Konten dari Pengguna

Penyakit Kronis Mahasiswa

Aji Pangestu
Peneliti dan Jurnalis Independen
21 Juni 2023 21:33 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aji Pangestu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mahasiswa ujian. Foto: exam student/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mahasiswa ujian. Foto: exam student/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Mahasiswa adalah tulang punggung peradaban suatu negara. Bila tulang punggung yang menyangganya itu rapuh maka bisa dipastikan bahwa negara tersebut akan runtuh. Artinya, peran mahasiswa dalam berbangsa dan bernegara sangat krusial dan tidak bisa diabaikan begitu saja.
ADVERTISEMENT
Secara historis, sepak terjang mahasiswa selalu mewarnai arus sejarah. Hal ini bisa dilihat ketika pasca kemerdekaan, misalnya. Untuk pertama kalinya mahasiswa Indonesia memperlihatkan taringnya dengan mengkritik kebijakan orde lama yang dipimpin oleh Soekarno. Periode ini terekam jelas semisal dari Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) yang dikomandoi oleh Soe Hok Gie dan kawan-kawan yakni tuntutan untuk menurunkan harga bensin, merombak kabinet Dwikora, dan pembubaran PKI.
Pada masa orde baru ketika kekuasaan dipimpin oleh Soeharto persoalan bernegara semakin menjadi-jadi. Mewabahnya korupsi, kolusi, dan nepotisme, penembakan misterius, pembantaian simpatisan PKI serta depolitisasi gerakan mahasiswa di kampus. Kita tahu bahwa, puncak dari semua ironi ini pada akhirnya akan melahirkan kemarahan mahasiswa dan meletuskan reformasi pada 1998. Ini menunjukan bahwa mahasiswa berperan besar dalam menumbangkan orde baru.
ADVERTISEMENT
Sekarang era reformasi, kita mendapati bahwa mahasiswa masih mengawal segala pergolakan yang terjadi. Meskipun, beberapa aktivis kritis dibungkam dan diancam serta diteror. Kegiatan untuk memperjuangkan nilai-nilai demokrasi masih terus digaungkan.
Segala kontribusi mahasiswa yang disebutkan sebelumnya menyiratkan beberapa hal bahwa mahasiswa memiliki karakteristik tertentu seperti peka terhadap ketidakadilan, kemampuan berpikir kritis dan analitis sehingga mampu menjadi problem solver bagi lingkungannya dan lain-lain.
Namun demikian, belakangan banyak yang beranggapan bahwa gerakan mahasiswa sudah tidak relevan dan mengikuti diskusi-diskusi kritis adalah sebuah kesia-siaan yang dilakukan secara terang-benderang. Secara umum sebagian besar mahasiswa tengah berubah haluan, mereka lebih meminati konser-konser artis beken papan atas dan tertarik pada sesuatu yang bersifat instan dan praktis.
ADVERTISEMENT
Fenomena semacam ini setidaknya menyiratkan bahwa paradigma mahasiswa tengah didikte oleh nalar kapitalistik yang menggejala pada banyak mahasiswa sekarang. Setidaknya ada tiga alasan yang menjadi penyebab hal yang demikian itu terjadi.
Pertama, maraknya perilaku hedonisme di kalangan mahasiswa. Berkembangnya teknologi turut mempengaruhi cara berpikir banyak mahasiswa. Suatu riset "State of Mobile 2023" yang diterbitkan oleh data.ai pada 2022 mengatakan bahwa masyarakat Indonesia menggunakan gadget selama 5,7 jam dalam sehari. Banyaknya waktu yang dihabiskan untuk berselancar di dunia maya ini menandakan bahwa mahasiswa lebih sering bersinggungan dengan realitas virtual daripada dunia real. Sementara, dalam dunia virtual itu segala macam informasi terus membludak dan pada saat yang sama menjadi pintu masuk budaya hedonistik.
ADVERTISEMENT
Dari realitas maya itulah mahasiswa mengkonsumsi banyak informasi dan pada akhirnya percaya bahwa kesenangan atau kebahagiaan adalah satu-satunya atau kebaikan utama dalam hidup. Apapun yang membuat diri menjadi senang selalu identik dengan kebahagiaan. Ini terbukti misalnya, kita bisa melihat bahwa banyak mahasiswa menghabiskan waktu diluar seperti nongkrong di cafe-cafe, senang membeli barang-barang berharga, mahal, dan berlomba-lomba untuk mengikuti trend gaya hidup terbaru.
Konsekuensinya, kegiatan membaca, berdiskusi dan menulis mulai ditinggalkan dan forum-forum diskusi tidak lagi diminati karena dianggap tempat yang membosankan dan tidak menyenangkan. Akibatnya, kemampuan analisis terhadap fenomena sosial menjadi tumpul dan puncaknya adalah sikap apatis terhadap apa yang tengah terjadi pada kehidupan ekonomi-politik yang ada.
Kedua, implikasi dari doktrin hedonisme membuat mahasiswa untuk mencapainya dengan cara yang instan. Cara berpikir semacam ini akan mendikte setiap tindakan yang diambil oleh mahasiswa. Akhirnya, pengetahuan yang bersifat abstraksi-teoritis pelan-pelan mulai dihindari dan beralih pada skill-skill teknis dan praktis. Misalnya, banyaknya peminat buku-buku self development, menyeruaknya pelatihan public speaking dan seminar-seminar kewirausahaan.
ADVERTISEMENT
Dampaknya, tidak sedikit mahasiswa yang mampu berkomunikasi namun tanpa isi dan di saat yang sama terjadi perubahan secara paradigmatik dari kesadaran idealis menuju kesadaran materialis. Materi kini jadi nomor satu dan kaya menjadi tujuan utama imbasnya lagi-lagi pada kehidupan sosial. Mahasiswa akhirnya hanya peduli perkara perut dan mau diakui atau tidak mereka terjebak pada pragmatisme jangka pendek yang tidak bertahan lama.
Ketiga, disorientasi. Kampus sebenarnya adalah tempat paling lengkap untuk mewadahi bakat dan minat para mahasiswa. Ini bisa dilihat dari beragamnya Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang ada di tiap kampus. Ingin mendalami kemampuan menulis ada Lembaga Pers Mahasiswa. Mau menekuni dunia seni pertunjukan ada Teater. Suka bertualang ada Kelompok Pecinta Alam dan lain sebagainya. Fakta bahwa banyaknya UKM di kampus tidak menjamin mahasiswa untuk tidak kehilangan arah dan tujuan.
ADVERTISEMENT
Tidak sedikit mahasiswa yang disorientasi karena banyaknya pilihan yang ditawarkan. Alih-alih mengembangkan diri dalam forum diskusi dan memberikan manfaat untuk banyak orang, mahasiswa malahan terjebak pada kebimbangan yang tidak berkesudahan. Dengan demikian, penyakit kronis yang diidap oleh mahasiswa sekarang sebenarnya termaktub dalam kesadarannya itu lahir dari nalar kapitalistik untung-rugi yang membuahkan anggapan-anggapan yang tidak substansial yang tengah berkembang sekarang.