Konten dari Pengguna

Problematika Kurikulum Pendidikan Indonesia

Alamsyah Riky Wardana
Mahasiswa Magister Manajemen Pendidikan UNPAM
18 Juni 2024 16:44 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alamsyah Riky Wardana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi seorang guru (https://pixabay.com/id)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi seorang guru (https://pixabay.com/id)
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang guru yang telah mengajar lebih dari lima tahun, saya sering berkaca pada dinamika dunia pendidikan di Indonesia. Namun, di balik dinamika tersebut terdapat tantangan yang seringkali membayangi perjalanan pendidikan generasi penerus berikutnya.
ADVERTISEMENT
Kurikulum yang terus berubah, seolah-olah menari mengikuti ritme kebijakan baru, sering kali membuat kita, para guru, merasa seperti sedang berlari di atas treadmill – bergerak maju namun tidak pernah benar-benar bergerak maju.
Bayangkan, kurikulum di Indonesia sering berubah seiring dengan perubahan cuaca saat musim pancaroba. Mulai awal Rentjana Pelajaran (1947), Rentjana Pelajaran Terurai (1952), Rentjana Pendidikan (1964), Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) (2004), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) (2006), Kurikulum 2013 (K-13), dan Kurikulum Merdeka (2021).
Ketika kita terbiasa dengan suatu sistem, maka akan muncul kebijakan baru dan mengganggu tatanan yang sudah ada. Seperti saat kita belajar keseimbangan di papan selancar, tiba-tiba datang ombak besar yang memaksa kita kembali ke titik awal.
ADVERTISEMENT
Salah satu ironi terbesar adalah kesenjangan antara teori dan praktik. Di atas kertas, program kami terlihat mencolok dengan semua keterampilan dan statistik tercantum dengan jelas. Namun kenyataannya, tidak begitu indah.
Kita sering menghadapi keterbatasan fasilitas, kurangnya sumber daya, dan kondisi siswa yang berbeda-beda. Ini seperti mencoba menanam mawar di padang pasir: dengan tantangannya sangat besar.
Suatu hari, di tengah-tengah kelas yang bising, saya berpikir sejenak. Dalam lingkup organisasi pengajaran dan administrasi yang terus-menerus, pertanyaan muncul di benak saya: “Apakah program ini benar-benar memenuhi kebutuhan siswa?”
Jawabannya seringkali tidak jelas.
Kurikulum yang ada saat ini cenderung terlalu padat, dengan banyak materi namun tidak cukup ruang untuk pengembangan karakter dan keterampilan penting dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga tidak jarang siswa merasa bingung akan masa depan seperti apa yang akan dipilihnya dana pa saja yang harus dipersiapkannya.
ADVERTISEMENT
Pendidikan berkelanjutan membuat kita selalu mengetahui metode pengajaran terkini dan perkembangan teknologi pendidikan. Pada saat itu, kerja sama antar guru juga sangat penting. Diskusi dan berbagi pengalaman dengan rekan kerja mendatangkan banyak inspirasi dan solusi praktis.
Pendidikan bukan merupakan tanggung jawab sekolah semata, namun merupakan tanggung jawab bersama. Dukungan dan partisipasi aktif orang tua dapat menjadi sumber dorongan yang kuat bagi anak untuk belajar lebih baik.
Selain dari pada itu, teknologi juga menjadi jembatan penting untuk membantu mengatasi beberapa kendala terkait kurikulum. Pembelajaran daring misalnya, telah membuka banyak peluang baru, terutama di masa sekarang ini.
Kami menggunakan berbagai platform dan aplikasi untuk menjadikan pembelajaran lebih menyenangkan dan fleksibel. Di sisi lain, pemerintah harus mendengarkan suara kami, para guru di lapangan.
ADVERTISEMENT
Praktik yang dilakukan dari meja birokrasi seringkali tidak sesuai dengan realita di ruang kelas. Dialog yang lebih intensif antara pembuat kebijakan dan penyedia pendidikan diperlukan untuk merancang kurikulum yang benar-benar bermakna dan efektif.
Pakar Universitas Pendidikan Indonesia Dr. Fadjar H. Ramadhan: “Kurikulum yang efektif adalah kurikulum yang dapat disesuaikan dengan dinamika sosial dan kebutuhan siswa. Kurikulum hendaknya fokus tidak hanya pada aspek akademis saja, namun juga pada pengembangan karakter dan kecakapan hidup yang penting.”
Hal ini sejalan dengan pandangan para guru di lapangan yang seringkali merasa bahwa kurikulum terlalu berbobot pada teori dan tidak cukup ruang untuk mengembangkan soft skill yang dapat menunjang karier dan berkehidupan nantinya.
Kementerian Pendidikan yang dimuat dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan juga mencatat bahwa “Peran guru sebagai pembaharu pembelajaran sangat penting untuk mengatasi keterbatasan kurikulum. Pembaruan yang dilakukan guru dapat membantu dalam menciptakan pembelajaran yang lebih bermakna dan berkesan bagi siswa.”
ADVERTISEMENT
Peneliti pendidikan Dr. Rita Pranawati menekankan pentingnya kurikulum adaptif. Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Educational Sciences, ia mencatat bahwa “kurikulum adaptif adalah kunci untuk menghadapi tantangan zaman. Guru harus diberikan kebebasan untuk mengadaptasi materi pembelajaran sesuai dengan kondisi dan kebutuhan siswa.”
Posisi ini menekankan perlunya fleksibilitas dalam penerapan kurikulum untuk menjawab tantangan lapangan. Pada akhirnya, perjalanan menuju pendidikan yang lebih baik adalah sebuah maraton, bukan lari cepat. Tantangan khusus ini bisa seperti bayangan panjang di sore hari, selalu ada dan terkadang menakutkan.
Namun, dengan dedikasi dan kerja keras serta dukungan semua pihak, kita akan bias melewatinya. Kita mungkin tidak sempurna, namun semangat untuk terus belajar dan mengajar tidak pernah pudar. Mari kita bersama-sama membangun masa depan pendidikan Indonesia yang lebih cerah, selangkah demi selangkah.
ADVERTISEMENT