Frekuensi Narasi Oposan Partai Demokrat di Sepanjang Percobaan Kudeta

Bethriq Kindy Arrazy
Esais. Kolumnis. Peneliti Asah Kritis Indonesia. Meminati topik kajian Islam, Sosial, Politik, Budaya dan Media.
Konten dari Pengguna
9 April 2021 8:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bethriq Kindy Arrazy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Frekuensi Narasi Oposan Partai Demokrat di Sepanjang Percobaan Kudeta
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Dua bulan belakangan ini perhatian publik terpusatkan dengan pertikaian di tubuh Partai Demokrat di tengah situasi pandemi korona dan terpaan bencana alam yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Di tengah menguatnya pertikaian tersebut, yang menarik adalah mencermati posisi dan sikap oposisi Partai Demokrat kepada pemerintah.
ADVERTISEMENT
Saya akan mencoba untuk mengurai secara kronologis bagaimana respons Partai Demokrat kubu AHY menghadapi cobaan upaya yang kemudian populer disebutnya dengan kudeta. Dinamika alur perjalanan tanggapan yang disampaikan kubu AHY ini setidaknya yang paling konsisten adalah dengan menghembuskan narasi oposan kepada pemerintahan Jokowi.
Sejak Agus Harimurti Yudhoyono menggelar konferensi pers di kantor DPP Partai Demokrat pada awal Februari lalu, diakui atau tidak—momentum tersebut menghasilkan ledakan perhatian publik.
Muara persoalan yang sekaligus menjadi bahan bakar ledakan perhatian publik adalah peristiwa pertemuan kader senior Partai Demokrat dengan Kepala Staf Presiden Moeldoko yang kemudian sering disebut ngopi-ngopi biasa. Sejak itulah ketegangan di tubuh Partai Demokrat dimulai.
Momen pertama kalinya AHY membongkar dugaan kudeta yang dialaminya inilah, narasi oposan berskala sedang muncul ke permukaan. Sekali pun masih memunculkan dugaan keterlibatan pemerintah, karena dilakukan oleh oknum di lingkaran terdekat presiden Jokowi yakni Moeldoko.
ADVERTISEMENT
Sekalipun masih berupa dugaan karena bersumber pada laporan kader, AHY menyebutkan bahwa upaya kudeta yang dilakukan pihak eksternal yang berada di lingkaran kekuasaan tersebut mendapatkan dukungan penuh dari sejumlah menteri dan pejabat setingkat menteri. Menanggapi dugaan berdasarkan temuannya tersebut, AHY mengirimkan surat resmi kepada Presiden Jokowi.
Seusai konferensi pers pertama tersebut, narasi oposan berskala kuat terus menerus muncul di pemberitaan media massa. Sepanjang awal Februari hingga mendekati akhir Februari, Partai Demokrat Kubu AHY yang cukup intens tampil di memberikan keterangan baik di media cetak, televisi, dan online yakni Herzaky Mahendra Putra sebagai juru bicara AHY karena memiliki posisi di DPP Partai Demokrat. Keterangan yang diberikannya memuat seputar kondisi aktual kubu AHY.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Andi Mallarangeng juga sering tampil sebagai jubir Susilo Bambang Yudhoyono karena posisinya sebagai Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat. Kedekatannya secara personal dengan SBY, Andi dianggap representatif untuk menjelaskan latar belakang sejarah berdirinya Partai Demokrat—termasuk sepak terjang kontribusi SBY di Demokrat.
Baik Andi maupun Herzaki yang masing-masing mewakili suara bapak dan anak ini, sama-sama berada pada satu kubu dalam lingkaran Cikeas. Selama nyaris sebulan penuh, Andi secara eksplisit konsisten menuding keterlibatan pemerintah dalam upaya kudeta kepemimpinan AHY.
Pondasi narasi oposan yang sejak awal dibangun oleh Andi ini kemudian ditransmisikan dan didistribusikan kepada kader lain. Salah satunya yang cukup konsisten dan tampil di media massa untuk menjawab sikap AHY adalah Herzaky. Tetap dalam konten dan konteks yang sama dengan Andi. Situasi terus memanas dengan mengkonstruksi keterlibatan pemerintahan dalam upaya kudeta tersebut.
ADVERTISEMENT
Keduanya cukup konsisten menyebut keterlibatan eksternal dalam upaya kudeta di tubuh Partai Demokrat. Eksternal dapat diartikan menjadi dua makna. Pertama, orang yang bukan kader resmi Partai Demokrat. Kedua, orang yang berada di luar Partai Demokrat, namun memiliki posisi penting di pemerintahan. Maka tidak ada cara lain kecuali dengan menyematkan jabatan politik Moeldoko sebagai Kepala Staf Presiden sebagai bagian dalam struktur pemerintah.
