Konten dari Pengguna

Mendaras Feminisme Lewat Sastra

Aji Pangestu
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
10 Agustus 2024 16:36 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aji Pangestu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ilustrasi foto majalah feminisme / Shutterstock
Saya baru saja menuntaskan buku sastra berjudul Layar Terkembang. Buku ini ditulis oleh Sutan Takdir Alisjahbana (STA). STA adalah seorang sastrawan kelahiran kota Natal, Sumatera Utara.
ADVERTISEMENT
Selain sebagai penyair, STA juga seorang intelektual dan akademisi. Ia sempat menjabat sebagai dosen bahasa Indonesia di Universitas Indonesia (1946-1948), guru besar Bahasa Indonesia di Universitas Nasional (1950-1958), dan guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas, Padang (1956-1958).
Sebagai seorang penyair, salah satu ciri khas sastra pra kemerdekaan adalah spirit pembebasan dari berbagai bentuk kerangkeng tradisi yang ada di masyarakat. Hal itu terlihat juga dalam karya STA.
Setidaknya ada empat karya sastra yang ditulis oleh STA. Yaitu novel berjudul Tak Putus Dirundung Malam (1929), Dian yang Tak Kunjung Padam (1932), Layar Terkembang (1936) dan Tebaran Mega (1935). Buku yang terakhir memuat kumpulan puisi.
Novel berjudul Layar Terkembang berasal dari pepatah kehidupan nelayan. Yang berarti “Lebih baik tenggelam di lautan daripada harus kembali lagi ke pantai tanpa hasil, "
ADVERTISEMENT
Dalam konteks buku ini dapat ditafsirkan sebagai seorang yang memiliki cita-cita tinggi, dan kukuh dalam upaya mencapainya. Hal ini tercermin dari karakter yang terdapat dalam buku.
Saya akan mengulas tiga hal dalam buku ini. Pertama tokoh-tokoh dan karakternya. Kedua alur ceritanya dan terakhir pesan inti dari cerita novel ini.
Pertama, tokoh-tokoh dan karakternya. Ada beberapa karakter yang perlu diuraikan sebelum membahas isi buku secara keseluruhan. Ini penting karena pesan utama dan nilai-nilai tertentu diselipkan penulis lewat dialog dan pergulatan para tokoh-tokohnya. Langsung saja.
Maria. Ia adalah seorang gadis cantik, lembut, suka anak-anak dan tanaman. Usianya 20 tahun. Sedang di tahap akhir penyelesaian studi di Sekolah Keguruan Belanda.
Tuti. Ia adalah kakak Maria. Usianya 25 tahun. Berprofesi sebagai guru. Selain itu, ia juga seorang aktivis feminis. Tergabung dalam organisasi perempuan bernama Putri Sedar. Menjabat sebagai ketua Cabang Jakarta. Sering memimpin orasi pada tiap kongres.
ADVERTISEMENT
Dua kakak beradik ini memiliki kepribadian yang sangat berbeda sama sekali. Tuti lebih serius, tegas, mandiri, feminis; sementara sang adik adalah orang yang senantiasa ceria, luwes, keibuan dan feminin.
Karakter kontras ini adalah gambaran perempuan Indonesia pada masa pra-kemerdekaan, yang banyak ditulis dalam novel Indonesia terbitan Balai Pustaka.
Yusuf. Ia adalah mahasiswa kedokteran tingkat akhir yang tiga bulan lagi akan lulus. Aktivis pergerakan Pemuda Baru. Memainkan peran penting dalam membantu sesama mahasiswa terutama yang pra sejahtera dalam menyediakan beasiswa.
Terakhir, Ratna dan Saleh. Sepasang suami istri yang hidup sederhana. Tinggal di kaki gunung. Teman Tuti saat sekolah.
Meskipun masih beberapa tokoh yang tidak dijelaskan, setidaknya empat tokoh di atas adalah yang paling menarik. Karena bersinggungan langsung dengan tokoh utama dalam novel.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya adalah alur cerita. Novel ini dinarasikan dengan alur cerita yang linear. Kisahnya berfokus pada pergulatan kehidupan Tuti dan Maria.
Semua bermula ketika kakak beradik itu pergi ke pasar ikan. Di sana mereka berjumpa dengan seorang pemuda tampan bernama Yusuf. Dari situ pertemuan tiga orang tersebut semakin intens.
Belakangan diketahui Maria dan Yusuf menjalin hubungan asmara lalu bertunangan. Sayangnya, jalan menuju pernikahan tersendat karena Maria jatuh sakit.
