Konten dari Pengguna

Ekofeminisme Timur dalam Ketahanan Pangan: Sektor Pertanian

Aji Cahyono
Master of Arts (MA) - Kajian Timur Tengah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Awardee Research Megawati Fellowship
10 Januari 2025 14:09 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aji Cahyono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Potret Petani Kentang di Wonosobo, Jawa Tengah. Sumber Foto: Jamal Mahfudz di Kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Potret Petani Kentang di Wonosobo, Jawa Tengah. Sumber Foto: Jamal Mahfudz di Kumparan.com
ADVERTISEMENT
Bicara pertanian selalu identik dengan rumpun keilmuan sains dan teknologi (saintek). Namun, pembacaan lebih jauh bahwa tema pertanian dapat ditarik dalam dimensi keilmuan sosial dan humaniora (soshum)—relasi sosial-politik, ekonomi, budaya dan agama maupun sektor ekologi. Seiring perkembangan zaman, munculnya kajian-kajian tentang perempuan—menjadi perhatian penting dalam isu kontemporer bagi pegiat kajian tentang perempuan. Meskipun demikian, topik tentang perempuan didominasi oleh kaum perempuan daripada laki-laki, secara kuantitas.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, penulis dalam hal ini bukanlah ahli pengkaji isu-isu tentang perempuan. Akan tetapi, keilmuan tentang perempuan, penulis mengenal lama jauh sebelum masuk di kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (atau yang dikenal sebagai madzhab sapen) ketika mengenyam pendidikan Master Degree konsentrasi Kajian Timur Tengah saat penulis juga mendapatkan mata kuliah Gender dan Feminisme. Secara khusus dan nomenklatur akademik, UIN Sunan Kalijaga menawarkan program Master dengan konsentrasi Islam dan Kajian Gender.
Penulis mengenal isu tentang perempuan sejak 2016, saat berproses kesarjanaan strata-1 semester 1 di kampus UIN Sunan Ampel Surabaya (madzhab surabaya), perjumpaan antar ide—saat disuguhkan buku berjudul Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia karya Bung Karno—sebagai pintu untuk memahami perempuan dalam pergerakan kemerdekaan nasional Indonesia. Menurut Bung Karno—perempuan tidak serta merta difungsikan sebagai urusan domestifikasi (yang hanya mengurusi urusan dapur semata) melainkan perempuan ikut aktif dalam melibatkan diri dalam bermasyarakat—perempuan pembangun peradaban dan perjalanan menuju Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
ADVERTISEMENT
Pembangunan peradaban tak boleh henti, harus melahirkan beragam macam inovasi atau kebaruan pemikiran sesuai dengan relevansi zaman. Tren perkembangan ilmu pengetahuan akhir-akhir ini, munculnya kajian tentang Ekofeminisme. Menurut Sherilyn Macgregor dalam bukunya Beyond Mother Earth: Ecological Citizenship and The Politics of Care—ia menjelaskan bahwa Ekofeminisme merupakan integrasi antara feminisme dan ekologi—menempatkan pemikir ekofemimnisme dalam memanfaatkan konsep gender dalam menganalisis relasi antara manusia dan alam.
Kemunculan wacana Ekofeminsme oleh penulis asal Prancis, Françoise d'Eaubonne dalam bukunya berjudul Le Féminisme ou la Mort (Feminisme atau Kematian) Carolyn Merchant dalam Book Chapter berjudul Ecofeminism: Radical Ecology—menjelaskan teori ekofeminisme menawarkan sudut pandang feminisme dalam politik hijau menyerukan masyarakat secara kolaboratif dan egaliter untuk menciptakan masyarakat tak ada satupun kelompok yang dominan. Dalam perkembangan keilmuan, beberapa cabang ekofeminisme muncul sebagai pendekatan dan analisis (misalnya ekofeminisme spiritual/budaya, ekofeminisme liberal, sosialis-materialis—sebagai interpretasi yang dapat diterapkan dalam pemikiran seni ekofeminisme, keadilan sosial, filsafat politik, agama, hukum, ekonomi maupun sastra).
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, penulis mengungkapkan sejauhmana posisi ekofeminisme sebagai diskursus dalam kajian relasi alam dan perempuan—dalam sudut pandang orang Timur (sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi etika dan estetika) dalam mewujudkan ketahanan pangan. Meskipun kajian Ekofeminisme awal mula kemunculannya dari Barat—secara konsepsi dan teoritik didominasi oleh Barat. Tidaklah fair jika Ekofeminisme dimaknai secara sempit mengenai perlawanan perempuan ekologi terhadap dominasi patriarki yang membudaya—melainkan dimaknai secara luas yakni perempuan pejuang lingkungan alam mampu hadir berperan dari segmen manapun (keputusan politik, pelibatan sosial, penggerak ekonomi, dan berpartisipasi dalam pertanian yang mengedepankan melestarikan lingkungan alam).
Tulisan ini muncul dengan harapan bahwa perempuan mampu berdaya guna (tidak boleh bermental inlander (mental tertindas)—bahasa ejekan oleh bangsa asing terhadap bangsa pribumi Indonesia dengan menciptakan kesenjangan kelas—atas dan bawah, penindasan). Namun yang dikhawatirkan adalah gerakan kelompok feminisme atau ekofeminisme terjebak pada euforia, superioritas, dan melampaui batas-batas kesetaraan atau egalitarian menjadi kelompok dominasi (perempuan mendominasi peran laki-laki) dan tidak mau menerima kritik—tentu harus menjadi kritik dan oto-kritik bersama. Gagasan ini berupaya memantik sebuah diskursus lebih lanjut untuk memperkaya Ekofeminisme Timur.
ADVERTISEMENT

