Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Pernikahan Anak Dalam Pandangan Islam Berkemajuan
15 Oktober 2024 11:19 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari 'Aisyiyah Tabligh dan Ketarjihan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Belakangan ini banyak anak muda yang tiba-tiba bersemangat untuk segera menikah dengan berbagai alasan. Alasannya tidak ingin terjebak pada perzinahan karena pacaran itu dilarang agama, menikah itu sunnah, menikah muda itu berkah, rezeki melimpah, dan lain sebagainya. Anak-anak muda ini bahkan ada yang masih dalam proses belajar di bangku sekolah, kuliah, belum bekerja, masih childish (bersikap kekanak-kanakan). Bahkan, pihak orang tua juga tidak segan-segan menikahkan anak pada usia belia dengan alasan yang sama.
ADVERTISEMENT
Memang, menikah itu disyariatkan oleh agama. Rasulullah SAW pernah memperingatkan agar tidak membenci pernikahan dengan berbagai alasan, akan tetapi perlu persiapan yang matang agar terwujud keluarga sakinah.
Anjuran Agama untuk Menikah dalam Usia Matang
Pernikahan merupakan peristiwa yang serius, penting dan akan mengubah kehidupan seseorang ke dalam dunia baru. Akibat dari pernikahan akan muncul kewajiban, hak, dan tanggung jawab. Bahkan melalui perkawinan, lahirlah masyarakat yang berkehidupan mulia, maju, makmur, serta sejahtera, yang pada akhirnya dapat membangun peradaban. Pernikahan bukan sekedar mensahkan rasa cinta antara laki-laki dan perempuan agar bisa bucin atau “pacaran halal”. Oleh karena itu, untuk memasuki kehidupan perkawinan, perlu mempertimbangkan kematangan baik secara spiritual, biologis, psikologis, sosial, dan ekonomi yang ditandai salah satunya dengan kematangan usia.
ADVERTISEMENT
Dalil terkait pentingnya kematangan usia perkawinan (rusydan) ada dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 6:
وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُم مِّنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ ۖ …
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya...
Ayat di atas erat hubungannya dengan waris. Namun, yang menarik adalah pernyataan hatta idza balaghun nikaha (sampai mereka cukup umur untuk menikah) dan rusydan (pandai, matang). Kita dapat memaknai bahwa pernikahan itu dilakukan pada usia matang, dewasa yang ditandai dengan kamampuan bertanggung jawab dan siap untuk menikah.
Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria maupun perempuan mencapai minimal berusia umur 19 (sembilan belas) yang semula pihak pria 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 pasal 1 butir 1 UU tentang Perlindungan Anak pasal 1 butir 1 yang menegaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.
ADVERTISEMENT
Menimbang Pernikahan Rasulullah SAW dengan ’Aisyah RA.
Sebagian masyarakat melaksanakan pernikahan bagi anaknya pada usia belia/kanak-kanak itu mengacu pada hadis Nabi,
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم تَزَوَّجَهَا وَهِيَ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ وَبَنَى بِهَا وَهِيَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ
( رواه البخاري)
Dari ‘Aisyah bahwa Nabi saw menikahinya ketika berumur 6 tahun dan mulai hidup bersama ketika usianya 9 tahun [HR Bukhari].
Hadis tentang pernikahan Rasulullah saw dengan ’Aisyah ini seringkali dijadikan rujukan untuk praktek pernikahan anak sebagaimana terjadi sampai saat ini. Karena itulah riwayat yang menyebutkan Rasulullah saw menikahi ‘Aisyah yang diduga saat itu baru berusia 6 tahun dan pada usia 9 tahun serumah dengan beliau, semestinya diposisikan dengan benar melalui tiga tinjauan berikut ini:
ADVERTISEMENT
Pertama, hadis tersebut perlu dibaca secara kritis. Riwayat tentang usia ’Aisyah ra ketika melakukan pernikahan tersebut hanya berasal dari Hisyam bin ’Urwah sehingga hanya Hisyam sendirilah yang menceritakan umur ‘Aisyah saat dinikahi Nabi, tidak oleh Abu Hurairah atau Anas bin Malik. Hisyam pun baru meriwayatkan hadis ini pada saat di Irak ketika usianya memasuki 71 tahun. Ya’qub bin Syaibah mengatakan tentang Hisyam, ”apa yang dituturkan Hisyam sangat terpercaya, kecuali yang diceritakannya saat ia menetap di Irak”. Syaibah menambahkan bahwa Malik bin Anas menolak penuturan Hisyam yang dilaporkan ke penduduk Irak. Menurut para ahli bahwa tatkala usia Hisyam sudah lanjut ingatannya sangat menurun. Dengan demikian riwayat yang menyebutkan usia pernikahan ‘Aisyah ra yang bersumber dari Hisyam bin ’Urwah patut dikritisi pula.
