Peta, Kecerdasan Spasial, Kesadaran Sosial, dan Pandemi COVID-19

Aji Putra Perdana
Seorang Geograf(er) yang mengamati lingkungan sekitar dari sudut pandang geografi. Pemerhati Peta dan Toponim. Saat ini bekerja di Badan Informasi Geospasial.
Konten dari Pengguna
12 Juli 2021 15:10 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aji Putra Perdana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Semenjak diidentifikasinya pertama kali virus SARS-CoV-2 oleh Pemerintah Tiongkok (07/01/2020), langkah pencegahan dengan pembatasan mobilitas penduduk melalui lockdown adalah salah satu bentuk upaya pendekatan geografi yang diterapkan.
ADVERTISEMENT
Penyebaran virus tersebut ternyata meluas hingga seluruh pelosok dunia, sehingga World Health Organization (WHO) menetapkan COVID-19 sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020.
Peta sebagai salah satu pendekatan geografi dan optimalisasi kecerdasan spasial manusia
Peta penyebaran COVID-19 se-Dunia pun telah disajikan sebagai bagian dari peningkatan kesadaran spasial bahwa virus SARS-CoV-2 ini menyebar tanpa pandang perbedaan lokasi geografis tempat kita tinggal.
Peta sebagai salah satu alat untuk analisis dan bagian dari pendekatan geografi, terutama di bidang epidemiologi maupun kesehatan masyarakat, bukanlah sesuatu hal yang baru dan datang secara tiba-tiba. Terdapat satu sejarah perjalanan pendekatan geografi berbasis analisis peta. Pada tahun 1854, Dr. John Snow seorang dokter dari Inggris yang dikenal sebagai Epidemiolog Modern.
ADVERTISEMENT
Peta mental wujud kecerdasan spasial
Dr. John Snow berhasil mengoptimalkan kecerdasan spasialnya dalam analisis peta untuk melacak sumber wabah kolera di London. Kecerdasan spasial ini merupakan salah satu dari kecerdasan majemuk yang dimiliki oleh manusia.
Hal ini sebagaimana dikemukan dalam Teori Howard Gardner tentang Kecerdasan Majemuk. Bentuk kecerdasan majemuk manusia yang berupa kecerdasan spasial-visual ini. Konon katanya yang membantu manusia dalam merekam dan menggambarkan situasi di lingkungan sekitar ataupun yang dilaluinya.
Saat kuliah dulu, hal semacam itu dikenalkan dengan istilah peta mental. Jadi, setiap manusia memiliki peta mental yang membantunya untuk mengenali lingkungan. Termasuk, misalnya kemampuan untuk dapat menentukan rute, berjalan dari satu tempat ke tempat lainnya. Memori dalam otak yang merekam tiap sudut atau lokasi yang kita lalui dan kita tandai, menjadi sebuah peta mental.
ADVERTISEMENT
Dr. John Snow berhasil dengan baik mengoptimalkan kecerdasan spasialnya dalam menganalisis dan melacak asal usul dari kasus kolera yang melanda di London. Peta John Snow ini sering kali digunakan sebagai contoh dalam analisis spasial menggunakan peta. Peta yang menggambarkan klaster kasus epidemi kolera yang digambarkan oleh Charles Cheffins, seorang ahli kartografi kelahiran London.
Belajar dari Dr. John Snow dan menyadari bahwa kecerdasan spasial yang dimiliki tiap orang, tentunya dapat menjadi pegangan dalam upaya membangkitkan kesadaran spasial lingkungan sekitarnya. Peneliti dari Johns Hopkins Center for Systems Science and Engineering menggunakan peta dalam menggambarkan situasi pandemic COVID-19 di dunia. Peta merupakan salah satu bentuk gambar yang mudah dipahami.
ilustrasi tampilan peta pandemi COVID-19. Photo by Isaac Quesada on Unsplash
Geografi Medis dan Analisis Peta dengan 4P
ADVERTISEMENT
Peta tersebut diharapkan dapat menjadi alat komunikasi yang efektif dan informatif, serta memberikan gambaran utuh dan menyeluruh. Keberadaan perkembangan teknologi pula yang semakin mendukung kemudahan tiap orang untuk membuat peta digital. Pendekatan dan analisis spasio-temporal (berbasis ruang dan waktu) terkait perkembangan situasi pandemi COVID0-19 yang mengglobal ini, melahirkan sejumlah penelitian di bidang geografi medis.