Ekofeminisme Timur dalam Ketahanan Pangan: Sektor Pertanian

Penulis berupaya memperkaya khazanah kajian tentang Ekofeminisme Timur—term ini muncul berangkat dari studi kasus di Indonesia. Dalam hal ini penulis membagi sektor pangan menjadi dua jenis yakni tumbuhan (pertanian atau perkebunan) dan hewani (perikanan atau kelatuan). Penelitian sebelumnya, terdapat salah satu dari Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga mengangkat sektor Ekofeminisme Spiritual—menyajikan hasil penelitian yang secara umum mengenai sosok perempuan masa lampau (hidup dalam sebuah sistem kerajaan) dalam mitosnya dipercaya sebagai penjaga sungai.
Sependek pemahaman penulis, mitologi perempuan dipercaya masyarakat setempat (melalui cerita rakyat) untuk menjaga kelestarian alam—agar makhluk hidup mendapatkan manfaatnya dari sungai tersebut, baik manusianya (memanfaatkan air untuk keberlangsungan hidup secara primer) maupun hewan (yang hidup dengan aman dan sehat dalam sungai tersebut). Secara tak langsung, bahwa potret melestarikan alam (melalui kepercayaan mitologi) merupakan perwujudan dari ketahanan pangan melalui sektor perikanan.
ADVERTISEMENT
Titik kesamaan dari penelitian sebelumnya dengan topik yang diangkat dari Timur, menyinggung kelestarian alam dan perempuan. Namun yang menjadi pembeda adalah penelitian sebelumnya berupa tesis, sedangkan tulisan ini hanya sebatas memantik diskursus lebih lanjut melalui penyajian informasi mini ilmiah yang dikemas dalam artikel populer. Selain itu, penelitian sebelumnya bicara tentang perempuan sebagai penjaga sungai sebagai mitologi kepercayaan masyarakat setempat—menciptakan kesadaran alam.
Sedangkan topik penulis angkat dalam bentuk artikel populer, muncul berangkat dari perjumpaan penulis dengan petani perempuan di Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah pada 29 Desember 2024—tepatnya saat perjalanan menuju kawasan Dieng. Ide ini muncul seiring dengan perempuan bekerja pada sektor pertanian—sebagai pejuang dalam ketahanan pangan di Indonesia.
Perjumpaan tersebut, ia mengungkapkan bahwa mayoritas masyarakat di Wonosobo lebih dominan adalah sebagai petani—bahkan kaum perempuan ikut melibatkan diri sektor pertanian. Dalam ungkapannya, bahwa tidak hanya sebatas menanam dan memanen, melainkan ikut andil dalam merawat lingkungan—menjaga kualitas air untuk menyiram tanaman. Ahli feminisme dan gerakan ekologi asal India, Vandana Shiva percaya bahwa pengalaman perempuan menjadikan sebagai pembelajaran dalam pengelolaan dan pelestarian alam. Karena anggapan Shiva, Ekofeminisme menghadirkan dua konsep yakni: 1) perempuan dianggap sebagai makhuk yang mempunyai sifat lemah lembut, tidak galak dan perhatian pada lingkungan dan sastra; 2) perempuan merupakan sastra ekologis ramah lingkungan. Sebagai pemangku kebijakan, Afif Nurhidayat Bupati Wonosobo berharap perempuan memilki ruang yang luas dalam berkarya dan berkontribusi dalam rencana pembangunan jangkan menengah daerah (RPJMD) melalui pemberdayaan dan kesetaraan gender dalam mewujudkan visi dan misi pembangunan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, data BPS Wonosobo mengenai jumlah pengelola usaha pertanian berjenis kelamin perempuan (seluruh kecamatan dan strata pendidikan) bahwa total pelau usaha pertanian per 2023 mencapai 16.118 orang. Selain itu, salah satu contohnya yakni kaum Ibu yang tergabung dalam Kelompok Wanita Tani (KWT) Munawaroh di Kecamatan Mojotengah, berhasil mengembangkan berbagai sayuran organik—dengan memperoleh omzet hingga 30 juta rupiah dalam kurun waktu setahun. Sehingga mampu meningkatkan taraf hidup perekonomian keluarga. Dampak positifnya hasil pertanian organik adalah menghasilkan pangan organik yang bebas pestisida—dengan memperhatikan kesehatan masyarakat, menjaga diri dan menghindari berbagai macam penyakit (Diskominfo Kab. Wonosobo). Bahkan dijadikan sebagai rujukan pengembangan bagi desa-desa yang tergerak di penjuru Indonesia.
Meskipun demikian, tantangan sektor pertanian di Wonosobo adalah terjadi penyusutan lahan sawah beralih fungsi menjadi pemukiman, pariwisata dan infrastruktur yang berdampak pada produksi pangan (khususnya kawasan Dieng menjadi kawasan wisata). Tercatat per 2023, luas lahan sawah di Wonosobo mencapai 10.877 (menyusut rata-rata 3.000 meter persegi pertahun). Masyarakat setempat beralih dari pertanian tradisional (menanam padi) ke pertanian holtikultura (sayur-sayuran), mengingat masyarakat dengan populasi penduduk semakin bertambah. Dinas Pangan, Pertanian, dan Perikanan (Dispaperkan) Kab. Wonosobo meluncurkan program keberlanjutan sektor pertanian diantaranya: 1) pelatihan dan penyuluhan; 2) digitalisasi data; 3) pemberdayaan kelompok tani; dan 4) promosi pertanian modern.
ADVERTISEMENT