Konten dari Pengguna

Review Film Society of the Snow: Antara Hidup dan Mati

Aisyah Fitriani Arief
Seseorang yang kerap menulis apa yang menarik perhatiannya. Saya suka mengeksplor hal-hal baru yang memiliki berbagai nilai mendalam dan memiliki dampak baik kedepannya.
2 Februari 2024 16:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aisyah Fitriani Arief tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Poster Society of the Snow impawards.com
zoom-in-whitePerbesar
Poster Society of the Snow impawards.com
ADVERTISEMENT
Identitas Film
Judul: Society of the Snow
Sutradara: J.A Bayona
ADVERTISEMENT
Produser: J.A Bayona, Belén Atienza, Sandra Hermida
Penulis Naskah: J.A Bayona, Bernat Vilaplana, Jaime Marqués, Nicolás Casariego, Pablo Vierci (diadaptasi dari buku La Sociedad de la Nieve)
Pemeran: Enzo Vogrincic, Agustín Pardella, Matías Recalt, Esteban Bigliardi, Diego Vegezzi, Fernando Contingiani, Esteban Kukuriczka, Rafael Federman
Durasi: 144 menit
Tahun Rilis: 2023
Society of the Snow (La Sociedad de la Nieve) merupakan film biopik yang menceritakan tentang tim rugbi asal Uruguay, Old Christians Club akan melawan tim rugbi asal Inggris, Old Boys Club di Chili pada Oktober 1972. Presiden klub Old Christians Club menyewa pesawat militer Angkatan Udara yang menjadi transportasi dari Montevideo, Uruguay menuju Santiago, Chili dengan nomor penerbangan 571. Akan tetapi, dalam perjalanannya terdapat insiden fatal yang menyebabkan pesawat terjatuh di Pegunungan Andes.
Penumpang pesawat Penerbangan Angkatan Udara Uruguay 571menuju Santiago, Chili (Foto: Netflix)
Pesawat tersebut berisi 45 orang termasuk tim rugbi beserta dengan keluarganya dan kru pesawat. Dari 45 orang, hanya 33 orang yang selamat sementara sisanya terpental dan tidak selamat ketika pesawat menyetuh permukaan darat dengan keras. Kondisi Pegunungan Andes kala itu dipenuhi dengan salju dan hawa yang sangat dingin. Para penumpang yang selamat banyak yang trauma dan tidak dapat menghadapi situasi seperti ini.
ADVERTISEMENT
Para penyintas berupaya melakukan berbagai cara untuk menyelamatkan diri, mulai dari: menyusun barang-barang dengan membutuk kata “SOS” (tolong) hingga menanjaki pegunungan yang tertutupi salju. Ketika semua usaha telah dilakukan dan belum menemukan jalan keluar, para penyintas berupaya untuk bertahan hidup dengan persediaan yang serba terbatas. Hari demi hari mereka lalui dengan persediaan makanan, perlengkapan medis, baju untuk menghangatkan diri di tengah udara ekstrem yang semakin menipis membuat kondisi fisik tidak mumpuni.
Mereka membagi persediaan secara merata dengan memperkirakan kebutuhan masing-masing individu. Seiring berjalannya cerita, rintangan demi rintangan hadir dan ditaklukan meski kehilangan lebih banyak. Bahkan terdapat situasi dimana mayat-mayat yang tersebar dimana-mana ditempatkan di satu titik dan para penyintas memakan bagian tubuh tersebut saking persediaan makanan yang habis. Ketika situasi tersebut hadir, banyak pergolakan dan gejolak timbul baik dari diri sendiri dan antara penyintas lain yang menimbulkan perselisihan. Namun apa daya, agar selamat dari kondisi alam yang ekstrem, diperlukan suatu tindakan agar selamat dari keadaan tersebut.
Kondisi penyintas setelah berhari-hari di Pegunungan Andes (Foto: Netflix)
Selama 72 hari berada di Pegunungan Andes yang kondisi alamnya tidak ramah dengan manusia, hanya 16 orang yang selamat meski dengan kondisi yang memprihatinkan. Mereka selamat karena dua dari penyintas mengajukan diri dengan menyebrangi gunung hingga ke permukiman masyarakat setempat dan meminta pertolongan.
ADVERTISEMENT
Film ini diangkat dari novel nonfiksi dengan judul yang sama karya Pablo Vierci. Pablo merupakan penulis dan jurnalis yang berteman dekat dengan para penyintas kecelakaan pesawat. Dalam novelnya, ia mewawancarai dan mengumpulkan berbagai pernyataan yang telah diperoleh, fakta-fakta terkait kecelakaan, kehidupan sehari-hari narasumber sebelum hingga kembalinya mereka ke keluarganya masing-masing yang dipenuhi tangis bahagia karena bisa berkumpul kembali dengan orang yang mereka sayangi.
Pada film ini terdapat banyak karakter yang diperkenalkan penonton. Gaya film ini menggunakan narator untuk menceritakan runtutan kisah dari awal hingga berakhirnya film. Salah satu karakter bernama Numa Turcatti (Enzo Vorgincic) menjadi narator sekaligus pemeran utama dalam film ini. Ia kerap kali disorot dan muncul hampir setengah film berlangsung. Narasi dan berbagai kalimat yang diucapkan oleh Numa membuat penonton ikut merasakan pengalaman yang dihadapi oleh para penyintas. Penggunaan bahasa yang indah namun nahas yang dipenuhi kesedihan yang penyampaiannya serasa ada harapan untuk bisa kembali. Selain narasi yang disampaikan, dialog antar tokoh juga tidak terkesan kaku dan mengalir layaknya bercakap dengan teman.
