Konten dari Pengguna

Perspektif Islam Antara Feminisme & Patriarki

Aisyah Haniyyah
Seorang pelajar tingkat akhir di SMAIT Darul Quran, memiliki orientasi minat pada isu aktual, dan aktif berprofesi sebagai seorang penulis.
6 Agustus 2024 12:08 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aisyah Haniyyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Canva
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Canva
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Feminisme pertama kali diusung oleh Elizabeth Cady Stanton dan Susan B. Anthony sebagai gerakan sosial yang mengangkat isu hak-hak perempuan dan kesetaraan. Orientasi feminisme terletak pada kebebasan dan ketidakterikatan perempuan dalam menentukan peran dan kontribusi sosial terlepas dari kodrat yang dimilikinya. Praktik feminisme dilakukan untuk menyuarakan keinginan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam konteks apa pun, dalam artian laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kesempatan yang sama dan setara dalam berperan dan berkontribusi penuh dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kehidupan patriarkal menekan dan menuntut perempuan untuk memenuhi apa yang disebut masyarakat sebagai kodrat, merujuk pada pemenuhan ekspektasi masyarakat terhadap “apa yang seharusnya menjadi atau dilakukan oleh perempuan”. Sehingga menjadikan perempuan tumbuh sebagai “apa yang dituntut oleh masyarakat” dalam stigma dan kodrat, bukan sebagai perempuan yang mereka inginkan. Perempuan tidak memiliki ruang untuk memahami diri atau mengenali apa yang menjadi keinginan mereka. Bahkan, perempuan tidak diberikan izin untuk menelisik diri mereka sendiri akibat keterbatasan ruang yang diberikan oleh lingkungan dan masyarakat.
Kata feminisme berasal dari menyedihkannya anggapan tentang perempuan di Abad Pertengahan. Feminisme berasal dari kata fe dan mina, yang mana fe berarti “kurang” dan mina berarti “iman”. Dapat disimpulkan bahwa anggapan masyarakat di Abad Pertengahan adalah perempuan merupakan makhluk yang lemah dalam imannya (one with less faith). Anggapan menyedihkan tentang perempuan bermula pada Abad Pertengahan, salah satunya dengan menjadikan perempuan sebagai representasi “penggoda” bagi Adam untuk memakan buah terlarang di Surga oleh Tuhan. Representasi lain juga diberikan kepada perempuan karena anggapan masyarakat sebagai makhluk yang lemah dalam imannya. Perempuan direpresentasikan sebagai “penggoda” untuk laki-laki sehingga membawa laki-laki pada dosa-dosa, representasi ini adalah bentuk lain dari kisah Adam yang tergoda untuk memakan buah terlarang oleh Tuhan.
ADVERTISEMENT
Pemikiran patriarkal beberapa filsuf dalam mendeskripsikan perempuan dinilai sangat menyedihkan pada masanya. Salah satunya yang sangat ekstrim adalah pemikiran Aristoteles bahwa perempuan adalah makhluk yang tidak sempurna. Menurutnya, laki-laki dinilai sebagai makhluk sempurna yang diciptakan untuk menjalani kehidupan di ranah privat maupun kontribusinya di ranah publik. Berbeda dengan perempuan, perempuan sebagai makhluk tidak sempurna yang memiliki banyak kecacatan. Aristoteles beranggapan bahwa perempuan sebagai makhluk yang tidak sempurna, tidak seperti laki-laki. “A female is an incomplete male or ‘as it were, a deformity’”, begitulah yang digagaskan oleh Aristoteles tentang anggapannya terhadap perempuan sebagai “laki-laki yang cacat”. Feodalisme pada Abad Pertengahan juga menempatkan perempuan pada tingkatan yang rendah, dapat disimpulkan bahwa stigma tentang perempuan sudah menjadi warisan mutlak hingga sekarang ini.
ADVERTISEMENT
Gerakan feminisme dipicu oleh kesadaran moral perempuan atas subordinasi oleh laki-laki. Sehingga orientasi feminisme untuk mengakhiri penindasan atau marjinalisasi terhadap perempuan. Terlepas dari pemikiran, gagasan, atau pun praktik feminisme yang digencarkan oleh kaum feminis dalam menyuarakan hak-hak perempuan terhadap kesetaraan dalam bentuk apa pun, apakah feminisme merupakan praktik yang tepat di Indonesia sebagai negara beragama? atau malah memicu munculnya paham liberalisme?
