Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Memori Lima Hari di Belu yang Asri
21 Agustus 2018 6:20 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
Tulisan dari Akhmad Baihaqie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bagi anda yang berencana mengunjungi Belu, NTT, bersiaplah untuk kecewa. Kabupaten di tapal batas ini hanya menyuguhkan dua pilihan menu kenangan. Memori keramahan penduduk Belu yang menawan, serta pesona alam timur yang rupawan. Setidaknya, itulah yang kami rasakan selama lima hari di tepi timur Indonesia itu.

Foto: Bandara AA Bere Tallo, Atambua, Belu
ADVERTISEMENT
Pesona Belu membuka edisi kisah diplomat ke perbatasan. Terik matahari yang lembut dipadu dengan semilir angin sejuk Selat Ombay menyambut kedatangan kami di tanah sahabat, Ray Belu.
Senyum manis masyarakat setempat seakan menyeka keletihan kami selama perjalanan tiga jam jalur udara dari Jakarta.“Selamat Datang di Belu,” sapa Yanto dengan logat khas timur. Selama lima hari ke depan, putra Atambua berkulit sawo matang tersebut akan menjadi juru kemudi selama kami berada di Belu.
Mengawali rangkaian “wisata,” kami menemui Bupati Belu Willybrodus Lay, politisi muda yang baru dua tahun menjabat, di kediaman dinas berasitektur modern dengan nuansa Belu yang unik. Tidak heran, istri beliau adalah pecinta kain tenun asli daerah yang getol mempromosikan kerajinan daerah Belu kepada para sahabat mancanegara.
ADVERTISEMENT
Sikap ramah dan santun sang bupati membuat jamuan yang sederhana tampak elegan, berkelas, dan bersahabat. Kudapan asli daerah sekali-kali menyelingi perbincangan kami mengenai situasi pembangunan Belu menyusul kebijakan Presiden Jokowi “Membangun dari Pinggiran.” “Meski beda partai, saya akui, sebagai bupati Belu, kami merasa diperhatikan oleh Presiden Jokowi,” demikian tutur yang masih lekat dalam ingatan kami.

Foto: Ki-Ka (Kapusdiklat Kemlu, Bupati Belu)
Malam yang sangat berkesan itu ditutup dengan joged Tebe, tarian serempak membentuk lingkaran mengandalkan gerakan kaki dengan rentak irama ngebit dan bersemangat. Bupati, Kepala DPRD, Dansatgas Perbatasan, serta Kapolres turut ambil bagian. Joget Tebe, tidak sepopuler goyang poco-poco atau Maumere, membuat kami merasakan hangatnya sambutan masyarakat Belu. Atmosfir malam itu memancarkan kehangatan emosional yang mendalam.
ADVERTISEMENT
Hebatnya Anak-anak Atambua
Di hari berikutnya, kami menjajal menjadi guru sehari. Kami dibagi ke dalam tiga tim, disebar di SD Wirasakti, SMPN 1 Atambua dan SMA Katolik Suria. Saya mendapat jatah mengajar di SMP. Tidak butuh masa yang lama untuk menyadari, potensi anak Belu sangat beragam dan mengagumkan.

Foto: Suasana saat aken mengajar di SMPN 1 Atambua
Dulu, saat tinggal di Kairo, senior saya menggambarkan, di kota ini, hanya ada wanita cantik, dan cantik sekali. Bahkan bayangannyapun cantik.
Perumpamaan yang sama saya gunakan untk Belu. Di daerah ini, ada dua tipe suara. Merdu dan merdu sekali. Bahkan bergumampun membentuk melodi indah yg membuat telinga terlena, terpana dan terpesona.
ADVERTISEMENT
Impresi ini saya tangkap saat dua siswi SMPN mempersembahkan lagu daerah dan lagu barat dengan suara yang melenakan telinga. Nada yang dikeluarkan sangat lembut dan teratur seakan anak-anak tersebut sudah mampu mengontrol otot-otot vokal dengan baik. Saya berasumsi, kontur geografis yang berbatuan dan menanjak serta iklim yang sedikit panas membuat masyarakat sekitar harus pandai-pandai mengolah napas dalam beraktifitas. Sementar olah nafas adalah kunci agar suara yang dihasilkan berbunyi sangat indah di telinga.