ADVERTISEMENT
J. A Bayona memiliki peran krusial terhadap film. Pasalnya, ia menyutradarai, meproduksi, hingga menulis film ini dengan baik. Film yang mengangkat tema yang berat dan sensitif dibuat sedemikian rupa tanpa menyorot lensa iba setiap saat. Film ini justru memperlihatkan semangat, kegigihan, dan upaya keras para karakter untuk bisa bertahan di tengah situasi yang sangat tidak biasa bahkan antara hidup dan mati. Selain itu, pengambilan latar dan cahaya pada film ini menyuguhkan sesuatu yang riil dan hidup meski mengambil latar di tahun 1970an.
Tim makeup pada film serta desain kostum perlu dipuji. Berkat kedua hal tersebut, penonton bisa membayangkan apa yang terjadi oleh para karakter dengan melihat visual dan fisik karakter. Penerapan secara detail dan tepat dengan makeup dan desain kostum yang cemerlang oleh kru yang bertanggung jawab. Rambut gimbal, baju compang-camping, muka yang kotor efek dari berhari-hari tidak membersihakn diri menjadi beberapa contoh dari sekian banyak makeup dan desain konstum yang ditampilkan pada film ini. Bahkan sebelum pada adegan kecelakaan dan bertahan diri, kostum yang digunakan sangat autentik dan menangkap esensi di kala 1970an.
Para penyintas berjemur di bawah sinar matahari (Foto: Netflix)
Akting para aktor sangat ciamik dan apresiasi yang besar untuk mereka karena telah menyampaikan dialog dengan baik. Emosi yang dikeluarkan dan diperlihatkan diterima sangat baik oleh penonton. Penonton memahami secara baik apa yang telah dialami selama ini oleh para karakter dan merasakan kondisi emosional yang sama. Ketika dihadapi situasi genting, misal, terdapat salah satu adegan yaitu salju yang tetiba menimpa para penyintas di dalam pesawat dan mereka yang tertimpa berupaya untuk keluar dari tumpukan salju yang tebal. Meski dialog pada adegan tersebut dikit, namun situasi dan bahasa tubuh yang ditampilkan sangat riil dan membuat penonton tegang ikut bergeming. Yang membuat mengejutkan adalah para aktor yang terlibat dalam film ini merupakan pendatang baru yang sering dianggap belum memiliki cakupan emosi yang luas. Namun, mereka mendobrak hal tersebut menjadi sesuatu yang apik dan memperlihatkan kualitas akting yang memukau.
Salah satu penyintas duduk diatas barang-barang (Foto: Netflix)
Film ini memiliki penampilan cameo yang diperankan oleh penyintas tragedi Penerbangan Angkatan Udara Uruguay 571. Terdapat sembilan cameo diantaranya: Fernando Parrado (orang yang membukakan pintu kepada aktor yang memerankannya di Bandara Carrasco), Roberto Canessa (dokter yang pertama kali menerima para penyintas saat tiba di rumah sakit), Carlitos Paez (memerankan ayah dari karakter berdasarkan dirinya dan menyampaikan nama-nama korban yang selamat) , Daniel Fernandez Strauch (sebagai salah satu jamaah di gereja) , Jose Luis "Coche" Inciarte (pelanggan yang sedang membaca koran di kafe), Antonio "Tintín" Vizintín (menjadi pemeran ekstra di Bandara Carrasco), Ramón "Moncho" Sabella (menjadi pemeran ekstra di Bandara Carrasco), Gustavo Zerbino (pelatih tim rugbi), dan Joaquin de Freitas Turcatti (tetangga Numa Turcatti).
ADVERTISEMENT
Film diakhiri dengan momen-momen yang membawa penonton bergetar dan menangis bahagia. Momen ketika upaya terakhir dilakukan dengan menyebrangi gunung selama sepuluh hari dengan perbekalan terbatas untuk meminta pertolongan; momen penyelamatan para penyintas yang kondisinya jauh dari kata sehat; momen penyembuhan diri saat tiba di rumah sakit; hingga momen berkumpul dengan keluarga yang setia berada disampingnya. Pada akhir kredit film, ditampilkan foto-foto asli sebelum hingga setelah kejadian berlangsung yang diambil dari berbagai sumber, mulai dari kamera pribadi salah satu penyintas hingga foto dari media lokal yang diambil dari helikopter.
Para penyintas bergaya di dekat reruntuhan pesawat (Foto: Netflix)
Society of the Snow menyabet berbagai penghargaan yang telah memenangkan Best Visual Effects dan Best Makeup and Hairstyling pada 36th European Film Award. Selain itu, masuk pada nominasi pada kategori Best Film Not in the English Language pada 77th British Academy Film Awards (BAFTA); nominasi Foreign Language Film dan Composer pada 29th Critics' Choice Awards; dan nominasi Best International Feature Film dan Best Makeup and Hairstyling pada 96th Academy Awards.
ADVERTISEMENT
Film ini memberikan pandangan baru pada penonton bahwa harus tetap bersatu dalam kondisi diatas dan dibawah. Kerja sama dan komunikasi menjadi hal yang krusial dalam membuat sebuah keputusan. Memastikan semua pihak dilibatkan dan tidak ada yang tertinggal (no one left behind) menjadi esensi film yang mengikatkan individu yang berbeda pada situasi yang sama. Terakhir, keluarga tidak hanya berasal dari darah, akan tetapi bisa hadir karena telah melalui berbagai rintangan yang sama. Film ini sangat direkomendasikan bagi yang mencari cerita drama dan ketegangan dengan alur yang mudah dipahami.
Society of the Snow dapat ditonton di Netflix.