Konten dari Pengguna

Islam dan Feminisme: Benarkah Bertentangan?

Aisyah Rizqiyah Syihab
Dosen di Fakultas Psikologi Universitas pancasila
12 Maret 2021 11:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aisyah Rizqiyah Syihab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seorang perempuan membentangkan poster saat melakukan aksi unjuk rasa memperingati Hari Perempuan Internasional di Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta, Senin (8/3/2021). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Seorang perempuan membentangkan poster saat melakukan aksi unjuk rasa memperingati Hari Perempuan Internasional di Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta, Senin (8/3/2021). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Membaca judul ini akan membuat banyak orang berpikir bahwa kedua hal tersebut bertentangan. Sudah sejak lama individu berpikir bahwa agama (apa pun agamanya) bertentangan dengan paham apa pun, termasuk feminisme. Bahkan beberapa orang juga menganggap Islam merupakan agama yang tidak simpatik dengan perempuan, misalnya dengan peraturan berpakaian yang bisa jadi dianggap tidak membebaskan perempuan untuk berekspresi, peraturan pembagian waris yang dianggap tidak adil untuk perbedaan gender, atau tidak diizinkannya perempuan menjadi pemimpin.
ADVERTISEMENT
Bukan sekedar anggapan terhadap hal-hal tersebut, banyak juga pemeluk Islam yang berjenis kelamin laki-laki merasa memiliki kekuatan dan kekuasaan penuh terhadap perempuan dan menyalahgunakan kekuasaan tersebut. Namun benarkah Islam bertentangan dengan feminisme? Bukankah banyak pandangan bahwa Islam cenderung patriarki dan bertentangan dengan feminisme?
Siti Hawa terbuat dari tulang rusuk Nabi Adam AS, ini merupakan salah satu yang bisa mencetuskan bahwa derajat perempuan lebih rendah dibanding derajat laki-laki di mata pemeluk Islam maupun orang lain di luar Islam, karena menganggap bahwa penciptaan Hawa hanyalah berasal dari Adam  perempuan berasal dari laki-laki. Apakah pernah berpikir kebalikannya? Bahwa laki-laki juga bisa berasal dari perempuan, padahal sudah jelas pada penciptaan Nabi Isa AS, beliau dilahirkan tanpa ayah, hanya dari rahim Maryam.
ADVERTISEMENT
Dalam pandangan Islam, kedua penciptaan tersebut merupakan bukti kekuasaan Allah SWT, di mana Beliau bisa menciptakan apapun tanpa perlu syarat. Jadi tidak bisa dianggap dengan peristiwa-peristiwa itu, salah satu gender lebih baik dari gender lain.
Ayat yang sering disalahgunakan laki-laki dan disalahartikan banyak orang adalah An-Nisa’ ayat 3:
Banyak yang memaknai bahwa ayat ini mengizinkan poligami dalam Islam, memang berdasarkan ayat ini, laki-laki diizinkan memiliki lebih dari satu istri. Akan tetapi terpikirkankah bahwa ayat ini bisa jadi untuk membatasi jumlah perempuan yang boleh dinikahi? Sebelum Islam hadir, praktik poligami sudah dilakukan oleh berbagai bangsa, seperti bangsa Arab, Yunani, Cina, India, Mesir, kaum Yahudi, dan Nasrani. Pada zaman itu, tidak ada batasan jumlah perempuan yang boleh dinikahi (Rahmi, 2015). Dalam suatu Riwayat, dikisahkan Nabi Daud memiliki 100 istri (Mansur, 2005).
ADVERTISEMENT
Sedangkan putranya yaitu Nabi Sulaiman memiliki 700 istri yang merdeka dan 300 budak. (Subhan, 2008). Para kaisar pada dinasti Han (206 SM – 220 M) umummnya memiliki istri dan selir yang mencapai jumlah ribuan. Penguasa Aztec (sekarang menjadi salah satu bagian dari Meksiko) yang bernama Montezuma II diceritakan memiliki sekitar 4000 selir (Dewi, 2017). Begitu juga para lelaki pada masa Arab Jahiliyah, memiliki belasan bahkan puluhan istri.
Tidakkah orang-orang yang membaca ayat tersebut menyimak dengan baik, jika terdapat kalimat, “jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka nikahilah seorang saja”? Rasulullah SAW saja cukup mengalami kesulitan untuk berlaku adil, beliau memiliki kecintaan yang berlebih kepada Aisyah RA dibanding istri-istri lainnya.
ADVERTISEMENT
Kebanyakan laki-laki yang berpoligami beralasan mereka melakukan itu untuk menilai meneladani sikap Rasulullah SAW yang melakukan poligami. Apakah mereka lupa bahwa Rasulullah SAW pernah melakukan monogami selama dua puluh lima tahun dengan Khadijah RA? Mengapa bukan perilaku monogaminya yang diteladani?
