Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Perlindungan Hukum Kekerasan pada Kelompok Rentan
13 Februari 2021 14:06 WIB
Tulisan dari Alek Sudirman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Darurat kekerasan terhadap kelompok rentan sudah terjadi beberapa tahun terakhir. Saat membaca timeline berita baik di lokal dan nasional, kekerasan pada perempuan secara fisik, psikis, seksual, dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) selalu menjadi topik yang memprihatinan. Bahkan sejak zaman Yunani kuno sudah ditemukan di mana saat itu kaum perempuan menjadi korban sistem patriarki.
ADVERTISEMENT
Kedudukan wanita jauh keterbelakangan menjadi korban kekerasan seksual, fisik, dan psikis dikarenakan perempuan hanya dianggap sebagai penghasil keturunan dan objek prostitusi sebagaimana pemikir filsuf saat itu yakni Aristoteles berpendapat bahwa perempuan hanyalah setengah laki-laki, hanya bedanya saat ini tingginya angka kekerasan pada kelompok rentan bukan hanya bicara jumlah melainkan bentuk-bentuknya yang semakin luas mulai dari bentuk klasik hingga memasuki dunia digital. Saat ini di mana pelecehan terhadap seseorang dilakukan melalui media internet dengan konten pornografi dan diskriminasi.
Lebih prihatin lagi di mana saat itu diskriminasi terhadap kaum perempuan pada lembaga hukum yakni perempuan tidak dapat bersaksi atau ditolak kesaksiannya pada persidangan yang saat ini dikenal pada dunia hukum yakni unus testis nulus. Testis artinya satu saksi bukanlah saksi, prinsip ini merupakan ungkapan sejarah saat itu menggambarkan jenis kelamin laki-lakilah yang dapat bersaksi di pengadilan atau bahkan perempuan tidak mendapat hak pilih dalam hak sipil politik.
ADVERTISEMENT
Negara seharusnya menjamin akan hak-hak perempuan sama halnya dengan laki-laki, sebagaimana normatif telah diatur dalam konstitusi UUD Tahun 1945 bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama tanpa memandang latar belakang, suku ras, agama, gender, dan menjamin akan Hak Asasi Manusia (HAM) bagi setiap orang.
Kelompok rentan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 5 ayat 3 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) disebutkan bahwa kelompok rentan tidak hanya perempuan dan anak saja namun termasuk juga fakir miskin, orang lansia dan penyandang cacat, sementara dalam Human Rights Reference disebutkan yang termasuk kelompok rentan antaranya, perempuan, anak-anak, suku terasing, kaum minoritas, buruh migran, dan pengungsi. kelompok rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih khusus dikarenakan kelompok ini rentan menjadi korban akan kekerasan dan diskriminasi.
ADVERTISEMENT
Di indonesia eksistensi perjuangan hak perempuan yang menjadi gerakan feminisme masih menjadi ambiguitas negara yang dicita-citakan menjadi negara demokrasi. Namun pada hal ini negara sama halnya sistem teokrasi atau oligarki, di mana kesetaraan perempuan dan laki-laki masih menjadi konflik gender yang tak usai dimulai dari perjuangan Tokoh RA Kartini dalam memperjuangkan hak-hak perempuan di kehidupan pendidikan dan sosial.
Untuk memperjuangkan emansipasi wanita dalam mewujudkan keadilan bagi perempuan dan persamaan hak antara perempuan dengan laki laki. Dalam tulisannya Kartini ingin membebaskan perempuan dari kemiskinan dengan menjadikan perempuan berpendidikan untuk ikut serta dalam kemajuan bangsa.
Namun yang perlu ditekankan bahwa feminisme atau emansipasi wanita sebagaimana dimaksud bukanlah semata ingin menjadikan perempuan berhadap hadapan dengan laki-laki, perempuan lebih dominan dalam rumah tangga ataupun menghilangkan kedudukan laki-laki sebagai kepala keluarga. Pola pikir yang harus dibangun ialah perempuan memiliki hak dan kedudukan yang sama dalam kebutuhan dasarnya, mendapat pendidikan pengetahuan teknologi, dan kualitas hidupnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
ADVERTISEMENT
Sehingga perdebatan ini sering menyentuh ranah kebudayaan dan agama yang kadang saling dibenturkan secara empirik agama sudah dahulu melarang perbuatan tersebut.
Stereotip dengan anggapan perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi, lalu dianggap tugas utamanya hanyalah melayani suaminya di dapur. Sumur tidak akan bisa dibawa ke meja perundingan misalnya, padahal melainkan ingin membebaskan perempuan dari jurang kemiskinan atau rendahnya tingkat pendidikan pada perempuan sehingga timbul kekerasan dalam rumah tangga, tingginya angka perceraian, dan penelantaran anak yang bermuara pada masalah sosial ekonomi.
