news-card-video
10 Ramadhan 1446 HSenin, 10 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Jejak Kolonialisme dalam Pikiran Pribumi: Pelajaran dari Novel Salah Asuhan

Aisyah Aziszah Amantri
mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
7 Maret 2025 13:11 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aisyah Aziszah Amantri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber pexels.com
ADVERTISEMENT
Abdoel Moeis dalam novelnya Salah Asuhan (1920an) menyajikan kisah tentang pergulatan identitas dalam masyarakat pribumi yang terbelah oleh kolonialisme. Novel ini mengisahkan sosok Hanafi, seorang pribumi terdidik yang terjebak dalam obsesinya terhadap budaya Barat, hingga akhirnya kehilangan jati diri dan hancur oleh pilihannya sendiri.
ADVERTISEMENT
Melalui cerita ini, Abdoel Moeis menyoroti dampak pendidikan kolonial terhadap cara berpikir pribumi. Hanafi, yang berpendidikan Belanda, merasa superior dibandingkan sesamanya dan memandang rendah kebudayaan pribumi. Hal ini terlihat jelas dalam perasaannya terhadap wanita Indo-Perancis bernama Corrie. “Dibandingkan dengan wanita Eropa, gadis-gadis Bumiputra itu seperti anak kecil saja,” begitu pikir Hanafi. Kalimat ini memperlihatkan betapa dalamnya superioritas yang ditanamkan pendidikan kolonial dalam benak Hanafi.
Namun, realitas membuktikan bahwa penerimaan mutlak terhadap budaya asing tanpa memahami akar sendiri justru berujung pada kehancuran. Ketika Hanafi akhirnya menyadari bahwa dunia Corrie bukanlah dunianya, semuanya sudah terlambat. Ia tersingkir dari dua dunia: mendapatkan pahitnya kehidupan dari masyarakatnya sendiri, tetapi juga tidak sepenuhnya menjadi bagian dari budaya Barat.
ADVERTISEMENT
Novel ini tidak hanya mengkritik dampak pendidikan kolonial, tetapi juga menggambarkan konsekuensi dari rendahnya penghargaan terhadap budaya sendiri. Salah satu pesan penting yang bisa kita ambil dari Novel Salah Asuhan adalah bahwa modernisasi seharusnya tidak berarti meninggalkan identitas. Pendidikan dan kemajuan memang penting, tetapi tanpa pemahaman terhadap budaya sendiri, seseorang bisa kehilangan pijakan dan akhirnya jatuh dalam jurang kebingungan identitas, seperti yang dialami Hanafi.
Jika dikaitkan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini, kisah Hanafi masih relevan. Di era globalisasi, banyak anak muda yang merasa lebih bangga dengan budaya asing dibandingkan budaya sendiri. Fenomena ini mirip dengan yang terjadi pada Hanafi yaitu mengagungkan budaya luar tanpa benar-benar memahami siapa diri kita.
ADVERTISEMENT
Novel Salah Asuhan mengingatkan kita bahwa kemajuan tidak harus berarti menjadi seperti dunia Barat. Justru, seseorang akan lebih dihormati ketika mampu berdiri teguh dengan identitasnya sendiri. Seperti pesan yang tersirat dalam novel ini, menjadi modern bukan berarti meninggalkan akar, tetapi justru memperkuatnya.