Secara sekilas, orientasi feminisme mengarah pada kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan sehingga perempuan dapat memperoleh hak dan kebebasan sebagai seorang perempuan. Indonesia bukan merupakan negara yang menganut paham sekularisme, sehingga paham feminisme menjadi sebuah gagasan pro dan kontra terhadap praktiknya dalam masyarakat. Lalu, bagaimanakah feminisme dalam perspektif Islam?
ADVERTISEMENT
Dalam perspektif Islam, kedudukan laki-laki dan perempuan dalam konteks peran dan kontribusinya adalah setara, tidak didominasi oleh salah satunya yang secara khusus tercantum dalam surat Al-Hujurat ayat 13. Bahkan, Islam memandang perempuan penuh dengan keistimewaan dan kehormatan. Secara khusus, Allah Swt. menurunkan surat An-Nur ayat 31 dan Al-Ahzab ayat 59 supaya perempuan dapat menjaga pandangan, kemaluan, kehormatan, serta perhiasannya (secara tersirat berarti aurat, karena perempuan adalah perhiasan) agar mereka tidak diganggu.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Islam sangat menghormati dan menjaga perempuan dari gangguan dan hinaan. Bentuk praktiknya adalah kasus-kasus pelecehan dan pemerkosaan seksual yang umum terjadi pada masyarakat yang menjadikan perempuan sebagai objek dari praktik asusila tersebut. Dalam menanggapi isu tersebut, terdapat pro dan kontra dalam menanggapi “apa yang menjadi alasan utama terjadinya tindakan asusila tersebut?”. Alasan bahwa perempuan menjadi “pengundang” bagi pelaku melakukan praktik tersebut dominan disuarakan oleh kaum patriarkis. Feminisme dengan orientasinya atas hak asasi dan kebebasan perempuan menyuarakan bahwa pakaian dan perilaku perempuan adalah hak dan pilihan perempuan atas kebebasan berekspresi.
ADVERTISEMENT
Pakaian dan perilaku yang dinilai “mengundang” tentu bukan menjadi alasan bahwa perempuan dapat atau layak untuk mendapatkan perlakuan tidak pantas. Tidak ada kata pembenaran atas tindakan asusila seperti pelecehan dan pemerkosaan seksual, pakaian dan perilaku perempuan adalah hak perempuan atas kebebasan yang mereka pilih. Pro dan kontra terkait isu tersebut terus diperdebatkan oleh kaum patriarkis dan kaum feminis. Islam sejak dahulu telah memberikan prevensi dengan diturunkannya surat An-Nur ayat 31 dan Al-Ahzab ayat 59 dengan memerintahkan perempuan untuk menjaga kehormatannya sehingga dapat menjadi upaya minimalisir atau prevensi atas gangguan (yang mengacu pada pelecehan, pemerkosaan, atau tindakan asusila lainnya).
Di sisi lain, untuk mempertahankan esensi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, dalam surat An-Nur ayat 30, secara bergantian Allah Swt. memerintahkan laki-laki untuk menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya. Menjadi bukti kuat bahwa Al-Qur’an memandang laki-laki dan perempuan setara dalam konteks apa pun, dalam upaya untuk menjaga kehormatan keduanya. Al-Qur’an menjadi penengah argumen antara kaum patriarkis dan kaum feminis dalam permasalahan perspektif laki-laki dan perempuan.
ADVERTISEMENT
Tanpa adanya praktik feminisme, Islam telah lebih dahulu menciptakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam ranah privat atau pun ranah publik. Feminisme memang mengusung kesetaraan untuk kesejahteraan perempuan, tetapi terdapat celah-celah yang secara detail tidak terlihat oleh masyarakat tentang liberalisasi yang justru sangat bertentangan dengan syariat Islam.
Islam telah menempatkan laki-laki dan perempuan pada kedudukan yang mulia dan setara sehingga tidak terdapat lagi kesenjangan atau pun ketidaksetaraan. Perempuan memiliki keistimewaan dan kehormatan sebagaimana Islam turut menjaganya. Sama halnya dengan laki-laki, Islam menempatkan laki-laki untuk melindungi dan menjaga kehormatan perempuan. Secara kodrati, laki-laki dan perempuan memiliki keniscayaan pada perannya masing-masing, dalam konteks kepemimpinan, peran dan keterlibatannya dalam rumah tangga, pembagian harta waris, sehingga menjadikan laki-laki dan perempuan tetap dalam kodratnya. Kesetaraan yang diusung baik kaum patriarkis maupun kaum feminis tidak selalu memiliki arti dalam kesamaaan persis dalam perolehan hak antara laki-laki dan perempuan, tetapi merujuk pada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam hak untuk saling memenuhi keseimbangan peran keduanya, baik dalam ranah privat maupun ranah publik.
ADVERTISEMENT