Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Keamanan Berpolitik dalam Fenomena "The King of Lip Service"
9 Juli 2021 10:47 WIB
·
waktu baca 4 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 13:57 WIB
Tulisan dari Fatchiyyah Robiah Al Adawiyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kita tentu sudah tidak asing lagi dengan julukan 'The King of Lip Service' yang disematkan pada presiden ketujuh Indonesia, Joko Widodo, yang sempat viral belakangan ini. Bermula dari unggahan poster satire BEM UI di akun Twitter resminya pada 26 Juni lalu, beragam polemik dan opini publik kian bermunculan selepas itu. Tentunya pembacaan matang telah dilakukan mahasiswa UI untuk membuat istilah terhadap ungkapan janji-janji presiden yang tidak lebih dari sekadar bentuk ucapan di bibir semata. Kita tahu selama pemerintahan periode kedua, kebijakan Presiden Jokowi kerap menuai kontradiktif. Fenomena mahasiswa turun ke jalan pada setiap tahunnya sejak 2019 sampai para buruh yang turut turun menyuarakan penolakan RUU Cipta Kerja sudah cukup jelas mengindikasikan bahwa ada yang tidak beres pada sistem pemerintahan rezim Indonesia saat ini.
Salahkah Mengkritik Presiden?
ADVERTISEMENT
Bukanlah sebuah anomali manakala masyarakat menggunakan suaranya untuk menuntut keadilan dan mengkritik kinerja pemerintah dalam suatu negara yang menganut sistem demokrasi. Kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat di muka umum merupakan hak asasi manusia paling fundamental dalam kehidupan. Hal ini diakui dan dilindungi pula dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 7 UU No. 9 tahun 1998. Sudah sepatutnya Indonesia sebagai negara demokrasi menampung aspirasi rakyat untuk menjadi alat kontrol bagi keseimbangan iklim demokrasi itu sendiri. Lagipula tindakan mengkritik presiden bukanlah perilaku kriminal yang dapat mengancam kedaulatan negara seperti gerakan separatis maupun terorisme. Justru dengan adanya kritik, diharapkan pemerintah dapat memperbaiki kebijakan sesuai dengan cita-cita bangsa negara Indonesia untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakatnya.
ADVERTISEMENT
Perlu diketahui pula, mengkritik kinerja dan tindakan kontradiktif pemerintah bukan berarti menentang negara. Sebab pemerintah hanyalah representasi negara yang memiliki periode kebijakan tertentu, bukan bersatu atau manunggal selamanya dengan entitas negara. Julukan 'The King of Lip service' sebagai upaya menyindir kinerja pemerintah di bawah pimpinan Jokowi nyatanya selaras dengan kondisi lapangan. Seperti misal janji swasembada pangan pada kampanye Jokowi dulu yang masih belum terwujud. Nyatanya sampai sekarang pemerintah masih banyak mengimpor berbagai pangan seperti beras, jagung, gandum, dan lainnya dari negara luar. Selain itu kita dapat lihat ada janji seperti revisi UU ITE yang justru malah semakin jauh dari kaidah demokrasi, ke mana juga janji memperkuat KPK? Atau bagaimana dengan kabar UU Cipta Kerja?
ADVERTISEMENT
Omongan yang hanya fasih di lidah tidak hanya terlontar untuk janji-janji manis saja, tapi tindakan Jokowi yang meminta MK menolak semua gugatan tentang UU Cipta Kerja pun tidak sejalan dengan perkataannya yang mempersilahkan rakyat untuk mengajukan ke MK jika tak puas dengan akan disahkannya Omnibus Law. Yang terbaru, fenomena unggahan BEM UI malah membuat pengurusnya dipanggil oleh rektorat untuk dimintai keterangan dengan pertemuan secara tertutup. Bahkan kampus yang seharusnya menjadi tempat aman bagi mahasiswa untuk bebas berekspresi justru dirampas haknya oleh pemerintah melalui oknumnya yang berada dalam ruang akademik.