Data menunjukkan angka kekerasan pada perempuan dan juga anak masih tinggi. Menurut data dari SIMPONI PPA Kementerian PPPA selama Tahun 2020 tercatat 6.554 kasus kekerasan terhadap perempuan, sedangkan Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan anak Kota Jambi menyatakan selama tahun 2020 terjadi 130 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, dengan rincian 77 kasus KDRT, 26 kasus seksual dan pencabulan terhadap anak serta 27 kasus penelantaran serta kekerasan pada anak belum lagi pada skala nasional begitu marak kasus serupa terjadi.
ADVERTISEMENT
Semua itu merupakan tindakan patriarki yang kemudian menjadi pelaku diskriminasi terhadap kaum rentan, kejahatan, dan kekerasan seksual. Mindset dan stereotip permasalahan kompleks tersebut yang menjadi pekerjaan rumah bagi bangsa dan negara.
Pendekatan Hukum
Pendekatan pada permasalahan sosial ini tentu tidak bisa diupayakan dengan cara-cara biasa ataupun menyerahkan pada aparat penegak hukum saja. Dikarenakan permasalahan ini sangat kompleks dan komprehensif, mulai dari lingkungan terkecil keluarga sampai regulasi produk perundang-undangan dan kebiasaan yang nantinya akan memengaruhi eksistensi dari hukum itu sendiri. Para ahli menilai ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Pertama hukum itu sendiri, kedua penegak hukum, ketiga sarana prasarana dan fasilitas, dan keempat faktor masyarakat serta kebudayaan.
Menurut Soeryono Soekanto, hukum mempunyai tiga dimensi, yaitu sebagai nilai, kaidah, dan perikelakuan. Kaidah ilmu hukum itu sendiri sangat terbatas untuk menjamin dan mempengaruhi penegakan hukum, maka perlu pendekatan dan langkah-langkah yang efektif dan prioritas negara.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini aparat penegak hukum dan lembaga legislatif pembentuk undang-undang memerlukan pendekatan dimensi perilaku yakni sosiologi hukum dan antropologi hukum. Sosiologi hukum melihat hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya sedangkan antropologi hukum melihat hukum dari gejala kebudayaan sebab proses penyelesaian hukum.
Dari pendekatan perilaku hukum warga masyarakat, sejauh manakah hukum membentuk pola-pola perilaku? Ataukah hukum yang terbentuk dari pola-pola perilaku tersebut? Dari kasus yang berkenaan dengan kekerasan terhadap perempuan dan anak seharusnya hukum bisa membentuk,mengontrol, dan menjamin akan kesejahteraan yang terbebas dari cengkeraman oligarki patriarki.
Dengan cara di antaranya, menguatkan partisipasi politik perempuan dalam posisi sentral jabatan negara. Untuk posisi strategis dalam menentukan kebijakan tentu memperjuangkan hak keterwakilan perempuan dalam kursi calon legislatif yakni kuota 30% keterwakilan perempuan yang telah diberikan negara. Menanamkan pemahaman dengan sosialisasi mengenai kekerasan pada perempuan dan anak, serta keikutsertaan peran orang tua anak, lingkungan sekolah, tokoh agama, dan adat serta seluruh stakeholder untuk bersinergi.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya perlunya peran partai politik yang peduli dan sadar akan pentingnya partisipasi perempuan dalam pembinaan perempuan yakni dengan membentuk program strategis dalam Anggaran Rumah Tangga Partai menjadi program wajib dalam program pembinaan berkelanjutan.
Terakhir, perlu disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang saat ini masuk dalam prolegnas DPR 2021 sebagai upaya preventif atau pencegahan di mana ada beberapa poin penting dalam RUU PKS yang diharapkan mampu menekan pencegahan kekerasan terhadap perempuan dengan menambah bentuk kekerasan seksual yang dapat dikenakan delik.
Hukum acara yang berpihak pada korban, perlindungan, dan pemulihan korban. Di mana sebelumnya sudah ada Undang-Undang berkaitan yang terpisah di antaranya UU PKDRT, UU Perlindungan Anak, UU Sistem peradilan Anak, UU perlindungan saksi dan korban namun UU yang telah ada tersebut hanya bersifat penghukuman pada pelaku setelah terjadi korban. Misalnya Sanksi pidana bagi Pelaku, bahkan Presiden telah mengesahkan PP 70 Tahun 2020 tentang pelaksanaan kebiri kimia namun masih belum sinkron antara harapan dan kenyataan (Das Sollen dan Das sein).
ADVERTISEMENT
Oleh: Alek Sudirman S.H
*PENULIS MERUPAKAN PRAKTISI HUKUM DI LBH PINANG MERAH KEADILAN JAMBI, DAN DI KANTOR ADVOKAT ABDURRAHMAN SAYUTI DAN REKAN.