Konten dari Pengguna

Toilet Batavia dan Keresahan Tinggal di Ibu Kota

Akbar Maulana
Reporter kumparan Bisnis
30 Agustus 2023 8:30 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Akbar Maulana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Rekomendasi Hotel Bintang 5 Dekat Monas, Foto: Unsplash/Uray Zulfikar
zoom-in-whitePerbesar
Rekomendasi Hotel Bintang 5 Dekat Monas, Foto: Unsplash/Uray Zulfikar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Botol air mineral ukuran 330 ml selalu siaga dibawa ke mana-mana. Isinya selalu kosong karena memang bukan untuk minum. Limbah sekali pakai ini berfungsi sebagai alat bersuci setiap kencing di toilet mewah gedung-gedung elite di Batavia alias Jakarta.
ADVERTISEMENT
Barangkali arsitektur yang mendesain toilet-toilet elite seperti di Hotel Grand Hyatt Jakarta, Hotel Indonesia Kempinski, Ritz-Carlton, Pullman, sampai Shangri-La Jakarta terlalu fokus pada hal-hal mewah. Lantainya dibuat dari marmer, luasnya lebih besar dan megah dibandingkan kamar kos saya di daerah Pasar Minggu Jakarta Selatan yang sebulan dibanderol Rp 700 ribu.
Ongkos Rp 700 ribu sebulan sudah termasuk sebidang alas tidur dan kamar mandi dalam, plus satu sudut ruangan diisi meja kerja tempat membuat berita, tapi tetap tidak ada apa-apanya dibanding fasilitas kencing orang kaya di Ibu Kota.
Bahkan di toilet salah satu hotel yang disebut tadi, ada guci besar bermotif bunga-bunga di dalam tembok pas di atas kloset. Mungkin orang kaya butuh penyedap mata saat buang hajat.
ADVERTISEMENT
Bidang ruangnya pun didesain berbilik-bilik, ada area kloset, beda zona urinoir, tidak satu ruangan juga dengan wastafel. Toiletnya besar dan terbuka, lebih luas dari rumah warga Kampung Bandan, Pademangan, Jakarta Utara
Sejumlah warga beraktivitas di perkampungan padat penduduk tepi rel kereta api di Kampung Bandan, Jakarta, Jumat (14/10/2022). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/tom
Tapi bukannya nyaman dan merasa aman, kencing di toilet mewah seperti itu meresahkan. Kenapa? Karena bersuci susah.
Begini, dalam ilmu fiqih bab thaharah alias bersuci, air kencing termasuk najis mutawasitah atau najis sedang. Cara menyucikannya adalah dengan air mengalir hingga warna, bau, atau rasanya hilang. Iya, jadi 'senapan' itu harus diairi dengan air mengalir. Dan sampai syarat hilangnya najis terpenuhi, tak cukup dengan dibasahi dua tiga tetes air.
Sementara toilet elite di Jakarta didesain tidak begitu. Air yang mengalir dari urinoir merambat melalui dinding dalam urinoir. Memang bagus agar air tak memuncrat mengenai pakaian, tapi bagaimana nasib 'senjata' yang sudah dikokang itu? Tidak mungkin menariknya mundur, kemudian berjalan tanpa pengaman mencari sumber air terdekat.
ADVERTISEMENT
Kencing di kloset pun sama. Di toilet mewah kebanyakan menggunakan bidet yang terpasang di mulut lubang kloset, bukan jet washer terpisah yang bisa diatur kemana air harus disemprotkan. Ini mungkin akan jadi syarat baru teknologi modern, adalah harus memudahkan bersuci sesuai kaidah-kaidah fiqih.
Dengan semua keresahan itu, maka botol mineral 330 ml menjadi solusi jalan keluar. Tapi ini tak selamanya berjalan mulus kalau ada Paspamres Presiden. Kok bisa?
Dari pengalaman pribadi, memasuki wilayah ketika meliput Presiden Jokowi harus ada pengecekan ketat dari Paspampres. Botol mineral itu pun tak jarang disita. Kalau itu terjadi, bersuci pasca kencing jadi tak sempurna, lalu dibuat ibadah juga jadi tidak sah.
Itu masih soal bersuci, belum lagi soal ketersediaan fasilitas tempat ibadah. Di gedung-gedung tinggi pencakar langit, jumlah tempat ibadah sangat minim. Seringnya, hanya untuk menuntaskan kewajiban 3 rakaat sholat harus naik tiga sampai empat lantai, atau turun menuju basement terbawah. Tempatnya juga kecil dan tidak sebagus toilet-toiletnya.
Pemandangan pusat bisnis SCBD Jakarta (Foto: REUTERS/Beawiharta)
Contoh saja, di balik canggihnya kantor PT Roatex Indonesia Toll System lantai 21 Tower Treasury SCBD yang akan mengendalikan multi lane free flow (MLFF) atau tol nirsentuh di Indonesia nanti, tak ada satu pun jengkal tanah yang disediakan khusus sebagai tempat menunaikan ibadah. Padahal pekerjanya nanti harus siap siaga 24 jam mengontrol lalu lintas tol. Ruang dapur pun ada, tempat hiburan juga disediakan, toilet juga pasti ada. Sisanya mungkin yang terlupa.
ADVERTISEMENT
Bukan ingin sok suci apalagi menggurui, ini murni hanya keresahan pribadi. Kalau sudah fasilitas dibangun ramah dengan penyandang disabilitas, maka semestinya tak sulit membuat fasilitas yang juga ramah dengan kaidah beragama.