Geografi medis ini memang istilah yang jarang didengar, meskipun sejatinya sekarang ini telah dan sedang diterapkan dalam tiap penanganan serta kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah di berbagai dunia. Bahkan, WHO sendiri memantau secara rutin perkembangan situasi pandemi COVID-19 ini melalui data dalam bentuk angka, grafik, hingga tentunya peta.
Memang jika kita renungkan bersama bahwa situasi epidemi kolera di London dengan Peta John Snow, tentunya tidak bisa dibandingkan dengan situasi sekarang dengan pandemi COVID-19. Penyebaran dan mutasi virus yang cepat semakin menjadi tantangan tersendiri yang sedang sama-sama kita hadapi.
ADVERTISEMENT
Namun, analisis spasial berbasis peta tentunya tetap dapat dilakukan sebagai masukan dalam proses pengambilan keputusan maupun perumusan kebijakan pembatasan mobilitas. Setidaknya terdapat 4 kemampuan dalam analisis spasial ini yang dapat digunakan, yaitu (1) pengukuran, (2) pemetaan, (3) pemodelan, dan (4) pemantauan.
Pengukuran ini berkaitan dengan kemampuan analisis spasial berbasis peta dalam menghitung dimensi panjang, luas, maupun volume suatu unsur atau fenomena geografis.
Nah, situasi pandemi COVID-19 yang melanda sejumlah wilayah di Indonesia ini tentunya dapat diukur cakupan luasan wilayah terdampaknya dengan menggunakan analisis peta.
Kemudian, untuk pemetaan tentunya telah dilakukan dengan apik dan cepat oleh Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. Terbukti dengan sejumlah peta dasbor dan peta sebagai infografis dalam postingan akun media sosial.
ADVERTISEMENT
Analisis spasial melalui pemodelan di Indonesia dilakukan melalui pemodelan spasial dengan penggunaan skor dan pembobotan yang menghasilkan peta zonasi risiko.
Selain itu, ternyata terdapat sejumlah pemodelan lainnya yang dapat digunakan. Misalnya, di Amerika Serikat terdapat pengembang perangkat lunak pemetaan yang membagikan pemodelan dengan nama CHIME (COVID-19 Hospital Impact Model for Epidemics).
Pemodelan ini tentunya akan sangat membantu apabila diterapkan di Indonesia beberapa waktu lalu sebelum terjadi lonjakan kedua. Penggunaan model tersebut akan membantu kita mengenali urgensi kesiapan ketersediaan kamar atau tempat tidur untuk isolasi.
Jika mencermati situasi belakangan ini dan pengumuman dari pemerintah pada hari Sabtu (10/07), yang meminta kesiapsiagaan Pemerintah Daerah.
Siap siaga menghadapi lonjakan kasus aktif COVID-19 melalui peningkatan dan penyediaan fasilitas kesehatan. Kemungkinan, pemerintah telah mengoptimalkan hasil analisis pemodelannya dengan baik.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana dengan pemantauan yang dilakukan Pemerintah Indonesia, terutama dalam penerapan PPKM Darurat?
Jika mencermati pernyataan Jodi Mahardi (05/07) sebagaimana dilansir detik.com, Juru Bicara Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan tampaknya pemerintah telah mengoptimalkan analisis spasial dalam pemantauan PPKM Darurat.
Integrasi data dan tumpang susun informasi hadapi pandemi COVID-19
Jodi menyampaikan bahwa pemerintah menggunakan tiga data utama yaitu data mobilitas (dari Facebook), data keramaian lalu lintas (trafik jalan dari Google), dan citra cahaya waktu malam hari (dari NASA).
Ketiga data tersebut dapat memberikan gambaran spasio-temporal kondisi di suatu kota. Setidaknya di sejumlah kota tertentu yang tersedia datanya dapat diketahui pola pergerakan penduduk dan penumpukan kegiatannya.
ilustrasi mobilitas penduduk. Photo by Fikri Rasyid on Unsplash
Namun, seyogyanya pemerintah juga dapat atau mungkin juga telah melakukan analisis terhadap sejumlah peta turunan. Di antaranya, dapat berupa peta keterisian kamar, peta distribusi dan pelaksanaan vaksinasi.
ADVERTISEMENT
Hingga tidak menutup kemungkinan menyusun peta kesiapsiagaan untuk pendirian shelter hingga fasilitas kesehatan, seperti penentuan lokasi rumah sakit darurat tambahan.
Integrasi dan tumpang susun informasi tersebut di atas, diharapkan dapat memperkuat kesiapsiagaan bersama hadapi kedaruratan pandemi COVID-19 ini. Situasi darurat terkait keterisian kamar, pelaksanaan vaksinasi yang belum mencapai target untuk mencakup seluruh warga tampaknya tidak hanya dihadapi oleh Indonesia.
