Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Antara Cinta, Adat, dan Modernitas: Konflik dalam Belenggu Karya Armijn Pane
27 April 2025 15:13 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Aisyah Aziszah Amantri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Armijn Pane lewat novelnya Belenggu (1940) berhasil menunjukkan kepada pembaca tentang betapa rumitnya kehidupan manusia modern yang mulai tercabut dari akar budayanya sendiri. Tokoh-tokoh seperti Dokter Sukartono, Tini, dan Yah adalah gambaran nyata dari individu yang terombang-ambing di antara tuntutan zaman, nilai-nilai baru, dan rasa keterasingan dalam dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Jika membaca novel Belenggu, kita akan sadar bahwa yang dikisahkan Armijn Pane bukan sekadar soal percintaan biasa. Konflik utama dalam novel ini justru terjadi di dalam pikiran dan perasaan tokoh-tokohnya. Misalnya saja Sukartono, seorang dokter yang merasa hidupnya kosong, meskipun secara sosial ia tergolong berhasil. Dalam satu bagian, "Kalau keyakinan sudah menjadi pohon beringin, robohlah segala pertimbangan lain-lain," yang memperlihatkan bagaimana keyakinan pribadi bisa bertabrakan keras dengan kenyataan yang harus dihadapi.
Sukartono merasa hubungannya dengan Tini tidak lagi membahagiakan. Tini yang aktif dalam kegiatan perempuan dan berpikiran maju dianggapnya tidak lagi "seperti istri" dalam bayangannya. Ia merasa lebih nyaman bersama Yah, seorang perempuan yang lebih sederhana, yang dianggapnya bisa memberinya ketenangan. Dalam beberapa bagian, terasa betul bahwa semua tokoh di novel ini sebenarnya sama-sama terbelenggu. Bukan hanya Sukartono yang terjebak dalam idealismenya, tetapi Tini juga terjebak dalam cita-cita modernnya, dan Yah pun tidak sepenuhnya bebas dari luka masa lalunya. Yah bahkan berkata, "Sudah lama aku bermimpi akan begini," yang menunjukkan bahwa hubungan mereka berdua lebih banyak dilandasi keinginan untuk melarikan diri dari kenyataan ketimbang menghadapi kenyataan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Yang menarik dari novel Belenggu adalah keberanian Armijn Pane untuk membuka soal-soal pribadi seperti pergolakan batin dan krisis identitas, sesuatu yang belum banyak disentuh dalam karya sastra pada masa itu. Kalau dipikir-pikir, masalah yang diangkat pada novel Belenggu masih sangat relevan dengan kehidupan kita sekarang. Di tengah derasnya arus globalisasi, banyak anak muda yang juga mengalami kebingungan soal identitas diri. Ingin mengikuti perkembangan zaman, tapi di sisi lain merasa kehilangan akar budaya sendiri.
Secara keseluruhan, Belenggu bukan hanya sebuah kisah tentang cinta segitiga, tetapi juga cermin dari kegelisahan manusia modern yang merasa hidupnya penuh pertanyaan, tanpa ada jawaban pasti. Armijn Pane seolah ingin menyampaikan bahwa dalam setiap pilihan hidup, selalu ada harga yang harus dibayar, dan kadang-kadang, harga itu adalah diri kita sendiri.
ADVERTISEMENT