Menurut Quraisy Shihab (2000), An-Nisa ayat 3 merupakan isyarat bahwa poligami diperbolehkan jika ada kondisi tertentu yang mengharuskan itu terjadi dan pelakunya memang sangat membutuhkan hal tersebut, namun syaratnya tidak ringan (mampu berlaku adil kepada semua istrinya). Ia mengibaratkan poligami sebagai pintu darurat di pesawat terbang yang hanya boleh dibuka pada kondisi tertentu dengan persyaratan tertentu.
Rasulullah SAW pun pernah melarang poligami. Beliau melarang menantunya (Ali bin Abi Thalib) melakukan poligami terhadap Fathimah Azzahra RA (putri Rasulullah SAW). Diriwayatkan dari Shahihain (Kumpulan Hadist Shahih Bukhori-Muslim), dari Miswar bin Makhramah, bahwa Nabi SAW berkhutbah di atas mimbar:
ADVERTISEMENT
(Yusufpati, 2020).
Selain poligami, kisah Ummu Mutiah yang sangat patuh terhadap suaminya sehinnga ia dijamin masuk surga pertama kali beserta para ummul mukminin juga cukup banyak dijadikan dalih untuk para laki-laki agar para istri mematuhi mereka (VEM / MIM, 2016). Bahkan cambuk yang disediakan Ummu Mutiah untuk suaminya memukulinya jika sang suami kurang berkenan terhadap dirinya bisa dijadikan alasan bagi laki-laki untuk berbuat kasar pada istri.
Dalam ajaran Islam memang perempuan harus mematuhi suaminya, namun bukan untuk mematuhi semua hal, jika suami berbuat yang tidak baik atau melanggar agama atau menyakiti perasaaannya, tidak ada kewajiban perempuan untuk mematuhi suami seperti itu bahkan diperbolehkan untuk mengajukan cerai. Dalam kisah Mutiah pun, walau disediakan cambuk, sang suami tidak pernah memukul istrinya, karena suami istri ini saling mencintai, jadi kepatuhan sang istri juga berdasarkan cinta kepada suaminya.
ADVERTISEMENT
Pada masa jahiliyah, perempuan nasibnya begitu kelam, bukan hanya sekedar dipoligami, namun juga diperlakukan semena-mena, seperti begitu lahir dikubur hidup-hidup oleh ayahnya sendiri yang tidak menginginkan anak perempuan; dicerai dan dikawini berkali-kali, sampai akhirnya turun ayat Qur’an (QS. Al-Baqoroh ayat 229).
Yang membatasi hanya boleh menjatuhkan talak sampai 2 kali, jika suami ingin kembali ke istrinya setelah jatuh talak ketiga, istrinya harus menikah dengan orang lain terlebih dahulu. Bahkan menyetubuhi seorang perempuan beramai-ramai. Jika perempuan itu hamil, maka dilakukan pengundian untuk mengetahui siapa ayah dari anak yang dikandung tersebut (Anam, 2020).
Pada masa Yunani kuno, harkat dan martabat perempuan teramat sangat rendah. Banyak filsuf Yunani yang mengeluarkan pendapat yang menghina perempuan. Misalnya, Aristoteles beranggapan bahwa perempuan sama dengan budak; Demothenes memandang perempuan hanyalah alat untuk melahirkan keturunan dan melayani laki-laki; sementara Plato berpendapat bahwa laki-laki terhormat karena kemampuannya untuk memerintah, sedangkan kehormatan perempuan terletak pada kemampuannya untuk melakukan pekerjaan sederhana tanpa bicara.
ADVERTISEMENT
Para agamawan di Prancis pada tahun 586 M pun masih mendiskusikan “Apakah perempuan layak menyembah Tuhan?”, yang disimpulkan bahwa perempuan memiliki jiwa namun tidak kekal (tidak bisa mencapai surga) dan hanya bertugas melayani laki-laki (DIA/SYA, 2009). Islam datang untuk menghapus perilaku-perilaku buruk yang sangat merugikan perempuan.
Sayangnya, masih banyak yang kurang memahami peranan Islam tersebut, bahkan seorang penceramah Islam sekalipun. Seorang penceramah pernah menyatakan di akun media sosialnya pada tahun 2013 mempertanyakan kelayakan seorang seorang Muslimah (perempuan muslim) yang bekerja (Handayani, 2016). Apakah penceramah ini tidak mempelajari sejarah Islam? Khadijah RA, istri pertama Rasulullah SAW merupakan saudagar yang sangat sukses, beliau juga merupakan orang yang sangat berpengaruh untuk membantu dakwah Rasulullah SAW. Ayat-ayat Quran pun tidak ada yang melarang perempuan untuk bekerja atau mencari nafkah.
