Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Kewenangan Anak Laki-laki Menikahkan Ibunya
27 Oktober 2021 21:44 WIB
Tulisan dari Alfiani Safitri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Agama islam adalah agama yang sempurna. Hal ini terlihat dari apa yang telah diatur Allah SWT untuk seluruh makhluknya. Salah satunya adalah pernikahan. Sebelum menjalani proses pernikahan, syarat dan rukun pernikahan harus diperhatikan agar tidak adanya kesalahan atau cacat dalam proses pernikahan agar sesuai dengan ajaran agama, seperti adanya ijab dan kabul, wali, saksi, calon pengantin yang boleh dinikahi, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Para ulama telah sepakat mengatakan bahwa, "Tidak akan sah sebuah pernikahan tanpa adanya wali". Hal tersebut dikarena para ulama berpegang kepada perkataan Rasulullah SAW yang menegaskan dalam sabdanya, dari Aisyah ra berkata :
“Tidak sah nikah tanpa wali”.
Namun pada zaman sekarang banyak sekali masalah yang muncul dilingkungan masyarakat, salah satu diantaranya adalah mengenai permasalahan wali nikah. Muncul juga sebuah pertanyaan mengenai bagaimana wali terhadap seorang wanita yang mau menikah adalah seorang janda atau seorang wanita yang dulunya menikah masih dalam umur yang sangat muda kemudian ingin menikah kembali dikarenakan faktor lain, apakah anak laki-laki dari wanita tersebut memiliki kewenangan untuk menikahkan nikah ibunya?
1. Mazhab Hanafi
Pada mazhab hanafi ini wali yang lebih diutamakan sebagai rukun pernikahan adalah anak laki-laki, cucu laki-laki, bapak, kakek, saudara sekandung, paman sekandung, dan seterusnya sampai ke bawah. Apabila yang disebutkan tidak ada di dalam urutan wali yang dikemukakan oleh mazhab hanafi, maka wali yang memiliki kewenangan untuk sebuah pernikahan adalah wali hakim. Namun apabila wali yang jauh yang menikahkan, sementara masih ada wali yang lebih dekat kepada wanita itu, maka akad pernikahannya terhenti, kecuali wali tersebut dalam keadaan masih kecil atau gila.
ADVERTISEMENT
Melihat uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa menurut pandangan mazhab hanafi, anak laki-laki boleh menikahkan ibunya, karena menurut mazhab hanafi anak adalah orang yang paling dekat dengan ibu. Bahkan anak laki-laki berada diurutan pertama urutan wali yang mereka kemukakan. Namun apabila anak tersebut mengizinkan wali yang lain sebagai wali nikah ibunya, maka pernikahan tersebut dapat diteruskan dan anak tersebut kedudukannya adalah sebagai ashal, sedangkan bapak, kakek, saudara sekandung, paman sekandung, paman sebapak, dan lainnya yang ada diurutan wali tersebut kedudukannya adalah sebagai furu’.
Dasar dalil hadis mazhab hanafi membolehkan anak laki-laki menikahkan ibunya adalah hadis dari Ummu Salamah :
“Sesungguhnya Nabi SAW mengutus seorang sahabatnya untuk meminangnya, kemudian sahabat tersebut mengatakan bahwa tidak ada seorangpun walinya yang hadir. Kemudian Nabi SAW menjawab bahwasanya tidak ada wali yang hadir maupun yang gaib karena tidak menyukai pernikahan tersebut. Setelah itu Ummu Salamah menyuruh anaknya untuk menikahkannya dengan Rasulullah”. (HR. Ahmad dan An-Nasa’i)
ADVERTISEMENT
Hadis di atas dinilai cacat karena pada saat itu putra Ummu Salamah tersebut sewaktu menikahkan ibunya dengan Nabi SAW masih kecil dan masih berumur dua tahun.
1. Mazhab Syafi’i
Pada mazhab syafi’i ini anak laki-laki tidak termasuk dalam urutan wali yang mereka kemukakan. Menurut mazhab syafi'i, nasab anak tidak bertemu dengan nasab ibu karena nasab ibu adalah kepada bapaknya, sedangkan nasab anak adalah kepada bapaknya (suami ibu). Oleh sebab itu anak laki-laki tidak memiliki kewenangan untuk menikahkan ibunya.
Mazhab syafi’i juga berpegang kepada hadis Ummu Salamah, namun menurut mazhab hanafi anak laki-laki boleh menikahkan ibunya, sedangkan mazhab syafi’i tidak membolehkan anak laki-laki menikahkan ibunya. Mereka mengatakan bahwa, “Tidak ada hak perwalian bagi anak laki-laki”. Menurut mazhab syafi’i yang boleh menikahkan seseorang itu hanya dari jalur nasab yaitu dari pihak bapak atau berdasarkan pada urutan kewarisan yang mana pihak laki-laki lebih diutamakan daripada pihak perempuan.
ADVERTISEMENT
2. Mazhab Maliki
Pada mazhab maliki anak laki-laki boleh menikahkan ibunya karena anak laki-laki berada diurutan pertama pada urutan wali yang mereka kemukakan. Dalam kitab Al-Mutawatta’ karya Imam Malik mengatakan bahwa, "Seorang janda lebih berhak atas dirinya dan seorang perawan harus meminta persetujuan dari walinya". Jadi, apabila yang hendak menikah itu adalah seorang perawan maka ia harus meminta persetujuan walinya. Namun apabila yang hendak menikah itu adalah seorang janda maka yang lebih utama menikahkannya adalah anaknya.
3. Mazhab Hambali
Pada mazhab hambali anak laki-laki juga boleh menikahkan ibunya, meskipun dalam urutan wali yang mereka kemukakan anak laki-laki berada diurutan ketiga setelah kakek. Hal tersebut menurut mazhab hambali karena anak adalah orang yang paling dekat dengan ibu.
ADVERTISEMENT
Penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa islam telah mengatur semua perbuatan manusia dengan sebaik mungkin. Menurut mazhab syafi’i, anak laki-laki tidak boleh menikahkan ibunya karena nasab anak tidak bertemu dengan nasab ibu. Sedangkan menurut mazhab hanafi, mazhab maliki, dan mazhab hambali membolehkan anak laki-laki untuk menikahkan ibunya karena anak adalah orang yang paling dekat dengan ibu dan hubungan anak dengan ibu sangat dekat. Terjadinya perbedaan pendapat ini dikarena tidak adanya nash yang jelas yang mengatakan tentang kewenangan anak laki-laki untuk menikahkan ibunya.
Dari hasil survei yang telah dilakukan, kebanyakan masyarakat sependapat dengan mazhab hanafi, mazhab maliki, dan mazhab hambali bahwa anak laki-laki boleh menikahkan ibunya karena hubungan anak dan ibu sangat dekat walaupun tidak ada hubungan nasab pada keduanya. Dari beberapa hadis kita juga bisa melihat bahwa Rasulullah SAW juga membolehkan seorang anak laki-laki menikahkan ibunya.
ADVERTISEMENT