Tantangan Dunia Pertanian Menuju Net Zero

Alfian Helmi
Dosen Tata Kelola Sumber Daya Alam, IPB University
Konten dari Pengguna
19 Maret 2023 5:46 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alfian Helmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seorang petani menyulam tanaman tomatnya yang mati di Kelurahan Bayaoge, Palu, Sulawesi Tengah, Selassa (5/5) Foto: ANTARAFOTO/Basri Marzuki
zoom-in-whitePerbesar
Seorang petani menyulam tanaman tomatnya yang mati di Kelurahan Bayaoge, Palu, Sulawesi Tengah, Selassa (5/5) Foto: ANTARAFOTO/Basri Marzuki
ADVERTISEMENT
Dunia pertanian saat ini menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Bukan hanya dituntut untuk memenuhi kebutuhan pangan yang semakin meningkat dan beragam, tetapi juga pada saat yang bersamaan dituntut agar bisa mengurangi dampak iklim yang ditimbulkan dari aktivitas pertanian.
ADVERTISEMENT
Mewujudkan hal ini tentu saja bukan hal yang mudah, karena keputusan untuk melakukan transisi ke arah pertanian yang ramah iklim tentu sangat bergantung pada pilihan kebijakan yang diambil pemerintah dan tindakan-tindakan konkret ramah iklim para pelaku usaha pertanian, termasuk di dalamnya jutaan individu petani.
Sektor pertanian ini memiliki posisi yang unik dalam kaitannya dengan perjalanan menuju net zero (Road to Net Zero). Hal ini dikarenakan, selain menjadi sumber emisi, pertanian juga dapat menjadi tempat penyimpanan alami (carbon storage) untuk volume gas rumah kaca yang sangat besar–di tanah dan hutan, misalnya.
Sehingga, walaupun pertanian menyumbang sekitar 13% dari emisi karbon di Indonesia, pemanfaatan lahan yang berkelanjutan dalam sektor ini berpotensi akan memberikan peluang untuk menyerap lebih banyak karbon daripada yang dihasilkannya. Ini memberi pertanian keuntungan alami untuk mencapai net zero lebih cepat.
ADVERTISEMENT
Pertanian juga menjadi sektor yang paling rentan dan sensitif terhadap perubahan iklim. Bappenas memprediksi pada periode tahun 2020-2045 diproyeksikan akan terjadi kenaikan penurunan produksi padi akibat perubahan iklim di seluruh provinsi di Indonesia. Penurunan produksi padi dengan level tinggi hingga level sangat tinggi terjadi di beberapa provinsi di bagian timur-utara.

Transisi Pertanian Bersih

Ilustrasi petani gunakan cangkul. Foto: Dian Muliana/Shutterstock
Transisi pertanian bersih tentu berbeda dengan karakteristik transisi pada sektor energi dan transportasi. Meskipun laju pengurangan emisi masih terlalu lambat bahkan jalan ditempat, sektor lain telah mengidentifikasi banyak teknologi yang dapat mengurangi emisi karbon secara substansial.
Dan opsi ini belum tentu ada di sektor pertanian. Sektor pertanian juga masih belum terkonsolidasi dibanding sektor lain, dikarenakan pengurangan emisi di sektor ini membutuhkan tindakan bersama dari seperempat populasi dunia.
ADVERTISEMENT
Selain itu, sektor pertanian juga memiliki karakteristik yang lebih rumit dengan tujuan yang kompleks yang perlu dipertimbangkan secara bersamaan dengan tujuan iklim, seperti pertimbangan keanekaragaman hayati, kebutuhan gizi, ketahanan pangan, dan penghidupan dari jutaan petani dan masyarakat pertanian secara luas.
Sehingga transisi pertanian ke net zero tentu saja membutuhkan ambisi yang lebih tinggi dari sektor lainnya, inovasi teknologi yang lebih rendah karbon, dan tentunya harus dibarengi dengan dukungan kebijakan dan perubahan perilaku ekstrem di level konsumen.

Langkah Konkret

Ilustrasi lahan pertanian. Foto: Dok. Kementan
Mengingat luasnya jangkauan sektor pertanian, dukungan untuk intervensi di on-farm kemungkinan akan bervariasi berdasarkan letak geografis, jenis dan struktur lahan, dan hasil produksinya. Dalam jangka pendek, membantu petani mengadopsi praktik pertanian hijau dan menyediakan akses permodalan sejak dini mungkin dapat lebih mempercepat transisi. Di sisi permintaan, mengubah apa yang dimakan orang mungkin membutuhkan waktu lebih lama dan memerlukan mekanisme baru.
ADVERTISEMENT
Setidaknya terdapat sejumlah cara untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi pertanian sekaligus mengurangi jejak karbon. Tujuannya adalah menghasilkan pangan dalam jumlah yang sama, atau lebih banyak, dengan input yang lebih sedikit, dengan cara yang lebih cerdas dan lebih hemat karbon.
Pertama, perlunya audit carbon (carbon auditing) di sektor pertanian. Audit karbon membantu pemerintah memahami dari mana asal emisi terbesar sektor pertanian, dan di mana perubahan dapat dilakukan untuk menguranginya.
Kedua, dekarbonisasi on-farm. Hal ini bisa dilakukan melalui penerapan beberapa langkah utama, seperti: (i) mempromosikan penggunaan lahan yang efisien, (ii) penggunaan pupuk yang lebih akurat dan mengembangkan pupuk yang lebih baik untuk mengurangi jejak emisinya, dan (iii) meningkatkan pengelolaan lahan penggembalaan dan pupuk kandang serta produktivitas hewan ternak, serta mengurangi emisi enterik melalui modifikasi pola makan.
Petani beraktivitas di persawahan Desa Puca, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Sabtu (8/1/2022) Foto: Abriawan Abhe/ANTARA FOTO
Proses dekarbonisasi ini juga perlu diimbangi dengan peningkatan pengetahuan dan pemahaman para petani atau perusahaan yang bergerak dibidang pertanian tentang perhitungan karbon dan penggunaan sumberdaya secara efisien.
ADVERTISEMENT
Ketiga, pengembangan teknologi dan data. Teknologi pintar dapat mengurangi biaya dan emisi–dengan menggunakan pemupukan presisi berkemampuan GPS, misalnya. Kehadiran pertanian presisi telah memulai sektor ini menuju pertanian berbasis data, memberikan efisiensi maksimum.
Keempat, transisi ke energi bersih. Tidak ada yang baru tentang menggunakan energi terbarukan untuk mencapai nol bersih. Sekarang saatnya memikirkan tentang cara menggunakan sumber terbarukan di luar pasokan standar listrik pertanian atau jaringan.
Memastikan transisi pertanian yang adil menuju Net Zero–di mana semua petani dapat memenuhi kewajiban dan memperoleh manfaat yang sama–sudah barang tentu memerlukan partisipasi aktif dari petani, pembuat kebijakan, praktisi, peneliti, dan masyarakat dalam pengembangan pertanian net zero!