Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sepak Bola, ‘Baku Hantam’ dan Hiburan Masyarakat
29 Desember 2021 14:13 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Aldi Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Senang rasanya melihat anak-anak muda timnas Indonesia bisa bicara banyak pada kancah tertinggi sepak bola ASEAN. Setelah sukses membuat tuan rumah hanya menjadi penonton di laga final nanti, timnas Indonesia akan mati-matian di laga final berhadapan dengan tim gajah perang, Thailand. Kita doakan saja, mudah-mudahan punggawa timnas Indonesia bisa membawa Piala AFF ke tanah air kita tercinta dan menjegal tren runner up seperti sebelum-sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Di balik kesuksesan timnas hari ini yang mampu mencapai final piala AFF, nampaknya sepak bola Indonesia masih harus banyak dievaluasi. Di luar kejuaraan AFF ini, pergelaran liga di Indonesia, khususnya liga 2 dan liga 3 masih jauh disebut dengan sepak bola modern. Banyak oknum-oknum dari federasi sepak bola kita yang terduga jadi mafia. Bahkan wasit dan pemainnya juga.
Beberapa waktu lalu, sempat ribut-ribut masyarakat ketika ada pengakuan dari seseorang yang mengaku wasit tentang bobroknya dunia sepak bola di panggung mata najwa. Sampai-sampai program tersebut dilaporkan polisi oleh PSSI. Sudahlah, saya tidak akan membahas hal itu, tapi saya mau mengajak para pembaca untuk mengingat-ngingat kejadian ‘baku hantam’ yang terjadi di sepak bola resmi gelaran PSSI.
ADVERTISEMENT
Sepak bola itu hiburan bukan ajang 'baku hantam'.
Sepak bola itu untuk hiburan, kok masih banyak yang sering baku hantam. Apa jangan-jangan para pemain, federasi dan masyarakat lebih terhibur dengan sepak bola yang ada ‘baku hantamnya?’.
Jelas sekali, sepak bola Indonesia hari ini masih jauh sekali dari fitrah yang sebenarnya, hiburan. Apalagi kalo kita bandingkan dengan sepak bola Eropa. Jauh, sangat jauh sekali. Jarang sekali saya lihat pemain sepak bola Eropa ‘adu sprint’ dengan wasit karena keputusannya dianggap merugikan. Para pemain menghormati keputusan wasit dan protes sewajarnya. Harusnya PSSI bisa belajar dari Eropa soal pengembangan kualitas wasit.
Bukan hanya antara pemain dan wasit, ‘baku hantam’ yang terjadi di Indonesia itu sering terjadi juga antara sesama pemain sepak bolanya. Saya rasa saya tidak perlu menunjukkan data-datanya, kalian cek saja di internet, banyak. Selain jago main bola, sepertinya para pemain sepak bola Indonesia dilatih berbagai seni bela diri. Bisa kita lihat, bagaimana lihainya Syaiful Indra Cahya ketika melayangkan tendangan kungfunya ke wajah pemain Persiraja saat laga uji coba pada tanggal 6 September 2021 kemarin.
Wajar jika ada yang bilang, "Indonesia itu keren, satu tiket bisa menonton dua pertandingan, sepak bola dan MMA".
ADVERTISEMENT
Saya sedikit heran, kenapa para pemain lokal kita memiliki mental emosian, dan yang lebih heran lagi kenapa orang-orang bermental emosian malah memilih bermain sepak bola? Sedikit dorong-dorongan ya wajar, dijatuhkan juga wajar. Namanya juga sepak bola, satu bola diperebutkan 22 orang kok.
Ada contoh lain yang membuat saya tertawa tergelitik karena merasa lucu dan miris. Kalian pernah lihat seorang anggota dewan ‘dibogem’ pemain sepak bola? Saya rasa jika kalian pengguna internet pasti tahu tentang berita tersebut.
Bayangkan, seorang anggota Dewan dari kota pasuruan bisa-bisanya dipukul oleh pemain sepak bola di tengah lapangan. Kemudian dibalas oleh terjangan bapak TNI yang kebetulan ada di lokasi kepada sang pemain. Di lapangan kan sudah ada wasit, jadi bapak dewan ini sebetulnya mau ngapain sih masuk lapangan?
ADVERTISEMENT
Sungguh kolaborasi yang sempurna antara pemain, bapak Dewan, dan aparat negara dalam mewarnai sepak bola untuk menghibur masyarakat Indonesia.
Selain mental yang emosian, nampaknya attitude juga menjadi sorotan publik hari ini. Beberapa waktu lalu netizen sempat dibuat geram oleh perilaku dari mantan pemain Timnas Indonesia, Patrick Wanggai. Bisa kita bayangkan, mantan pemain timnas yang pastinya masyarakat itu mengenalnya, melakukan tindakan tidak senonoh ketika pertandingan liga 2 antara Sulut United melawan Dewa United, dia memamerkan kelaminnya ke penonton di stadion yang saat itu menyaksikan pertandingan.
Kecewa ya boleh-boleh saja, tapi jika sampai memamerkan seperti itu ya tidak perlu, toh penonton juga sudah punya. Wajar jika netizen marah, panggung hiburan malah digunakan hal yang tidak senonoh seperti itu.
ADVERTISEMENT
Sejak dulu masyarakat Indonesia itu sudah ‘gila bola’. Kefanatikan masyarakat Indonesia diwujudkan dengan kemunculan basis-basis besar suporter dari masing-masing tim di Indonesia. ada the jak, bobotoh, aremania, bonek mania, dan masih banyak lainnya.
Kadangkala suporternya malah yang tidak dewasa. Lempar botol ke lapangan, menghina wasit, melempar batu ke bus pemain lawan bahkan sampai masuk lapangan pertandingan. Jadi masalah sepak bola itu juga ada pada oknum penontonnya yang kadang belum dewasa. Sejak awal saya sudah katakan “sepak bola itu hiburan”, kalo sampai memakan korban, itu tragedi namanya dan bisa mewariskan dendam ke generasi selanjutnya.
Pekerjaan rumah PSSI itu banyak, bukan hanya membuat timnas kita bersinar di kancah global, tetapi bagaimana memperbaiki sepak bola dalam negeri. Bagaimana timnas kita bisa juara dunia, kalo liganya masih disebut netizen sebagai liga ‘dagelan’? Bagaimana timnas kita mau disegani, kalo pemain dan suporternya masih bermental suka tawuran?
ADVERTISEMENT
Terakhir, tentu saya dan pembaca berharap sepak bola Indonesia bisa lebih baik lagi. Jika sepak bola ingin baik, tentu federasinya pun harus baik. Perbaiki birokrasi dan regulasi, berikan pendidikan mental dan attitude para pemain dan suporter, tingkatkan kualitas wasit, dan yang tidak kalah penting adalah jujur dan terbuka kepada masyarakat.