Konten dari Pengguna

Sudut Pandang Toponimi: Diplomasi dan Harmonisasi Nama Geografis (1)

Aji Putra Perdana
Seorang Geograf(er) yang mengamati lingkungan sekitar dari sudut pandang geografi. Pemerhati Peta dan Toponim. Saat ini bekerja di Badan Informasi Geospasial.
4 November 2021 11:16 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aji Putra Perdana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu, Indonesia kembali diramaikan dengan usulan nama jalan menggunakan nama tokoh bangsa negara lain. Upaya saling hormat-menghormati dan penguatan kerja sama antara Indonesia sedang terus ditingkatkan.
ADVERTISEMENT
Salah satu yang ditempuh melalui mekanisme tukar-menukar penamaan jalan dengan negara sahabatnya. Hal ini merupakan bagian dari asas resiprokal di dalam dunia diplomatik.
Untuk tulisan bagian pertama ini, saya menjabarkan kembali sedikit pengantar tentang penaman, keberadaan organisasi internasional, dan diplomasi toponimi yang dilakukan Indonesia.

Penamaan Fitur Geografis

Fitur geografis yang diberi nama tersebut meliputi fitur alami dan fitur buatan manusia. Fitur alami meliputi gunung, pulau, laut, hingga unsur bawah laut, sedangkan fitur buatan manusia meliputi permukiman, kabupaten/kota, desa, kampung, hingga lahan terbangun seperti bangunan/gedung, jalan, dan sebagainya.
Fitur tersebut diberi nama sebagai bagian dari pemberian identitas atau penanda sekaligus pembeda antar fitur. Nama geografis itulah yang selama ini kita gunakan sebagai alat komunikasi dan interaksi dalam kehidupan keseharian dan tertib administrasi pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Bahkan nama geografis juga dituangkan dalam peta maupun papan nama di ruang publik serta tersedia di gawai melalui berbagai aplikasi berbasis peta.
Nama geografis lazimnya merupakan hasil kesepakatan kolektif masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Kesepakatan kolektif merupakan upaya kita untuk memudahkan dan meningkatkan pemahaman kita terhadap lingkungan geografis di sekitar kita.
Oleh karena itu, untuk melahirkan ketersediaan nama geografis yang baku perlu adanya pedoman. Pedoman tersebut di antaranya dapat memuat kesepakatan atau prinsip sebagai pegangan bersama, termasuk alur penyelenggaraan pembakuan nama geografisnya.

Urgensi Pembakuan Nama Geografis dan Diplomasi Toponimi

Di tingkat dunia, pakar geografi dan linguistik serta berbagai pakar bidang keilmuan terkait lainnya menyadari bahwa keanekaragaman bahasa, sejarah, dan budaya bangsa membentuk nama geografis yang perlu dibakukan dan dilestarikan.
ADVERTISEMENT
Menyadari hal tersebut, pertemuan terkait nama geografis diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB membentuk kelompok pakar tentang nama geografis yang dikenal dengan nama UNGEGN (United Nations Group of Experts on Geographical Names).
Keberadaan organisasi Internasional ini merupakan upaya untuk saling belajar praktik baik penamaan, sekaligus menyusun kesepakatan bersama yang tertuang dalam sebuah resolusi PBB.
Selain, diskusi praktik baik di tiap pertemuan kelompok pakar PBB tersebut juga senantiasa ada bahasan diplomatik, terkait sengketa toponimi. Salah satu toponimi yang paling ramai dan berulang kali dibahas adalah penamaan Laut Jepang atau Laut Timur.
Teks "Laut Natuna Utara" dalam perbesaran tampilan dari Peta NKRI Edisi Tahun 2017. Kredit Gambar Peta: Badan Informasi Geospasial (sumber: http://portal.ina-sdi.or.id/home/sites/default/files/pta%20nkri.png)
Nah, ternyata keberanian Indonesia membubuhkan nama Laut Natuna Utara pada Peta NKRI Edisi Tahun 2017 juga sempat mencuri perhatian berbagai pihak, terutama respon langsung dari Republik Rakyat Tiongkok.
ADVERTISEMENT
Saya menyebut langkah tersebut sebagai diplomasi toponimi yang lambat laun, akhirnya nama itu “diakui” keberadaannya. Langkah selanjutnya nama tersebut diupayakan tertuang dalam dokumen penetapannya berupa Gazeter Republik Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia diharapkan pada akhir tahun 2021 ini menerbitkan Gazeter Republik Indonesia yang tentunya memuat nama Laut Natuna Utara.

Mengenal Secara Singkat: Odonimi dan Praktik Penamaan Jalan

Selain penamaan laut, tulisan ini akan mengulas odonimi. Beberapa kasus penamaan jalan di Indonesia membuat saya kembali teringat mengenai odonimi sebagai bagian dari diplomasi toponimi.
Odonimi termasuk yang sering digunakan sebagai alat diplomasi toponimi, selain keramaian bahasan penamaan laut. Nama jalan yang saling dipertukarkan diharapkan sebagai alat penguatan kerja sama antarnegara.
Odonimi merupakan ilmu yang mempelajari penamaan jalan, baik terkait asal-usul pembentukan, arti makna, sejarah, sebaran nama, hingga keterkaitannya dengan berbagai bidang keilmuan lainnya.
ADVERTISEMENT
Odonimi sendiri merupakan bagian dari ilmu tentang penamaan fitur geografis yang dikenal dengan bidang keilmuan toponimi. Toponimi ini dipelajari oleh linguistik, geografer, sejarawan, budayawan, dan berbagai profesi keilmuan lainnya.
Nama jalan merupakan salah satu yang paling mudah digunakan untuk diberi nama tokoh sebagai bentuk penghargaan. Di sisi lain, acapkali nama jalan sering menggunakan nama diri orang, baik yang masih hidup maupun sudah meninggal.
Di sisi lain, ternyata penamaan jalan juga dapat menjadi upaya perbaikan hubungan budaya "Jawa-Sunda". Langkah ini dilakukan dengan apik oleh tiga Gubernur di Pulau Jawa.
Acara Harmoni Budaya Sunda Jawa di Surabaya (Foto: Instagram @humasjogja)
Contoh praktik baik nama jalan tersebut adalah rekonsiliasi budaya yang dilakukan oleh 3 provinsi: Jawa Barat, Jawa Timur, dan D.I. Yogyakarta. Kegiatan harmonisasi "Jawa-Sunda" melalui pertukaran penamaan jalan.
ADVERTISEMENT
D.I. Yogyakarta memberi nama Jalan Pajajaran dan Jalan Prabu Siliwangi di ruas jalan jantung Kota Yogyakarta. Di Kota Surabaya, terdapat nama Jalan Sunda dan Jalan Prabu Siliwangi. Di Kota Bandung, terdapat Jalan Majapahit, Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Citraresmi.
***
Besar harapan bahwa kita dapat belajar dari keberanian penamaan Laut Natuna Utara dan juga harmonisasi budaya melalui penamaan jalan di ketiga provinsi. Terutama perlunya memperhatikan makna dari tiap pemberian nama dan keberadaan prinsip nama rupabumi.
Kedua gambaran sederhana di atas menunjukkan dua manfaat toponimi yaitu sebagai alat diplomasi dan rekonsiliasi budaya. Tulisan saya lanjutkan pada bagian ke-2 untuk mengulas lebih lanjut tentang diplomasi odonimi.