ADVERTISEMENT
Perempuan bekerja bukan sekedar untuk mencari nafkah, Aisyah RA (istri ketiga Rasulullah SAW) mengajar banyak muslim dan Muslimah bukan untuk mencari nafkah tapi untuk menyebarkan ilmu yang ia miliki, khususnya dari Rasulullah SAW. Aisyah merupakan perawi hadist terbanyak dari kalangan perempuan, beliau meriwayatkan sekitar 2200 hadist (Hasanah, 2017). Jika perempuan dilarang belajar atau sekolah tinggi, maka orang yang melarang tersebut lupa akan Aisyah RA, seorang perempuan paling cerdas di masanya yang dinikahi Rasulullah SAW juga untuk alasan menyebarkan ilmu kepada umatnya selepas beliau wafat.
Aisyah bahkan pernah memimpin perang, yaitu perang Jamal, walau perang ini merupakan salah satu hal yang disesalinya karena membuat banyak orang berpikir ia bermusuhan dengan Ali bin Abi Thalib RA. Terlepas dari penyesalan itu, Aisyah merupakan salah seorang pemimpin perempuan yang dihormati. Aisyah dijadikan semacam pimpinan oleh para istri Rasulullah SAW.
ADVERTISEMENT
Ali bin Abi Thalib RA pun menghormatinya, mereka segera berdamai dan berpidato kepada umat untuk menyatakan perdamaian dan saling menghormati. Ali RA juga mengirimkan Muhammad bin Abu Bakar (saudara laki-laki Aisyah) untuk mengantar Aisyah pulang ke rumahnya setelah perang Jamal (Ichsan, 2020).
Hal lain yang dianggap membedakan kedudukan antara perempuan dan laki-laki dalam Islam adalah hak waris. Hak waris perempuan memang secara umum lebih sedikit sekitar setengah porsi dibanding hak waris laki-laki, misalnya hak waris ibujika anaknya wafat adalah seperenam, sementara hak waris ayahnya adalah sepertiga. Hak waris seorang anak perempuan adalah seperdua bagian dari hak waris saudara laki-lakinya. Hal itu dikarenakan perempuan mendapatkan harta juga dari para laki-lakinya (tidak diwajibkan mencari nafkah sendiri, sementara laki-laki memiliki harta untuk dirinya dan keluarganya).
ADVERTISEMENT
Namun banyak juga dilupakan bahwa dalam Islam, jika seorang anak perempuan tidak memiliki saudara lain maka ia berhak memperoleh hak waris setengah dari peninggalan ayahnya, hal yang sama tidak berlaku bagi anak laki-laki. Begitu juga saudara perempuan seorang diri yang ditinggal wafat oleh saudaranya, jika ia benar-benar seorang diri, maka ia berhak atas setengah dari harta warisan tersebut. Hal ini tidak berlaku bagi saudara laki-laki seorang diri yang ditinggal wafat saudaranya. Pemberian setengah harta warisan kepada individu tertentu ini disebut Ashabul Furudi, dari golongan laki-laki yang berhak mendapatkan hak itu adalah suami tanpa anak (El-Fikri, 2018). Berdasarkan hal tersebut, Islam cukup adil untuk menentukan pembagian warisan.
Setelah membahas mengenai bagaimana Islam memandang dan memperlakukan perempuan, bagaimanakah dengan feminisme itu sendiri? Apakah feminisme itu? Benarkah bertentangan dengan Islam? Feminisme merupakan paham dan gerakan perjuangan untuk menyetarakan perempuan dengan laki-laki di berbagai bidang, seperti pendidikan, ekonomi, budaya, politik, ruang pribadi dan ruang publik (Novaya, 2019). Orang-orang yang memiliki paham feminisme berupaya agar perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki di berbagai bidang.
ADVERTISEMENT
Feminisme timbul sebagai protes ketidaksetaraan gender di berbagai belahan dunia. Berdasarkan sejarahnya, feminisme muncul pertama kali di New York, Amerika Serikat pada tahun 1848, yang dipimpin oleh Elizabeth Cady Stanton dan Susan B Anthony. Mereka mengorganisir gerakan untuk penghapusan budak dan hak perempuan untuk memilih (Melati, 2019). Sejauh ini perempuan di seluruh dunia masih memperjuangkan haknya agar dinilai sejajar dengan laki-laki, tidak diperlakukan semena-mena dan dilecehkan.
Sebagai contoh sederhana, sampai saat ini di berbagai negara di belahan dunia bagian barat (Amerika dan Eropa) masih banyak perempuan yang harus berganti nama belakang menjadi nama suami setelah menikah. Hanya perempuan yang dianggap feminis atau memiliki kekuasaan tertentu (misalnya sudah lebih dulu tenar sebelum menikah atau memiliki derajat keluarga lebih tinggi dari suaminya) yang tetap mempertahankan nama lahirnya (nama belakang yang berasal dari ayahnya).
ADVERTISEMENT
Apakah itu terjadi di masyarakat Islam? Semua Muslimah bahkan tidak diperkenankan untuk mengganti nama belakang atau nama keluarga yang berasal dari nama ayah atau keluarga ayahnya setelah menikah, karena ini adalah nama yang menunjukkan jati diri perempuan itu sejak lahir. Berdasarkan pengertian feminisme dan semua penjelasan di atas, dapat kita simpulkan sendiri bagaimana hubungan Islam dengan feminisme, yaitu bukanlah sesuatu yang saling bertentangan.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Diani (2019), feminisme dan ajaran Islam dapat saling selaras, walau banyak yang menyatakan kedua hal tersebut saling bertentangan.
Artikel ini penulis sajikan untuk memperingati Hari Perempuan Sedunia yang jatuh pada tanggal 8 Maret 2021 (International Women’s Day 2021). For all women, Happy International Women’s Day! Semangat untuk tetap memperjuangkan kebahagiaan kalian!
ADVERTISEMENT
Oleh: Aisyah Rizqiyah Syihab, M.Si
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Pancasila
Referensi:
Anam, M. M. (2020). Mengundi nasib kebiasaan zaman jahiliyah. An-Nur. Diunduh dari: https://annur2.net/mengundi-nasib-kebiasaan-zaman-jahiliyah/
Dewi, C. (2017). Kisah 20.000 selir dan 100 ribu kasim di harem kaisar Tiongkok. Liputan 6. Diunduh dari: https://www.liputan6.com/global/read/2900922/kisah-20000-selir-dan-100-ribu-kasim-di-harem-kaisar-tiongkok
DIA / SYA. (2009, 9 Juli). Masa kelam nasib perempuan pra-Islam. Republika. Diunduh dari: https://republika.co.id/berita/61229/masa-kelam-nasib-perempuan-praislam
Diani, H. (2019, 9 Juli). Apakah feminisme bisa selaras dengan ajaran Islam? Magdalene. Diunduh dari: https://magdalene.co/story/apakah-feminisme-bisa-selaras-dengan-ajaran-islam
El-Fikri, S. (2018, 12 April). Ahli waris pokok menurut Islam. Republika. Diunduh dari: https://republika.co.id/berita/p7232o313/ahli-waris-pokok-menurut-islam
Handayani, M. R. (2016). Respons masyarakat terhadap tweet ustadz Felix Siauw: ”Layakkah wanita bekerja mendapat sebutan sebagai ibu?”. Sawwa, 11 (2): 147-176.
ADVERTISEMENT
Hasanah, A.N. (2017, 15 November). Aisyah RA, Sahabat perempuan yang paling banyak meriwayatkan hadis. Bincang Syariah. Diunduh dari: https://bincangsyariah.com/nisa/aisyah-ra-sahabat-perempuan-yang-paling-banyak-meriwayatkan-hadis/
Ichsan, A. S. (2020, 4 Oktober). Tangisan Aisyah untuk Ali bin Abi Talib. Republika. Diunduh dari: https://republika.co.id/berita/mpfbal/tangisan-aisyah-untuk-ali-bin-abi-talib
Mansur, S. (2006). Poligami dalam agama Samawi. Al-Qalam, 23 (1): 57-76.
Melati, N. K. (2019). Apa yang perlu diketahui tentang dasar feminisme? Bakti News. Diunduh dari: https://baktinews.bakti.or.id/artikel/apa-yang-perlu-diketahui-tentang-dasar-dasar-feminisme
Novaya. (2019, 9 April). 7 Kesalahpahaman soal feminisme yang sering orang-orang pikirkan. IDN Times. Diunduh dari: https://www.idntimes.com/life/women/tita/7-kesalahpahaman-soal-feminisme-yang-sering-orang-orang-pikirkan
Rahmi. (2018). Poligami: Penafsiran surat An Nisa’ ayat 3. Jurnal Ilmiah Kajian Gender, 5 (1): 115-128.
Shihab, Q. (2000). Tafsir al Mishbah. Jilid 2. Jakarta: Lentera Hati.
Subhan, Z. (2008). Menggagas Fiqh pemberdayaan perempuan. Jakarta: El Kahfi.
ADVERTISEMENT
VEM / MIM. (2016, 7 Juni). Kisah Ummu Mutiah wanita pertama yang menghuni surga. Fimela. Diunduh dari: https://www.fimela.com/lifestyle-relationship/read/3760335/kisah-ummu-mutiah-wanita-pertama-yang-menghuni-surga