news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Indonesia Negara Paling Ramah di Dunia, tapi Netizennya?

Aisyah Dina Mahardika
Mahasiswa Sastra Arab UGM
Konten dari Pengguna
15 September 2021 20:04 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aisyah Dina Mahardika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Freepik
ADVERTISEMENT
Seperti yang sudah kita ketahui, Indonesia punya banyak kebudayaan yang patut kita lestarikan, salah satunya tata krama dan sopan santun yang mantaps! Saya sendiri merupakan orang asli Semarang, di lingkungan saya, ketika bertemu dengan orang lain, entah tetangga, teman main, atau bahkan nenek-nenek di pinggir jalan, pasti akan saling menyapa “Monggo…” yang artinya “Silakan…” sambil tersenyum.
ADVERTISEMENT
Tapi belakangan ini, saya perhatikan budaya komunikasi yang baik itu tidak banyak diteruskan di arena maya. Ada saja komentar-komentar atau cuitan buruk yang saya temukan setiap berselancar di medsos, seperti penyerangan, body shaming (mengejek kelemahan fisik orang lain), bullying, kata-kata tidak pantas, kritik-kritik (yang sebenarnya bagus) tapi tidak memperhatikan batas-batas kesopanan, bahkan hingga pelecehan seksual terhadap perempuan maupun laki-laki. Hal ini membuktikan bahwa di dunia maya, budaya kesopanan masyarakat Indonesia masih kurang banget. Ya, masih kurang banget.
Di dunia maya, kesopanan dalam berinteraksi dinilai masih sangat kurang. Sumber: Freepik
Hal ini terbukti, ketika Microsoft meluncurkan riset yang mengukur tingkat kesopanan pengguna internet sepanjang 2020, Indonesia menjadi negara dengan tingkat kesopanan yang paling rendah di Asia Tenggara. Indonesia sendiri menempati urutan ke-29 dari 32 negara. Kaget? Tahan dulu.. Tak lama setelah riset ini dipublish, netizen Indonesia yang tidak terima dengan hasil survei ini berbondong-bondong menyerang akun Instagram Microsoft hingga fitur komentar dinonaktifkan.
ADVERTISEMENT
Salah satu komentar yang menarik menurut saya dari akun Instagram @Tatisekowati1, "Microsoft engga tau kalau Indonesia punya sila ke-3 PERSATUAN INDONESIA. Soal serang menyerang pasti netizen +62 akan bersatu."
Di sini bisa kita lihat respons netizen kesayangan kita setelah menerima kritik. Bukan berusaha berpantas diri, tapi justru menyerang, yang mana semakin membuktikan bahwa hasil survei Microsoft adalah benar. Hadeh.. Niat ingin berbangga diri, tapi malah terlihat bodoh karena tidak mau dan tidak suka dikritik.
Sebenarnya apa sih yang membuat orang-orang ini tidak ragu untuk mengunggah ujaran-ujaran buruk? Nah, setelah saya amati, ada beberapa faktor utama penyebab orang mampu untuk melemparkan ujaran buruk di internet.
Pertama, kurangnya edukasi tentang komunikasi di dunia maya. Interaksi di internet memang terbilang cukup anyar untuk masyarakat Indonesia, di awal tahun 2000-an hanya masyarakat tertentu yang bisa berselancar di internet, tapi sekarang semua orang dapat dengan mudah menjelajahi dunia maya. Apalagi di masa pandemi, semua orang “wajib” bisa internetan. Hal ini tidak salah kok, tapi kita juga perlu diimbangi dengan pengetahuan yang cukup tentang apa itu dunia maya dan bagaimana kita bersosial di dunia maya.
ADVERTISEMENT
Kedua, usia pengguna internet. Oke, kita memang tidak bisa “mengatur” zaman, di zaman kita kecil, internet masih terbilang jarang, namun kini semua balita tumbuh dengan internet di tangan mereka. Meskipun begitu, perlu kita perhatikan juga lho, tak semua konten di internet itu baik apalagi mendidik, banyak juga kejahatan-kejahatan internet yang mungkin saja meracuni anak-anak kita.
Miris, karena setelah saya cek beberapa akun pelontar ujaran buruk, tak jarang saya temui bahwa pemilik akun-akun tersebut ternyata masih anak-anak bawah umur! Tentu saja, ini kartu kuning untuk para orang tua agar bisa menemani anak-anak mereka saat bermain internet.
Yang ketiga, kurangnya kesadaran masyarakat tentang realitas internet. Internet itu seperti dinding semu, ia maya tapi juga nyata, maka tak jarang orang tertipu.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, orang yang menulis sesuatu di Twitter, dia mungkin merasa seperti sedang menulis di buku harian saja, tidak akan ada yang memperhatikan. Padahal, cuitan itu sebenarnya sangat bisa dilihat seluruh pengguna Twitter di seluruh dunia, dan tentunya bisa menimbulkan reaksi yang bermacam-macam pula.
Sama halnya seperti ia sedang berteriak di tengah khalayak umum, pasti akan muncul beragam reaksi, entah kagum, tawaan, marah, tersinggung, bingung, tidak peduli, dan lain sebagainya.
Bukan hal yang buruk sebenarnya, kita bisa dengan mudah memperluas pendapat dan aspirasi kita tanpa batasan ruang, waktu, tenaga, dan hambatan-hambatan yang mungkin saja terjadi.
Tapi tak jarang juga dinding semu tersebut memicu “keberanian” seseorang untuk meneriakkan hal buruk yang sebenarnya tidak berani ia ungkapkan di dunia nyata, anggaplah seperti seseorang yang meneriakkan ujaran buruk di tengah khalayak umum namun ia sendiri tidak sadar sedang dilihat banyak orang. Oleh karena itu, banyak orang yang tertipu dibalik semunya dunia maya, dia pikir akun miliknya adalah kuasanya, ia mampu berkata atau berbuat apa pun, padahal tidak seperti itu.
ADVERTISEMENT
Sadar tidak sadar, menjadi netizen Indonesia, berarti menjadi representasi Indonesia di kancah internasional. Melalui internet, cepatnya akses kita menjangkau negara asing, sama cepatnya dengan akses negara-negara asing menjangkau Indonesia.
Pernah lihat atau mengalami sendiri bertemu orang asing saat bermain game online? Atau mungkin pernah lihat orang bermain aplikasi live streaming kemudian bertemu banyak orang luar negeri? Nah, dari situlah kita bisa menilai dan dinilai. Perilaku netizen Indonesia di internet, pada akhirnya juga sangat menentukan bagaimana orang asing menilai Indonesia.
Jadi bagaimana? Masih yakin ngomong jelek di internet?