Di tengah-tengah waktu luang karena habis liburan, Tuti dan Yusuf terlibat bersama-sama merawat Maria. Mereka tinggal di rumah temannya yakni Ratna dan Saleh.
Seiring berjalannya waktu terjalin hubungan mesra antara Yusuf dan Tuti. Di saat yang sama kondisi Maria makin parah.
Situasi inilah yang pada akhirnya mendorong Maria untuk mengajukan permintaan kepada sang kakak. Tuti pun harus mengambil keputusan sulit: apakah ia menuruti kemauan adiknya atau tetap berada di haluannya.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, Maria wafat. Tuti dan Yusuf melangsungkan pernikahan. Bukan hanya karena permintaan Maria tapi keduanya memang saling mencintai satu sama lainnya.
Ulasan terakhir, inti pesan. Menurut saya ada banyak pesan tersirat yang ditanamkan penulis lewat karakter dan dialog antar tokoh. Namun roh utama dari novel ini secara eksplisit adalah spirit feminisme.
Spirit feminis ini tergambar terang dari karakter Tuti. Sebagai aktivis feminis, Tuti mencurahkan segala daya upayanya untuk menuntun kaum perempuan keluar dari ketertindasan.
Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk membaca, menulis dan berorasi pada kongres-kongres organisasi perempuan.
“hitam, hitam sekali penghidupan perempuan bangsa kita di masa yang silam, lebih hitam, lebih kelam dari malam yang gelap. Perempuan bukan manusia seperti laki-laki yang mempunyai pikiran dan pandangan sendiri, yang mempunyai hidup sendiri, perempuan hanya hamba sahaya, perempuan hanya budak yang harus bekerja dan melahirkan anak bagi laki-laki, dengan tiada mempunyai hak. Setinggi-tingginya ia menjadi perhiasan, menjadi permainan yang di mulia-muliakan selagi disukai, tetapi dibuang dan ditukar apabila telah kabur cahayanya, ” ucap Tuti dengan lantang.
ADVERTISEMENT
Salah satu perkataan Tuti yang membekas dalam novel ini, jelas hendak menggugat tradisi kolot dan membangun semangat kesetaraan melalui doktrin feminisme.
Feminisme adalah doktrin filosofis yang berangkat dari asumsi bahwa perempuan mengalami ketertindasan. Ketertindasan perempuan disebabkan oleh paradigma berpikir masyarakat yang masih menganut sistem patriarki.
Corak berpikir patriarki memposisikan perempuan lebih rendah daripada laki-laki dalam berbagai aspeknya. Mulai dari kecerdasan, fisik, emosi dan lain semacamnya.
Artinya, maksud utama dari spirit feminis adalah hendak menampik stigma buruk yang dilekatkan pada perempuan. Cita-cita feminis ialah lepas dari berbagai bentuk ketertindasan. Dengan kata lain, feminis adalah mereka yang menghormati dan membela hak-hak perempuan.
Dengan demikian, perempuan sebagaimana laki-laki adalah makhluk Tuhan yang sama dan setara. Tidak ada perbedaan substansial di antara keduanya kecuali takwa.
ADVERTISEMENT
Selain Tuti, spirit feminis juga terlihat pada sosok Ratna. Pada masa sekolah dulu Ratna adalah seorang perempuan yang biasa-biasa saja. Ia bahkan tak mengikuti organisasi perempuan apapun.
Tapi, setelah ia menikah dengan Saleh dan pindah ke kaki gunung, Ratna menjadi sangat feminis bahkan lebih feminis daripada Tuti.
Jika Tuti hanya pandai berteori dan berpidato di hadapan ribuan anggota kongres perempuan, Ratna terjun langsung ke bawah, bergelut dengan kondisi real di masyarakat.
Ia mengajar anak desa membaca dan menulis. Mendirikan perpustakaan dengan buku buku yang lengkap. Mulai dari teknik bercocok tanam hingga pemikiran Nazi. Membangun koperasi. Menggerakan organisasi petani.
Tempat tinggal mereka yang terpencil di kaki gunung, tak membuat mereka menutup diri dari dunia luar. Sepasang suami istri itu bahkan masih sempat langganan koran dan majalah serta menerbitkan tulisan.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, teruntuk kamu yang suka sastra tidaklah dosa bila membaca buku ini. Meskipun ada beberapa kata lawas yang digunakan, tapi substansi katanya tak berbeda.