Moeldoko dalam keterangannya yang pertama melalui aplikasi Zoom juga menegaskan, aktivitas yang dilakukan pada pra Februari sehingga meletusnya keterangan pertama AHY di kantor DPP Partai Demokrat agar tidak dengan mudahnya disangkut pautkan dengan Presiden Jokowi. Publik dengan mudah membaca kegagapan Moeldoko saat itu.
Menyadari lawan yang dihadapinya memiliki kekuatan yang besar secara politik, pada 24 Februari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpaksa turun gunung dengan memberikan keterangan resmi bertajuk “Demokrat Not For Sale”. Di sinilah SBY menunjukan emosional yang meledak-ledak dengan gaya bicara dan penggunaan diksi yang sistematis dan terarah sebagai ciri khasnya.
ADVERTISEMENT
SBY membukanya dengan ungkapan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan yang sekaligus menjadi jalan perjuangan Demokrat selama ini. Karena itu, secara terbuka dia meneguhkan diri sebagai bagian dari koalisi rakyat. Hal ini yang kemudian menjadi amunisi politik SBY untuk menyanjung perjuangan kader Demokrat dengan maksud untuk mempertahankan kadernya agar tidak tergoda dan menyeberang ke kubu Moeldoko.
Setidaknya SBY juga menyebut koalisi Presiden Jokowi terlalu kuat dan tidaklah mudah menjadi partai oposisi yang selama ini diperankannya selama 7 tahun belakangan. Maka klaim berkoalisi dengan rakyat adalah pilihan sembari memilih beroposisi dengan pemerintah.
Presiden Jokowi pun sempat mendapatkan sanjungan dari SBY dengan mengatakan sebagai pribadi yang berintegritas. Ungkapan tersebut bila dicermati secara mendalam, juga dapat dimaknai bahwa sesungguhnya secara implisit SBY menginginkan agar Jokowi memberikan teguran keras kepada Moeldoko sebagai pembantu di kabinetnya. Ini juga sejalan bagaiamana SBY merestui langkah AHY dengan menyurati Jokowi setelah konferensi pers pertama yang dilakukannya.
ADVERTISEMENT
Kerasnya hantaman opini yang dibangun Partai Demokrat kubu AHY ini kemudian terdengar oleh Yasonna Laoly. Dalam kisaran waktu 3-4 Maret, beberapa hari sebelum Kongres Luar Biasa—Yasonna menunjukan rasa kekesalannya bahwa yang beredar di media massa, corong kubu AHY yang diwakili Herzaky dan Andi cukup konsisten dan tidak menyurutkan tudingan yang secara eksplisit kepada pemerintah.
Kongres Luar Biasa Partai Demokrat Kubu Moeldoko pun kemudian berlangsung pada 5 Maret di Deli Serdang, Sumatera Utara. Sejak Yasonna menunjukan sikap kesal karena tudingan keterlibatan dan persekongkolan kubu seberang, sepanjang pengamatan saya narasi oposan mengalami penurunan di skala sedang.
Ini bisa dilihat bagaimana konferensi pers AHY pada 5 Maret di DPP Partai Demokrat, beberapa saat di tengah berlangsungnya Kongres Luar Biasa. Tidak banyak atau bahkan tidak ditemukan ungkapan AHY mengaitkan keterlibatan pemerintah dalam aksi manuver yang dilakukan oleh Moeldoko sebagai KSP.
ADVERTISEMENT
Sekalipun berskala lemah, AHY juga menyinggung bahwa ia mengirimkan surat resmi dalam bentuk permohonan kepada Menkopolhukam, Menkumham, dan Kapolri agar KLB yang dinilainya ilegal tersebut dapat dicegah—bila perlu dibubarkan melalui aparat kepolisian.
Apa yang disampaikan AHY, sesungguhnya ingin menunjukan bahwa pemerintah mempunyai wewenang untuk menjaga stabilitas sosial, politik, dan keamanan berdasarkan nilai hukum. Kegiatan dari kelompok yang ditudingnya ilegal tersebut bagi SBY dapat berpotensi menimbulkan kegaduhan sekaligus instabilitas politik dan keamanan. Langkah tersebut, cara AHY sebagai ketua umum dengan cara mengartikulasikan kewenangan dan kekuasaannya untuk menjaga Partai Demokrat agar aman di mata kader-kadernya.
Tidak ketinggalan, malam hari di tanggal yang sama, SBY juga menggelar konferensi pers di kediamannya di Cikeas. SBY dengan gayanya yang khas mencoba melakukan playing victim. Hal ini dapat lihat dalam penjelasan pembukanya.