ADVERTISEMENT
Kedua, sebagaimana disebutkan dalam riwayat bahwa ‘Aisyah dipersunting Nabi berdasarkan perintah Allah yang hadir melalui mimpi. Nabi saw mengisahkan mimpinya kepada ‘Aisyah,
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لَهَا أُرِيتُكِ فِي الْمَنَامِ مَرَّتَيْنِ أَرَى أَنَّكِ فِي سَرَقَةٍ مِنْ حَرِيرٍ وَيَقُولُ هَذِهِ امْرَأَتُكَ فَاكْشِفْ عَنْهَا فَإِذَا هِيَ أَنْتِ فَأَقُولُ إِنْ يَكُ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللهِ يُمْضِهِ (رواه البخارى)
Aisyah RA meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda kepadanya, “Diperlihatkan kepadaku tentang dirimu dalam mimpiku sebanyak 2 kali. Aku melihatmu pada sehelai sutra dan ia (malaikat) berkata kepadaku, “inilah istrimu, maka lihatlah! ternyata perempuan itu adalah dirimu, lalu aku mengatakan, “Jika ini memang dari Allah maka Dia pasti akan menjadikan hal itu terjadi" [HR Bukhari].
ADVERTISEMENT
Dalam kaitan ini juga perlu dicatat bahwa ‘Aisyah adalah satu-satunya istri Nabi yang dipersunting di waktu gadis dan muda. Ini penting untuk disampaikan karena apa yang dilakukan Nabi selalu disertai dengan tujuan-tujuan mulia yang menyertainya. Demikianlah pernikahannya dengan ‘Aisyah dimaksudkan sebagai cara untuk memelihara ilmu-ilmu Islam yang berkaitan dengan al-ahwâl asy-syakhshiyyah karena apa yang dilakukan Nabi bersama ‘Aisyah merupakan sumber keilmuan Islam. Hal ini terbukti bahwa ’Aisyah RA meriwayatkan sebagian besar hadis-hadis Nabi, terutama permasalahan perempuan dan keluarga.
Ketiga, usia pernikahan ’Aisyah perlu dilihat dari sisi historis. Ath-Thabari mengatakan bahwa keempat anak Abu bakar dilahirkan istrinya pada zaman Jahiliyah, artinya mereka semua termasuk ‘Aisyah dilahirkan sebelum tahun 610 M. Jika ‘Aisyah dinikahkan saat usia 6 tahun, maka ia lahir pada tahun 613, padahal semua putra Abu bakar lahir sebelum tahun 610 M. Dengan merujuk Ath-Thabari, ’’Aisyah tidak dilahirkan pada tahun 613 melainkan sebelum 610”. Jika ‘Aisyah dinikahkan sebelum tahun 620M maka beliau dinikahkan pada usia di atas 10 tahun dan hidup sebagai istri serumah dengan Nabi pada usia di atas 13 tahun. Jika disebutkan dalam umur di atas 13 tahun berapa persisnya usia ‘Aisyah?. Pertanyaan ini dapat dijawab dengan memperhatikan usia 'Asma binti Abu Bakar kakak perempuan ’Aisyah. Menurut Abdurrahman bin Abi Zinad, 'Asma 10 tahun lebih tua dari ‘Aisyah. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani 'Asma hidup hingga usia 100 tahun dan meninggal pada tahun 73 atau 74 Hijriyah. Ini berarti bahwa saat hijrah terjadi usia Asma sekitar 27 atau 28 tahun (100-73). Dengan demikian usia ‘Aisyah saat pertamakali satu rumah dengan Nabi adalah antara 17 dan 18 tahun (usia asma 27 atau 28-10).
ADVERTISEMENT
Keempat, peristiwa pernikahan ‘Aisyah dengan Nabi Muhammad saw terjadi pada periode Mekah. Masa tersebut merupakan masa turunnya ayat-ayat yang menuntunkan tentang aqidah dan akhlak, belum memasuki masa-masa tasyri’ yaitu, masa dirumuskannya hukum-hukum far’iyyah ‘amaliyyah. Dengan demikian seandainya peristiwa pernikahan ‘Aisyah ra dengan Nabi Muhammad saw ketika ‘Aisyah usia 6 tahun dan mulai bergaul dalam satu rumah pada usia 9 tahun itu benar, maka tidak dapat dijadikan landasan penetapan perkawinan anak-anak.
Dengan demikian, menurut pandangan Islam pernikahan anak tidak disyariatkan (ghairu masyru’). Jadi, bagi yang belum matang untuk menikah secara usia, sibuklah dalam menuntut ilmu khususnya ilmu seluas-luasnya serta meningkatkan kualitas diri dan iman, memperbanyak karya serta hidup produktif bermanfaat untuk banyak orang dan lingkungan Menggantungkan cita-cita setinggi-tingginya dan bekerja keras untuk meraihnya, sampai tiba saatnya membina sebuah keluarga dengan kesiapan diri yang baik.
ADVERTISEMENT
Hadis riwayat Bukhari dan Muslim Rasullah saw mengingatkan,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَائَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَّمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. (رواه البخارى ومسلم)
"Wahai para pemuda barang siapa di antara kamu sekalian telah cukup persediaan untuk menikah maka menikahlah. Sesungguhnya nikah itu akan menjaga dari kejahatan mata dan mampu menjaga kehormatan. Barang siapa yang belum berkemampuan hendaklah berpuasa. Sebab baginya puasa itu merupakan perisai (yang mampu menahannya dari perbuatan zina)" [HR Bukhari Muslim].
(A. Pram)
Sumber: Keputusan Munas Tarjih Muhammadiyah tahun 2010 tentang Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah