarakat yang memilih untuk tutup mulut demi menjaga nama baik dibanding membela korban dan mempersekusi pelaku.
ADVERTISEMENT
Tidak logis jika “menjaga nama baik” disamakan dengan menutup trauma yang terjadi kepada korban. Acuan harga diri masyarakat yang terbatas pada keperawanan atau “kesucian” sangat mematikan. Asumsi masyarakat bahwa seseorang memiliki nilai setelah kehilangan “kesucian” sangat berbahaya. Sebuah pertanyaan besar mengapa lebih krusial menjaga nama baik pelaku, dibandingkan menyembuhkan trauma korban. Pelaku lebih dimanusiakan dan diutamakan dibandingkan korban. Lantas, apakah korban sendiri bukan manusia yang pantas untuk dibantu. Asumsi dan pola pikir inilah yang ingin diberantas oleh UU TPKS. Budaya hukum yang benar-benar berperspektif korban tidak mungkin tercipta jika masyarakat di dalamnya tetap berpola pikir busuk.
Pola pikir yang dianggap abstrak, tetap memiliki konsekuensi yang konkret. Sudah tidak terhitung kasus-kasus kekerasan seksual yang berakhir “damai”. Entah karena korban dinikahkan paksa dengan pelaku, atau karena korban dipaksa bungkam demi “nama baik”. Kekerasan seksual sebagai tindakan yang keji, menyebabkan trauma secara fisik ataupun mental, dan butuh waktu yang lama untuk menyembuhkannya. Seharusnya, tindakan tersebut harus diusut dengan setegas-tegasnya, untuk membela hak korban yang telah dipijak dan dilecehkan oleh pelaku. Sebelum hal tersebut bisa dicapai, maka supremasi hukum yang digaungkan masih sebatas ideologi saja.
ADVERTISEMENT