ADVERTISEMENT
Sebagai bagian dari rakyat, ungkapan ajakan berkabung kepada rakyat atas kondisi yang dihadapi Partai Demokrat yang dipimpin AHY tidaklah tepat. Bagi partai yang sempat terkenal dengan slogan “Katakan Tidak Pada Korupsi”, tentu hal tersebut menjadi paradoks bila mengingat keterlibatan kader Partai Demokrat di level pusat terjaring korupsi kelas kakap.
Bagaimana mungkin, Partai Demokrat yang disebutnya berkabung, rakyat dipaksa untuk merasakan suasana berkabung tersebut. Bagaimana kemudian dengan suasana berkabung rakyat yang uangnya dikorupsi oleh sebagian elite Partai Demokrat. Apakah turut merasakan suasana kebatinan rakyat yang uangnya dirampok oleh mereka?
Seperti AHY, dalam kesempatan tersebut SBY juga menyebut bahwa KLB ilegal tersebut tidak mungkin diberikan izin dan pasti akan dibubarkan polisi. Terselenggaranya KLB dengan mulus, SBY sesungguhnya ingin mengatakan bahwa aktivitas ilegal tak sepantasnya mendapatkan tempat. Kalimat tersebut merupakan cara SBY menyindir pemerintah melalui sikap polisi yang seakan biasa saja.
ADVERTISEMENT
Beberapa hari kemudian, Menkopolhukam Mahfud MD merespons bahwa KLB bagian dari kegiatan berkumpul, berserikat, dll yang dijamin oleh UUD. Mahfud secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa tudingan pemerintah mendukung dan membiarkan KLB berjalan lancar tidak tepat atau salah alamat.
Setelah momentum KLB usai, tudingan kepada pemerintah semakin menurun drastis. Yang sering tampil adalah kubu AHY head to head kubu Moeldoko dan yang tidak terhindarkan adalah tawuran opini yang berlangsung secara liar dan panas.
Sepanjang pengamatan saya, kubu Moeldoko lebih terlihat agresif dan sering tampil menyerang. Misalnya menggelar konferensi pers di Wisma Hambalang yang disimbolkan sebagai titik awal kehancuran Partai Demokrat karena beberapa elite Partai Demokrat dinyatakan terlibat korupsi secara bersamaan.
ADVERTISEMENT
Tidak sampai situ, Moeldoko secara personal juga tampil dan menuding Partai Demokrat sedang disusupi oleh ideologi yang berbahaya. Inilah pertama kalinya Moeldoko memberikan penetrasi politik. Secara umum yang sering tampil adalah para loyalisnya eks politisi senior Partai Demokrat.
Puncaknya, 31 Maret Menkumham Yasonna Laoly didampingi Menkopolhukam Mahfud MD mengesahkan kepengurusan sah Partai Demokrat di bawah kepemimpinan AHY. Peristiwa monumental tersebut yang sekaligus menunjukan gejala narasi oposan berskala lemah pada kubu AHY.
Bisa dilihat bagaimana AHY dalam keterangan terbukanya mengucapkan terima kasih kepada Presiden Jokowi, Menkopolhukam Mahfud MD, Menkumham Yasonna Laoly, Kapolri Listyo Sigit Prabowo, dan sejumlah lembaga pemerintahan terkait karena sudah bersikap objektif.
Dan, pertama kalinya AHY menyebutkan Moeldoko dengan sebutan Jenderal TNI (Purn). Berbeda dengan sebelumnya, penyebutan Moeldoko selalu disertai dengan sebutan KSP—sesuai dengan jabatan politiknya dalam pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Para kader Demokrat kubu AHY terlihat senang. Beberapa kali mengungkapkan ekspresi senangnya dengan bertepuk tangan berulang kali, sesaat AHY mengeluarkan kata-kata yang bertenaga dan bernas.
Turunnya skala narasi oposan ini wajar saja terjadi. Lain halnya bila kubu Moeldoko yang disahkan oleh menkumham. Skenario yang terjadi dan tidak terhindarkan adalah munculnya narasi oposan skala besar tentu tidak bisa dihindarkan akan diangkat kubu AHY sebagai bentuk perlawanan kepada pemerintahan Jokowi. Tidak menutup kemungkinan, termasuk skenario playing victim akan coba untuk diulang untuk mendulang popularitas dan elektabilitas Partai Demokrat dalam pemilu 2024.
Kemudian dapat disadari bahwa langkah politik AHY mengangkat upaya kudeta kepada publik adalah pilihan utama menyelamatkan Partai Demokrat yang dipimpinnya. Sebuah pilihan berpondasi kekhawatiran. Berkaca pada sejarah, keterbelahan parpol selalu berakhir dengan kemenangan kubu penggugat (baca: KLB).
ADVERTISEMENT