Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Memasak Air Mata di Dapur Ibu
26 Desember 2021 18:25 WIB
Diperbarui 5 Februari 2022 15:09 WIB
Tulisan dari Alegori Senja tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Baca juga tulisan sejenis ini di Alegorisenja.com
Definisi rumah kian hari kian berubah. Atap rumah tidak terdiri dari susunan genteng yang rapi, melainkan payung yang senantiasa siap melindungi kepalaku dari sengatan mentari. Pondasi rumah bukanlah beton yang kuat nan kokoh, melainkan kepercayaan yang dibangun atas dasar cinta. Sekat di dalam rumah bukanlah dinding yang tebal, tapi jarak yang menghalangi pertemuanku atas kedua bola mata sayumu.
ADVERTISEMENT
Dan benar, dewasa ini orang-orang di luar sana sering bertanya
Haruskah ku jawab lantang pertanyaan itu dengan namamu, bu. Tak peduli seberapa kuat dan dewasanya diriku, di mata ibu, aku tetap anak kecilnya. Saat usiaku baru lewat satu lustrum, aku berpegang teguh pada lengan ibu, bergelayut pada sudut bibirnya.
Aku pun mulai menjadi perajuk kala mataku terbuka sedang ibu tidak berada disana, kendati semua resah, gelisah dan susah berubah menjadi tawa saat aku pulang menuju keharibaan ibu.
Matahari dan bulan pun bergantian melahap waktu, hingga tak terasa aku sudah berusia dua kali dasawarsa. Dua tahun belakangan ini kulalui dengan menghabiskan waktu di kamar kost, duduk di bangku kuliah sambil mendengarkan dosen ceramah, nongkrong bersama teman-teman, dan juga tenggelam dalam pelukan kekasih. Aku hampir tak pernah pulang ke rumah, barang menengoknya melalui telepon saja sangat jarang.
ADVERTISEMENT
Hingga dua puluh dua Desember—saat story WA ku penuh dengan ucapan selamat hari ibu—aku memilih untuk pulang ke rumah, benar-benar pulang ke rumah.
Siapa yang menyangka bahwa rumahku yang bernama IBU itu bisa tua.
Mungkin ini adalah saat yang tepat bagi kita untuk menyingkirkan ego dan mulai memperhatikan ibu. Pahlawan kehidupan, malaikat yang kedua sayapnya tak pernah kau ketahui keberadaannya.
Mari masuk ke kamar ibu, memijat kakinya sembari bercerita tentang apa pun. Hingga ibu perlahan tidak merespons ceritamu, dan kau biarkan ibumu tertidur dalam penatnya mengurusmu dari belia hingga dewasa. Saat tidur cobalah perhatikan lamat-lamat wajah ibumu, pancaran cahaya semangatnya tak pernah padam walau usianya perlahan dimakan senja. Hampir seluruh rambut memutih, kerut di wajahnya pun semakin banyak, tanda bahwa pahlawanmu pun bisa menua. Saat kau memijat kakinya, kau baru sadar bahwa kaki ibu mulai kurus, porsi makannya yang mulai dikurangi tersebab pembatasan makanan demi kesehatan ibu yang tak akan pernah sama seperti dulu lagi. Dan tanpa sadar, air matamu mulai menetes mengetahui semua hal itu.
ADVERTISEMENT
Genggamlah tangan ibu, tangan yang sudah tak sekuat dulu lagi. Rasakan genggaman tangan yang menimangmu kala kau bayi. Ingatkah kau dengan gandengan tangan ibu saat kali pertama masuk TK. Mencubitmu karena kenakalanmu sendiri, mengobatimu saat kau sakit, menyuapimu saat kedua tanganmu tengah sibuk mengerjakan tugas sekolah.
Mungkin ini adalah saatnya bagi kita untuk kurang mementingkan diri sendiri, dan mulai menjenguk hati ibu, hati yang selalu penuh diisi oleh anak-anaknya, hati yang penuh dengan ingatanmu semasa TK, berlarian, terjatuh, menangis, dan entah mengapa usapan tangis dari ibu selalu bisa menenangkan.
Malam ini aku pulang, bu. Jika tidak melalui memijat kakimu, mungkin aku menempuh jalan lain, menangis dalam mendoakanmu.