Pembungkaman tidak hanya dilakukan melalui tindakan terbuka namun juga upaya membangun narasi-narasi terhadap rekam jejak ketua BEM UI, Leon Alvinda, dengan argumen sepihak yang menjatuhkan. Ada pula aksi teror seperti yang diterima oleh Guru Besar Hukum UII bernama Hi'nmatul Huda yang diancam dibunuh oleh orang tak dikenal melalui Whatsapp-nya karena ia diundang sebagai pemateri "Impeachment/pemecatan presiden di dalam UU 1945" pada acara di UGM. Atau tindakan anarkis langsung dari aparat kepolisian terhadap massa yang bergerak bersuara di jalan-jalan. Dari kasus ini kita dapat lihat kebebasan berpendapat di negeri kita masih sangat memprihatinkan.
ADVERTISEMENT
Di manakah Letak Demokrasi?
Rupanya demokrasi di Indonesia sudah perlahan tercerabut dari akarnya. Bahkan beberapa politisi seperti Asfinawati mulai memadankan dengan rezim otoriter Orba. Tatanan Otoritarian ini sudah terlihat dari awal pemerintahan di mana presiden merangkul Gerindra yang merupakan partai binaan Prabowo Subianto sebagai lawan politiknya pada pemilu. Berkedok demokrasi gotong royong, rezim melemahkan oposisi yang seharusnya menjadi penyeimbang demokrasi. Dan sekarang berusaha menghantu-hantui rakyat serta mahasiswa yang berusaha memperjuangkan hak-hak mereka.
Jika memang prinsip demokrasi yang ingin dibangun menyesuaikan budaya Indonesia, lalu kemudian gotong royong seperti apa yang ingin dibangun pemerintah melalui demokrasi gotong royong tersebut? Sedangkan pendapat serta kritik dari mahasiswa dan rakyat dibungkam dengan berbagai cara. Di samping oligarki yang kian merajalela. Gotong royong justru dibangun bersama oligarki untuk semakin melemahkan golongan yang tak berdaya melalui kebijakan dan pembungkaman secara teror maupun represif oleh aparat kepolisian.
ADVERTISEMENT
Keamanan Berpolitik Adalah Bagian dari Keamanan Manusia
Sudah menjadi hak bagi tiap individu untuk dapat hidup dalam negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Pemenuhan HAM berarti ketiadaan ancaman bagi individu dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup secara mendasar. Tentunya ancaman tidak hanya datang dari militer dan luar negeri, namun penindasan negara terhadap rakyat melalui kebijakan pun termasuk dalam ancaman bagi keamanan manusia. Dalam hal ini komponen dari keamanan manusia yang disentuh adalah keamanan berpolitik. Dengan masalah yang komprehensif terhadap kebebasan berekspresi untuk berpolitik yang seharusnya secara konkret diberi ruang dan dijamin perlindungannya oleh negara.
Maka seharusnya ketika kebebasan berekspresi dianggap menyentuh keamanan negara, yang perlu dipertanyakan adalah sudah sejauh mana pemerintah mengamalkan tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan masyarakat? Sejauh mana pula pemerintah mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman untuk menjunjung tinggi HAM dalam segala aspeknya. Bukannya menganggap kritik sebagai tindakan asusila sehingga sah saja bagi negara memberi pelajaran yang justru semakin memperluas pelanggaran terhadap keamanan manusia dalam berpolitik.
ADVERTISEMENT
Penutup
Sudah sepatutnya kita sebagai bangsa Indonesia melindungi bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia sesuai amanah yang terkandung dalam UUD 1945 alinea keempat. Menjaga keamanan bangsa tidak dapat hanya dipercayakan pada pemerintah. Penegakan HAM perlu diikhtiarkan bersama-sama untuk mencegah terjadinya penindasan dan ancaman yang tidak manusiawi. Kalau pemerintah melakukan kesewenang-wenangan, maka menjadi keharusan bagi kita mengintervensi pemerintah demi mengembalikan kebijakan sesuai tujuan dan cita-cita Indonesia.