Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Peradaban Korea dan Kritik atas Teori Huntington
14 Juli 2021 20:56 WIB
Diperbarui 28 Juli 2021 12:39 WIB
Tulisan dari Fatchiyyah Robiah Al Adawiyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pastinya teman-teman sudah tidak asing lagi bila mendengar Korea? Negara industri drama-drama populer seperti Boys Before Flowers, Dream High, Start-up, dan masih banyak lagi. Atau tempat lahirnya berbagai musik K-pop yang memenuhi benak teman-teman ketika mendengar negeri ginseng itu, entah dari para boyband ternama layaknya NCT Dream, EXO, dan lainnya. Bagi pecinta kuliner pun tentunya sudah familiar dengan tteokbokki, gimbap, atau kimchi. Ya semua makanan yang disebutkan termasuk bagian dari identitas khas milik Korea.
ADVERTISEMENT
Segala hal tentang sejarah dan kebudayaan Korea sejauh ini mempengaruhi kuatnya eksistensi peradaban bangsa tersebut di hadapan dunia. Dan ini berhubungan dengan sebuah topik yang menarik untuk dibahas pada kesempatan kali ini, yaitu bagaimana kita menyoroti pengkategorian peradaban Korea menurut Samuel Huntington dalam teori Benturan Peradabannya.
Apakah teori Huntington tersebut masih relevan hingga saat ini?
Kritik: Korea Adalah Peradaban Sendiri
Jika dunia dipetakan menurut teori Benturan Peradaban ala Huntington, kita dapat melihat posisi Korea yang dianggap menjadi bagian dari peradaban Sinic/Konfusius seperti Tiongkok juga. Pendapat seperti ini boleh saja dibenarkan jika dilihat dari segi sejarahnya dimana pengaruh penyebaran China melalui ajaran Buddha sempat mempengaruhi landasan negara pada masa Kerajaan Silla, dan ajaran Konfusianisme yang diadopsi sebagai filsafat penuntun kerajaan pada masa awal Dinasti Joseon. Pengaruh kuat China tidak hanya mewarisi kebudayaan, Korea juga sempat mengadopsi aksara bahasa yang berasal dari Tiongkok atau disebut Hanja. Aksara itu dulunya dipakai untuk menulis sehari-hari di sana.
ADVERTISEMENT
Tapi yang harus digarisbawahi, itu kan dulu. Seiring berkembangnya zaman, apalagi saat reformasi bahasa Korea di bawah Raja Sejong pada abad 15 aksara Hanja dirombak menjadi Hangul yang sangat menyesuaikan tata bicara sekaligus menampilkan representasi kultur khas Korea. Hangul kemudian dijadikan alphabet resmi Korea yang meresap dengan bahasanya, nilai filosofis dalam Hangul sendiri begitu kental dengan nuansa Korea bila dibandingkan Hanja sehingga tidak heran sampai saat ini aksara itu masih dipakai oleh bangsa Korea dalam tulis-menulis.
Eksistensi Hangul memperkuat identitas peradaban Korea dari masa ke masa dan menjadikannya tidak bisa semudah itu dipukul rata lagi sebagai bagian dari Sinic. Yang memperkuat alasannya yaitu, selain nilai filosofinya telah berbeda, lambang konsonan dan vokalnya pun tidak lagi sama dengan Mandarin. Ini adalah aset identitas peradaban Korea yang berdiri sendiri.
ADVERTISEMENT
Adapun yang menjadikan alasan lain Korea sebagai peradaban sendiri adalah agama di zaman kontemporer ini. Huntington menganggap agama merupakan hal yang amat penting dalam membedakan peradaban. Tapi pada kenyataannya kini bangsa Korea sudah tidak lagi menganut Konfusianisme yang mana identik dengan peradaban Sinic sebagaimana dahulu menjadi ajaran resmi Dinasti Joseon. Bahkan di zaman sekarang kebanyakan orang-orang Korea lebih memilih untuk tidak beragama, entah itu di Korea Selatan maupun Korea Utara.
K-Pop Sebagai Penguat Peradaban Korea?
Tidak beragama pun itu sudah menjadi faktor penguat identitas mereka untuk menjadi peradaban sendiri. Walau begitu, sulit dipungkiri kegemilangan budaya Korea semakin merambah ke seluruh dunia sampai detik ini. Itu semua berkat pencapaian industri kultur berupa perfilman dan musik yang sangat populer. Bahkan K-pop dapat menjadi sarana bagi bangsa Korea dalam mengekspor kebudayaannya menuju peradaban lain. Yang mana dengan begitu berdampak pada semakin kokohnya identitas peradaban negeri semenanjung tersebut.
ADVERTISEMENT
Kita dapat lihat festival budaya Korea yang bukan diadakan di negara itu melainkan di negara-negara Asia Tenggara. Banyak orang yang hadir di festival budaya mengenakan Hanbok selaku pakaian tradisional Korea meskipun mereka merupakan orang Indonesia atau orang Filipina. Hal yang memotivasi diadakannya festival tersebut pun tidak lepas dari pengaruh tontonan serial drama Korea atau film seru bernuansa negeri ginseng itu.
Apalagi dengan munculnya basis penggemar boyband atau girlband Korea di seluruh penjuru dunia dan bagaimana antusias mereka dengan rilisan musik K-pop itu semua menjadi faktor dalam memperlebar eksistensi kultur peradaban Korea secara global. Pengaruh budaya Korea dalam industri hiburan pun meningkatkan minat orang-orang asing mempelajari bahasa Korea lewat bimbingan belajar, media online, dan lain sebagainya. Bahkan suku minoritas di Indonesia seperti Cia-cia mengadopsi aksara Hangul Korea untuk penuturan bahasa lokal mereka agar tak punah secara tulisan.
ADVERTISEMENT
Bukankah semua itu sudah menjadi bukti bahwa pada perkembangannya di zaman kontemporer ini Korea sudah menjadi peradaban sendiri yang berdikari.
Kesimpulan
Demikianlah kritik yang bisa saya sampaikan. Jadi kesimpulannya adalah pengkategorian Korea sebagai peradaban Sinic dalam teori Benturan Peradaban dari Huntington pada perkembangannya tidak dapat dianggap sepenuhnya relevan mengingat Korea kini secara identitas sudah semakin berkembang dan mandiri dalam mengolah sekaligus mempererat budayanya dihadapan dunia. Kekayaan identitas Korea tidak lagi bisa dipukul rata dengan peradaban lain, belum juga dengan hadirnya gelombang K-Pop yang semakin memperkuat eksistensi peradaban negeri ginseng itu. Intinya, Korea adalah peradaban yang berdikari.