Foto: Nonie, salah satu siswi SMPN 1 Atambua, sedang menyanyikan lagu daerah Belu
Terlebih lagi, saat kami melaksanakan upacara menaikkan bendera, paduan suara anak Belu yang menyanyikan lagu Gugur Bunga di lapangan membuat saya meneteskan air mata. Lekuk suara yang dihasilkan seakan sesuai dengan lirik lagu yang sendu mendayu-dayu. Perasaan saya hanyut dalam irama harmonis lagu dan suara, menyatu dalam perenungan kesedihan bumi pertiwi yang ditinggalkan para pahlawan. Sesuatu yang dinyanyikan dari hati, akan sampai ke hati. Anak-anak Belu menyanyikan dari hati.
ADVERTISEMENT
Selain itu, keberanian anak Timur mendominasi karakter generasi Belu, setidaknya di sekolah-sekolah tempat kami mengajar. Mereka tidak segan bertanya segala macam hal dan menjelaskan apa yang ada di dalam benak mereka.
Berani, tetapi sopan. Sesekali di antara mereka tertawa lepas menciptakan riuh dalam kelas. Namun kegaduhan segera mereda sesaat saya mulai berbicara. Mereka mengerti arti menghormati orang yang sedang berbicara.
Namun, selalu ada karakter baru yang dihadirkan oleh anak-anak Belu. Belum lagi rasa kagum menghilang, kami disuguhkan aksi Joni yang spontan nan heroik saat memanjat tiang bendera untuk memastikan bahwa sang saka merah putih berkibar tegar di hari ulang tahun Indonesia. Sebagian dari kami berdecak kagum, sementara yang lain menganga seakan tidak percaya dengan apa yang terjadi. Di usianya yang relatif muda, tanpa disadari, bibit nasionalisme telah tumbuh subur.
ADVERTISEMENT
Kagum, sedih, dan bangga. campur aduk seperti nano-nano. Namun, kesemuanya memberi efek kejut yang positif bagi kita semua. Itu semua menjadi kesan yang terus terngiang dalam memori tentang anak-anak Belu.
Pesona Alam Belu
Petualangan kami semakin seru kala Mbah Moedin, pawang gaek Sesdilu 61, mengizinkan kami untuk mencicipi pesona alam negeri perbatasan. Bukit Tuamese, berjarak kurang lebih 40 km dari Kota Atambua, jadi pilihan.
Untuk mencapai lokasi, kami melewati jalan yang lengang, namun berkelok dan terjal. Sebagian besar masih kasar dan berbatu. Yanto memacu mobil dengan cukup lihai dan cekatan. Sesekali terguncang, mobil berlarik warna-warni ceria yang kami tumpangi melesat gesit bak mobil ferrari di lintasan formula satu.
ADVERTISEMENT
Tiba di lokasi, anak-anak kecil dengan wajah yang lugu menghampiri kami yang diliputi rasa waswas. Bukan karena anak-anak yang mengerumuni kami, namun lantaran trek bukit yang terlihat sedikit curam.
Namun, melihat anak-anak itu berhamburan ke atas bukit tanpa alas kaki, kamipun memberanikan diri menggapai pangkal bukit yang siap menyambut kedatangan kami. Beberapa dari kami bahkan dituntun oleh anak-anak yang menganggap bukit Tuamese sebagai sahabat karib.

Foto: Trek menuju puncak bukit Tuamese
Puncak bukit menawarkan view beragam yang instagrammable. Di arah utara, terdapat hamparan laut biru dengan gulungan ombak yang memanjakan mata. Di arah sebaliknya, terlihat danau-danau dangkal yang beberapa bagiannya mengering. Menurut penduduk lokal, kala pasang, lokasi tersebut akan penuh dengan air laut. Sementara di sisi lainnya, beberapa spot bebatuan pahatan alam menanti menjadi latar potret selfie para pengunjung.

Foto: Sahabat karib saya, RJ, tengah berpose di Bukit Tuamese dengan latar yang indah
ADVERTISEMENT
Bagi para pelukis, lokasi ini bisa menjadi tempat menggali imajinasi. Selain suasananya yang hening, semburat kuning kemerahan berpadu warna gelap bebatuan bisa menginspirasi kreatifitas kuas pelukis menari-nari di atas kanvas putih. Saya membayangkan, cukup dengan bermeditasi selama 10 – 15 menit, mesin otak kanan kita akan melesat cepat bak pentium intel core i7.
Wisata alam ke Pantai Faularan, membutuhkan waktu tempuh 20 menit dari lokasi Bukit Tuamese, melengkapi sisi plesiran program kunjungan kami ke perbatasan.
Pantai ini termasuk salah satu titik menawan untuk menikmati musik riuh deburan ombak. Menyambut senja sembari memulihkan energi yang terkuras seharian menjadi momen yang tak terlupakan. Tentu hal itu kami lakukan lantaran Mbah Moedin yang umurnya kini memasuki usia Maghrib itu selalu berpesan agar kita tetap enjoy meski berada di tengah kesibukan.
ADVERTISEMENT
Belum banyak pejalan, baik mancanegara maupun lokal, yang mengetahui keberadaan pantai dan menikmati lembutnya sentuhan angin yang berhembus dari utara. Ini tentunya menambah keriangan, seakan suguhan lanskap indah ini disiapkan hanya untuk kami.
Kontur pantainya yang unik dan fotogenik seakan menyeret kami untuk berselfie ria dengan latar belakang matahari yang mulai nampak kelelahan dan bersiap bersembunyi di peraduannya.

Foto: Mbah Moedin menikmati suasan sunset sambil mengamati "cucu-cucunya"
Kembali ke Jakarta
Lima hari adalah waktu yang singkat untuk menikmati segala keindahan yang ditawarkan negeri tapal batas ini. Setiap pertemuan akan selalu ada perpisahan. Bukan perpisahan yang membuat saya bersedih, namun pertemuan yang saya sesali. Menyesal karena bertemu dengan masyarakat Belu yang teramat ramah dan menikmati keindahan alamnya namun harus berpisah pada akhirnya.
ADVERTISEMENT
Saat akan memasuki pesawat dan berjejer rapi di tepi bibir tarmak, tatapan saya tertuju pada kibaran daun pohon nyiur yang berdiri kokoh di samping bangunan bandara. Kota tapal batas ini seakan tiada henti melambaikan tangannya dan menyebut-nyebut nama kami untuk kembali.
