Jaminan Ruang Aman bagi Perempuan

Aldi Setiawan
Mahasiswa Agribisnis Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Konten dari Pengguna
28 November 2021 7:26 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aldi Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Korps PMII Putri Universitas Sultan Ageng Tirtayasa melakukan aksi refleksi dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Seksual Terhadap Anak (Dokumen pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Korps PMII Putri Universitas Sultan Ageng Tirtayasa melakukan aksi refleksi dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Seksual Terhadap Anak (Dokumen pribadi)
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu kementerian pendidikan dan kebudayaan secara resmi mengeluarkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan perguruan tinggi.
ADVERTISEMENT
Kebijakan tersebut tentu salah satu langkah progresif yang dilakukan mas menteri Nadiem Makarim, meskipun baru dikeluarkan setelah banyak laporan dan peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan di lingkungan kampus.
Namun nampaknya masih ada sebagian pihak yang menolak Permen tersebut dengan alasan-alasan yang cukup tidak masuk akal. Mempermasalahkan frasa "tanpa persetujuan korban" dan kemudian menafsirkannya dengan “pelegalan seks bebas”. Tapi sudahlah, meski agak keluar konteks dari tujuan dikeluarkannya Permen tersebut, saya rasa pendapat mereka tetap harus kita hargai dan mudah-mudahan mereka yang menolak punya langkah yang lebih jitu nanti di kemudian hari, yang lebih syariah dan Islami serta yang benar-benar tidak membuka ruang untuk melegitimasi perbuatan seks bebas.
Namun sebelumnya, saya tidak akan mengulas Permen tersebut, di sini saya akan mengemukakan pendapat saya, mengapa Permen tersebut benar-benar urgen untuk segera dilaksanakan di lingkungan perguruan tinggi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kampus-kampus di Indonesia memang bukan hanya terdampak pandemi COVID-19, pandemi berbahaya lainnya yang sudah lebih dulu menjamur dan sudah akut serta sulit dihilangkan adalah ‘pandemi kekerasan seksual terhadap perempuan’.
Dari kacamata sejarah sekalipun, perempuan memang selalu dianggap makhluk yang inferior. Bahkan seorang Aristoteles, yang kita kenal sebagai bapak filsafat dunia pernah mengatakan, “perempuan adalah laki-laki yang tidak lengkap atau seolah-olah cacat”.
Pemikiran tersebut kemudian menjamur hingga hari ini yang kemudian membentuk paradigma sosial yang patriarki serta membuat perempuan sangat rentan menjadi objek kekerasan seksual. Kontruksi seksual yang sangat dipengaruhi budaya patriarki tersebut kemudian melahirkan ketimpangan gender.
Ketimpangan gender yang terjadi pada perempuan, membuat perempuan masih mendapat stigma, stereotipe, termarginalisasi, hingga mengalami kekerasan berbasis gender.
ADVERTISEMENT
Hari ini, ada banyak perilaku-perilaku yang dikelompokkan sebagai bentuk kekerasan seksual, seperti perkosaan, intimidasi seksual, pelecehan seksual, dan masih banyak jenis lainnya. Selain itu, di era serba penggunaan gawai hari ini, kekerasan seksual sudah merambah sampai kepada ranah digital, atau kita mengenalnya KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online), dan yang parahnya terkadang kita tidak sadar bahwa aktivitas online kita sudah masuk ke dalam bagian dari pelecehan seksual tersebut.
Kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia sendiri bisa terjadi di mana saja dengan pelaku siapa saja. Kekerasan seksual ternyata tidak hanya terjadi di ruang-ruang privat, namun di ruang public sekalipun, seperti di jalanan, transportasi umum, dan bahkan di perguruan tinggi sekalipun.
Menarik memang jika kita melihat realita hari ini, perguruan tinggi tempat mencetak manusia-manusia intelektual ternyata menjadi tempat yang berbahaya bagi perempuan. Bahkan, menurut mendikbud-Ristek pada tahun 2019, kampus menempati urutan ketiga lokasi terjadinya kekerasan seksual (15%), setelah jalanan (33%) dan transportasi umum (19%).
ADVERTISEMENT
Selain itu, masih dari survei Kemendikbud-Ristek tahun 2020, ternyata ada 77% dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63% dari kasus tersebut tidak melaporkannya kepada pihak kampus, dengan mayoritas korbannya adalah perempuan.
Para pelaku kekerasan seksual juga bisa berasal dari pihak mana pun tanpa bisa kita duga-duga. Mulai dari dosen, mahasiswa atau staf dan pekerja kampus lainnya. Maraknya kejadian kekerasan seksual ini disinyalir salah satunya karena kegagalan pemerintah dan kampus untuk memberikan ruang aman bagi perempuan.
Salah satu faktor utama yang memicu terjadinya kasus kekerasan seksual adalah adanya ketimpangan relasi kuasa. Keadaan ini biasanya mendorong pelaku yang memiliki kuasa lebih tinggi untuk melancarkan perbuatannya.
Di sisi lain, ketidakberanian korban untuk melapor karena khawatir atas minimnya perlindungan identitas bagi korban, sehingga mereka takut identitas mereka diketahui publik yang kemudian berdampak kepada kesehatan mental mereka.
ADVERTISEMENT
Ketakutan korban untuk melapor juga biasanya dikarenakan ada intervensi dan ancaman dari pihak lain. Seperti yang paling sering saya dengar ialah, korban khawatir dianggap mencemari nama baik kampus.
Melihat dari minimnya perlindungan yang diberikan kampus dan malah cenderung memaklumi, membuat kasus demi kasus terus-terusan terjadi. Kekosongan payung hukum terhadap kasus kekerasan seksual, membuat peluang bagi calon pelaku untuk menjalankan aksi bejatnya. Kampus yang harusnya melindungi korban sebagai bentuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, malah mencoba untuk menutup-nutupi.
Berangkat dari latar belakang tersebut, maka saya rasa Permendikbud 30/2021 menjadi sesuatu hal yang penting. Korban akan memiliki payung hukum dan prosedur yang jelas dalam mencari keadilan. Selain itu, kampus akan memiliki tanggung jawab untuk mencegah kasus kekerasan seksual dan memberikan ruang aman bagi perempuan.
ADVERTISEMENT