news-card-video
15 Ramadhan 1446 HSabtu, 15 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Mengambil Makna Sebuah Perjalanan

Aisyah Banowati
Mahasiswi di Politeknik Negeri Jakarta.
10 Juli 2021 14:41 WIB
·
waktu baca 2 menit
clock
Diperbarui 13 Agustus 2021 14:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aisyah Banowati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jalan menuju Desa Cisadon setelah turun hujan. Sumber Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Jalan menuju Desa Cisadon setelah turun hujan. Sumber Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Untuk mengisi waktu liburan aku mendaftarkan diri sebagai panitia pada acara pengabdian masyarakat. Pengabdian akan dilaksanakan di Desa Cisadon, Kecamatan Babakan Madang, Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang mahasiswa tentu aku senang jika bisa menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang ketiga yaitu pengabdian kepada masyarakat.
Selama pengabdian kami akan tinggal di desa, sehingga aku merasa sangat antusias. Menjelang waktu keberangkatan aku merasa begitu gugup sehingga sulit tidur.
Karena masa pengabdian yang cukup lama, bawaan yang harus ku bawa pun cukup banyak. Aku menggendong sebuah tas carrier yang penuh sesak sehingga tidak dapat ditaruh barang lagi.
Kami sampai di titik awal perjalanan pada pagi menjelang siang. Mendung memayungi kami, bersama angin yang berhembus pelan. Untuk mencapai desa, kami harus berjalan kaki sambil menggendong tas carrier masing-masing. Kami dibagi menjadi beberapa kelompok, agar mudah menjaga satu sama lain selama perjalanan.
ADVERTISEMENT
Perjalanan kami diawali dengan doa yang diiringi oleh gerimis. Gerimis digantikan hujan lalu berganti kabut yang datang secara perlahan. Jalanan yang belum dijamah aspal masih dipenuhi batu dan lumpur. Berangkat dengan perasaan senang dan gembira perlahan-lahan digantikan lelah.
Dingin sudah merambat dari ujung kepala sampai kaki. Jas hujan yang kami kenakan tetap tidak membuat pakaian kami kering. Tanah merah, batu, dan lumpur yang menjadi pijakan memudahkan kami untuk terjatuh. Terpeleset, terjungkal, masuk ke dalam kubangan air, sudah menjadi hal umum dalam perjalanan kami.
Bahu dan punggungku mulai terasa sakit. Mataku mulai perih karena beberapa kali air hujan masuk. Dan aku mulai sulit menjaga keseimbangan karena jalan yang licin. Diam-diam aku ingin menangis karena tidak lagi merasa kuat.
ADVERTISEMENT
Namun aku diam, setiap kali ingin mengeluh para pengabdi lain akan menyemangati. Mulai dari bernyanyi, bercanda, dan bertukar cerita. Ketika ada yang terjatuh yang lain akan senang hati mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri. Ketika air yang dibawa sudah mulai habis, yang lain akan bergantian menawarkan minumnya.
Di tengah canda dan tawa yang menemani perjalanan kami, aku mulai kewalahan menggendong carrier yang kubawa. Aku ditawarkan untuk menukar carrier yang ku bawa dengan carrier yang sedikit lebih ringan. Lalu mengganti sepatuku dengan sandal gunung. Perjalanan mulai membaik.
Perjalanan masih panjang, namun canda tawa itu masih terdengar. Melewati air terjun kecil kami mengisi botol kosong kami dan bergantian mencuci muka. Airnya terasa sejuk dan dingin, menghilangkan dahaga di perjalanan. Gerimis perlahan-lahan berhenti, menyisakan dingin dari baju lembab yang kami kenakan.
ADVERTISEMENT
Menghindari dingin kami harus terus berjalan, dan berhenti sebentar jika lelah. Perjalanan kali ini mendorong kami untuk saling peduli satu sama lain. Tidak meninggalkan yang sakit di belakang. Atau pergi berjalan sendirian.
Pada sore menjelang malam, seluruh rombongan akhirnya tiba di desa. Kami mulai bergantian untuk mandi, membersihkan rumah yang akan kami tinggali, dan menyiapkan makan malam. Makan bersama terasa lebih ramai karena tawa dan cerita dari para pengabdi. Sebelum tidur kami menyerukan tagline yang menjadi pembakar semangat kami “Mengabdi dengan sinergi, berbagi cinta dengan aksi”.
(Aisyah Banowati/Politeknik Negeri Jakarta)