Kita tidak sendirian dan situasi lonjakan yang terjadi di Indonesia pun ternyata menimpa sejumlah negara lainnya. Pemahaman kondisi geografis terkait situasi global dan lokal pandemi COVID-19 ini, tentunya menjadi bagian dari kecerdasan spasial yang perlu dimiliki oleh kita bersama.
Gambaran kondisi global pandemi COVID-19
Menilik kondisi di tingkat global, hari sabtu ini (10/07), Instagram WHO memposting pernyataan Dr. Maria Van Kerhove, WHO COVID-19 Technical Lead. Pernyataan yang ditayangkan pada tanggal 7 Juli 2021, kondisi dunia saat ini tidak sedang baik-baik saja, situasi global COVID-19 berada pada taraf yang sangat berbahaya.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, beliau menyampaikan gambaran geografis perkembangan situasi global COVID-19. Secara geografis, lonjakan kasus COVID-19 terjadi di berbagai pelosok dunia, baik di Afrika, Mediteranian Timur, Eropa, Asia Tenggara, hingga Pasifik Barat. Hampir lebih dari 24 negara yang memiliki kurva lonjakan kasus COVID-19 yang sangat terjal, hampir vertikal.
Faktor pelayanan kesehatan dan program vaksinasi berada di tangan pemerintah, sedangkan pembatasan mobilitas dapat kembali ke kesadaran tiap orang. Faktor yang paling susah adalah virus dan mutasi variannya. Kecepatan mutasi virus ini tidak bisa kita cegah, penyebarannya yang cepat juga tak terelakkan.
ilustrasi COVID-19. Photo by Martin Sanchez on Unsplash
Secara global, WHO dan berbagai lembaga penelitian telah menyajikan peta situasi pandemi COVID-19 yang diharapkan dapat menjadi peningkatan kesadaran spasial, kepedulian global untuk beraksi di tingkat lokal.
ADVERTISEMENT
Aksi lokal dengan peningkatan kesadaran spasial dan kepedulian sosial
Kecerdasan spasial tiap individu dan peta mentalnya dalam bertindak di tingkat lokal dapat menjadi salah satu kunci peningkatan pemahaman situasi pandemi COVID-19.
Apabila di lingkungan tetangga kita, terjadi lonjakan kasus COVID-19 maka semestinya terbangun kesadaran spasial dan kepedulian sosial kita, dan kemudian kesiapsiagaan kita untuk tetap saling menjaga diri, keluarga, dan tetangga. Karena setiap orang berpotensi sebagai perantara virus tersebut.
Menuangkan peta mental tiap individu ke dalam konsep gotong royong berbagi informasi berbentuk peta dapat menjadi upaya sederhana namun informatif. Peta berbasis desa dengan unit penyajian berdasarkan Rukun Warga (RW)/Rukun Tetangga (RT), tentunya dapat menjadi bagian dari aksi lokal tersebut.
Sebagaimana sering kita lihat, di sejumlah kantor desa atau kelurahan terdapat peta desa yang dipasang di dinding. Kadang lengkap hingga blok rumah, kadang isinya sederhana dengan pembagian wilayah RW/RT.
ADVERTISEMENT
Kita dapat menandai suatu RT dalam zona merah, kemudian dapat pula menginfokan rumah warga yang dalam situasi isolasi mandiri, karantina, dan membutuhkan bantuan warga.
Tentunya, kita juga jangan malu untuk menginfokan jika dalam kondisi tidak baik atau kurang sehat, bahkan memiliki tanda-tanda terkait COVID-19. Hal ini karena, strategi sederhana melawan pandemi COVID-19 ini, dimulai dari kepedulian terhadap diri sendiri dan lingkungan sekitarnya.
Sebagai individu, tentunya membatasi pergerakan dan saling bantu adalah langkah kecil untuk membantu pemerintah dalam menyukseskan penerapan PPKM Darurat maupun PPKM Skala Mikro.
Saatnya menyadari dan memanfaatkan kecerdasan spasial untuk meningkatkan kesadaran spasial dan kepedulian sosial, karena kita dalam hidup bertetangga, berbangsa, dan bernegara.
Jika dulu saja peta mampu menggali sumber wabah kolera, maka di era digital inilah saatnya jadikan peta mental kita untuk bersatu melawan pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini sekedar rangkuman pemikiran yang coba disambung-sambungkan menjadi sebuah rangkaian kata dan harapan. Andai peta mampu berbicara dan berbuat lebih, salah satunya melalui kita sebagai perantara dalam mengkomunikasikan isi peta dengan baik.